SAYA sekeluarga memakai hak pilih kami di sebuah tempat pencoblosan suara di daerah Palmerah, Jakarta. Ini sesuai dengan surat panggilan dari Komisi Pemilihan Umum. Ada tiga orang anggota keluarga kami berhak mencoblos: isteri, anak dan saya sendiri.
Suasana pencoblosan enak. Santai. Mudah-mudahan ia bisa hasilkan pemimpin yang benar. Saya tentu tak mau Indonesia meniru Mesir dan Thailand. Jadi ingat pada pemilihan umum 2004, saya menggunakan hak pilih saya di sebuah desa terpencil, yang belum dibangun dari kebakaran, di Pulau Halmahera.
Ada selusin warga, dipimpin Slamet Widodo, ketua Rukun Warga kami (ujung kanan pakai kopiah hitam), yang jadi ketua panitia pemilihan.
Dari 12 partai yang ikut pemilihan ini, hanya dua partai tak ada saksi di tempat kami: Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia dan Partai Bulan Bintang. Seharian saya ada di tempat pencoblosan. Saya perhatikan ada wakil dari KPU hilir mudik di sekitar lingkungan kami buat memeriksa proses perhitungan suara.
Ketika ada selebritas datang mencoblos, maka suasana jadi mencair. Saksi-saksi dan petugas pemilihan minta foto bareng pasangan artis Arumi Bachin dan Emil Dardack. Mereka tetangga kami.
Isteri saya, Sapariah Saturi, mencoblos di bilik bersama anak-anak dan keponakan kami. Ramai juga suasana pemilihan umum di lingkungan kami. Ia bukan sekedar momen politik tapi momen bertetangga, saling sapa, mengobrol dan bergurau. Saya ikut makan siang bersama panitia: nasi kotak.
Anak sulung saya, Norman Harsono, juga pertama kali memilih. Dia sudah umur 17 tahun lebih. Dia bikin riset kecil untuk memilih. Namun pada malam menjelang pemilihan, dia menyerah dan bilang mau mencoblos sesuai dengan kesimpulan riset saya. Akhirnya, Sapariah juga ikutan saya. Kami tak memilih partai. Kami memilih individu.
Slamet Widodo memimpin proses perhitungan suara. Kertas demi kertas dipampang dan dihitung. Proses ini lama sekali. Ia berlangsung sejak pukul 13 sampai pukul 18.
Kebanyakan pemilih tak kenal dgn calon legislator mereka. Di tempat saya memilih, saya kira, 95 persen pemilih tak tahu siapa politisi yang namanya ada di kertas suara. Padahal kami tinggal di Senayan, hanya 100 meter dari gedung DPR. Saya kira salah satu kelemahan sistem pemilihan legislator adalah para calon tak tinggal di daerah pemilihan. Ini membuat pemilih tak kenal calon legislator.
Daerah Palmerah adalah daerah PDIP. Saya perhatikan PDIP dapat 73 suara ... tertinggi dari semua partai. Dari total tujuh calon legislator PDIP, empat calon tertinggi: Setiana Widjaja dapat 20 suara; Syahriz Ferdian Aziz dapat 15 suara; Eriko Sotarduga dapat 10 suara; Masinton Pasaribu dapat 9 suara.
Setiana Widjaja yang dapat suara terbanyak adalah pengelola kursus di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dia dianggap membesar-besarkan background pendidikannya. Dalam riwayat resminya, Widjaja bilang dia dapat gelar "doctoral of education" dari University of Berkeley pada 2007.
Persoalannya, di California tak ada universitas dengan nama tersebut. Adanya, University of California, Berkeley, biasa disingkat UC Berkeley. Ini kampus terkemuka di Amerika Serikat. Dalam website Diaspora Memilih, mereka mempertanyakan gelar tersebut.
Malamnya, dari quick count Center for Strategic and International Studies, saya tahu bahwa PDIP berada di peringkat pertama dgn hasil 19.8 persen, Golkar 14.6 persen, Gerinda 11.8 persen, dan Partai Demokrat 9.7 persen. Saya tak kaget PDIPI dapat tempat pertama. Mungkin malah kaget karena ia tak lebih dari 20 persen. Menariknya, ada dua partai kecil, mencuat hasilnya: PKB dan Nasdem.
Senang Nasdem bisa dapat suara lumayan. Menurut survei Australian National University, Nasdem banyak menaruh aktivis dalam daftar calon mereka serta secara proporsional paling tinggi persentase perempuannya. Saya juga tak kaget ketika tahu PBB dan PKPI jadi partai paling sedikit perolehan suaranya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.