Poster "Jalanan" dan saya mejeng tengah. |
Ziv merekam mereka selama empat tahun. Dari menyanyi di jalanan, menyanyi dalam bus, menyanyi sambil latihan. Namun Ziv juga masuk ke kehidupan mereka, dari sulit cari uang buat makan sampai perceraian.
Titi seorang perempuan Jawa, tak bisa sekolah SMP, kemiskinan, memutuskan pergi ke Jakarta. Dia punya tiga anak, yang dititipkan pada orang tua dan mantan suami. Ada adegan dimana suaminya, yang tak mau bekerja bila bukan kantoran, menceraikan Titi.
Titi menangis dan terpaksa meninggalkan anak pada suami karena, sebagai penyanyi jalanan, dia tak mampu mengasuh anaknya. Titi harus bekerja setiap hari. Namun Titi kost dan ambil paket persamaan ijazah SMA agar bisa menaiki tangga sosial. Ada harapan pada masa depan.
Ho juga asal Jawa. Saya suka adegan ketika Ho mecemooh orang-orang demonstrasi anti-korupsi di Jakarta. Dia bilang bila orang-orang tersebut punya kesempatan berkuasa, mereka juga korupsi. Sinis memang tapi mungkin Ho benar.
Ho keberatan orang bilang "Insya Allah" karena, "Saya bukan orang Arab. Saya orang Indonesia."
Ada adegan dimana Ziv merekam Ho sedang bercengkrama dengan pekerja seks, tawar-menawar, buat satu pelayanan seksual.
Namun Ho jatuh cinta pada seorang janda tiga anak. Dia traktir perempuan tersebut di sebuah rumah makan Minangkabao. Mereka akhirnya menikah sesudah ditelantarkan di Kantor Urusan Agama beberapa jam menunggu ... kemungkinan karena miskin.
Ia sekali lagi ketidakbecusan dan kepongahan Kementerian Agama. Sejak 1970an, korupsi sudah melanda Kementerian Agama, menurut Deliar Noer dalam buku Administration of Islam in Indonesia.
Tak heran bila promosi Jalanan berbunyi, "A film about Indonesia, street music, love, prison, politics, sex, corruption, rice fields, globalization and heartache!"
Saya kira film Jalanan serta "Jagal: The Act of Killings" adalah film Indonesia yang menandakan ada trend perbaikan dalam dunia perfilman di Indonesia. Saya suka dengan editing film non-fiksi ini dikerjakan oleh Ernest Hariyanto dari Ubud. Halus sekali. Saya tak tahu berapa ratus jam video dijadikan film ini.
Mengapa Jalanan dan Jagal menarik?
Roy Peter Clark dari Poynter Institute menulis dalam buku Writing Tools: 50 Essential Strategies for Every Writer bahwa kosakata seorang pembaca rata-rata --atau pemirsa rata-rata-- lebih besar dari kosakata seorang penulis rata-rata.
Seorang penulis di atas rata-rata, memakai kosakata di atas pembaca, pendengar atau pemirsa rata-rata. Penulis di atas rata-rata memperkaya khayalan pemirsa ... sesuatu yang gagal dilakukan kebanyakan penulis skenario film Indonesia.
Baik Daniel Ziv maupun Joshua Oppenheimer, sutradara Jagal, berhasil menggunakan kosakata orang kebanyakan yang belum bisa dipakai oleh kebanyakan penulis skenario rata-rata film Indonesia.
Saya kira ini kelebihan Jalanan maupun Jagal. Dalam Jalanan, Daniel Ziv mampu menangkap bahasa orang Jakarta, yang sangat beragam, dari dialek Betawi ala Boni sampai Jawa medog ala Ho, maupun bahasa orang Medan dalam film Jagal.
Ketika film selesai, sebagai warga Jakarta, saya belajar dari Ho, Titi maupun Boni. Mereka dapat uang Rp 50 ribu sehari, terkadang kurang, hanya cukup buat makan sehari atau dua. Saya jadi malu bila pesan makan Rp 50 ribu satu kali makan. Saya merasa lebih menghargai uang, lebih menghargai kehidupan, ketika lihat sesama warga Jakarta begitu sulit hidup di Jakarta.
Akhirnya, "Jalanan" bukan saja cerita soal pengamen Jakarta. Daniel Ziv merekam perkembangan Jakarta, juga Indonesia, dari kampanye anti korupsi sampai kemunafikan.
Menarik untuk lihat apa yang kelak terjadi pada Boni, Titi dan Ho, 10 atau 20 tahun lagi.
Baik Daniel Ziv maupun Joshua Oppenheimer, sutradara Jagal, berhasil menggunakan kosakata orang kebanyakan yang belum bisa dipakai oleh kebanyakan penulis skenario rata-rata film Indonesia.
Saya kira ini kelebihan Jalanan maupun Jagal. Dalam Jalanan, Daniel Ziv mampu menangkap bahasa orang Jakarta, yang sangat beragam, dari dialek Betawi ala Boni sampai Jawa medog ala Ho, maupun bahasa orang Medan dalam film Jagal.
Ketika film selesai, sebagai warga Jakarta, saya belajar dari Ho, Titi maupun Boni. Mereka dapat uang Rp 50 ribu sehari, terkadang kurang, hanya cukup buat makan sehari atau dua. Saya jadi malu bila pesan makan Rp 50 ribu satu kali makan. Saya merasa lebih menghargai uang, lebih menghargai kehidupan, ketika lihat sesama warga Jakarta begitu sulit hidup di Jakarta.
Menarik untuk lihat apa yang kelak terjadi pada Boni, Titi dan Ho, 10 atau 20 tahun lagi.