Empire State Building |
Saya berkunjung ke New York pertama kali pada musim panas 1995. Mungkin sudah 10 kali saya mendatangi New York, terkadang hanya beberapa hari, pernah sampai dua bulan ketika ikut pelatihan. Tata kota Manhattan berkotak-kotak sehingga mudah cari alamat.
Malam ini saya ikut pesta keluarga besar Human Rights Watch. Kami makan, minum, ngobrol sepuasnya, sampai kekenyangan. Tempatnya, Manhattan Penthouse, 80 Fifth Avenue, dekat 14 Street. Saya memutuskan pulang ke hotel dengan jalan kaki, sekitar 15 blok dari tempat pesta ke tempat saya tinggal, Hilton Garden Inn, dekat Empire State Building.
Suhu sekitar titik beku. Jalannya lurus di Fifth Avenue. Nyaman sekali jalan kaki. Saya bisa lihat Empire State Building dari kejauhan. Dari 14 Street sampai 36 Street. Mungkin panjangnya sekitar 2 kilometer. Human Rights Watch berkantor di Empire State Building, tepatnya dari lantai 33 sampai 35. Divisi Asia, tempat saya bekerja, ada di lantai 34.
Jalan kaki sepanjang Fifth Avenue ada macam-macam toko, dari McDonald sampai Starbucks, tapi juga macam-macam toko etnik, dari toko makanan Korea sampai syal dari Rusia.
Tata kota berbentuk kotak-kotak (grid system) bukan barang baru. Ia ada setidaknya pada zaman Romawi namun peninggalan kota menunjukkan ia juga dipakai zaman kuno di berbagai tempat yang sekarang ada di India, Jepang, Korea, Pakistan, Tiongkok dan sebagainya.
Di New York, keputusan membangun kota dengan kotak-kotak dimulai pada 1811 oleh Dewan Legislatif Kota. Ia terkenal sebagai Commissioners' Plan of 1811. Mulanya, keputusan tersebut dapat kritik karena dianggap tidak natural, tidak mau mengikuti alam --permukaan tanah, sungai, bukit, sejarah komunitas dan lainnya. Namun sejarahwan menulis bahwa perencanaan tersebut terbukti jadi tata kota modern, memudahkan warga kota, memperlancar manajemen kota dan lainnya.
New York praktis dibagi dalam 11 avenue (jalan besar) dengan lebar 100 feet (30 meter). Avenue yang di tengah berjarak 922 feet (281 meter) satu dengan lainnya. Avenue yang di pinggir, yang berdekatan dengan air, berjarak lebih kecil. Lantas avenue tersebut dipotong oleh jalan-jalan kecil (street) dengan lebar 60 feet (18 meter). Dari 1 Street sampai 155 Street. Ada beberapa avenue diberi nama lain sehingga mereka punya nama agak panjang. Seventh Avenue juga disebut Fashion Avenue.
Dalam perjalanan saya, sering saya lewati Museum of Sex. Ini namanya museum tapi ia lebih macam toko. Saya pernah baca berita bahwa Daniel Gluck, pendiri Museum of Sex, ditolak lamarannya agar dia mendapat status nirlaba. Sekilas dari perjalanan malam hari, saya juga punya kesan ia lebih sebuah toko seni. Isinya, tentu saja, seni yang berhubungan dengan seksualitas manusia.
ANDA perhatikan trotoar di New York. Permukaan trotoar dibuat menurun ketika mendekati jalanan mobil. Ini memudahkan pejalan kaki, tak perlu naik-turun undakan trotoar. Di New York, berjalan kaki jadi nyaman karena trotoar lega, tak berundak. Bandingkan dgn Jakarta dimana trotoar berundak-undak itupun kalau ada trotoar.
Sejak 1989, ketika masih mahasiswa dan suka riset transportasi, saya menulis soal pentingnya bikin trotoar tanpa undakan. Di Salatiga, kota dimana saya kuliah, tak ada trotoar dengan permukaan landai macam New York.
Saya juga bantu tukang becak dari penggusuran. Saya bahkan bekerja bersama Persatuan Sais Dokar di Salatiga antara 1989 sampai 1993. Saya ikut bantu kusir dokar mendirikan organisasi tersebut.
Pemikirannya, sistem transportasi yang baik harus memasukkan kendaraan non-mesin, termasuk becak dan dokar. Di New York, sampai sekarang masih ada kendaraan roda tiga dengan tenaga manusia. Kendaraan kuda masih dengan mudah ditemukan sekitar Central Park. Kalau hanya mengandalkan motorisasi --bus mini, bus besar, kendaraan pribadi, sepeda motor-- maka sistem tersebut akan jadi malapetaka: kemacetan, polusi, stress, beban sosial.
Pada 1994, sebagai wartawan Jakarta Post, saya interview Menteri Perhubungan Haryanto Danutirto soal mengapa trotoar tak dibangun di Indonesia dengan pertimbangan kenyamanan pejalan kaki.
Menteri menjawab, "Kalau bangun trotoar nanti dipakai pedagang kaki lima!"
Saya hampir tak percaya dengan ucapan Danutirto. Saya kembali ke redaksi Jakarta Post serta menuliskan jawabannya Itu pertama kali saya lihat sendiri bahwa menteri bisa ignorant! Kalau menterinya begitu, entah bagaimana dengan birokratnya?
Malam ini saya ikut pesta keluarga besar Human Rights Watch. Kami makan, minum, ngobrol sepuasnya, sampai kekenyangan. Tempatnya, Manhattan Penthouse, 80 Fifth Avenue, dekat 14 Street. Saya memutuskan pulang ke hotel dengan jalan kaki, sekitar 15 blok dari tempat pesta ke tempat saya tinggal, Hilton Garden Inn, dekat Empire State Building.
Suhu sekitar titik beku. Jalannya lurus di Fifth Avenue. Nyaman sekali jalan kaki. Saya bisa lihat Empire State Building dari kejauhan. Dari 14 Street sampai 36 Street. Mungkin panjangnya sekitar 2 kilometer. Human Rights Watch berkantor di Empire State Building, tepatnya dari lantai 33 sampai 35. Divisi Asia, tempat saya bekerja, ada di lantai 34.
Toko FromRussia.com khusus barang khas Rusia. |
Tata kota berbentuk kotak-kotak (grid system) bukan barang baru. Ia ada setidaknya pada zaman Romawi namun peninggalan kota menunjukkan ia juga dipakai zaman kuno di berbagai tempat yang sekarang ada di India, Jepang, Korea, Pakistan, Tiongkok dan sebagainya.
Di New York, keputusan membangun kota dengan kotak-kotak dimulai pada 1811 oleh Dewan Legislatif Kota. Ia terkenal sebagai Commissioners' Plan of 1811. Mulanya, keputusan tersebut dapat kritik karena dianggap tidak natural, tidak mau mengikuti alam --permukaan tanah, sungai, bukit, sejarah komunitas dan lainnya. Namun sejarahwan menulis bahwa perencanaan tersebut terbukti jadi tata kota modern, memudahkan warga kota, memperlancar manajemen kota dan lainnya.
New York praktis dibagi dalam 11 avenue (jalan besar) dengan lebar 100 feet (30 meter). Avenue yang di tengah berjarak 922 feet (281 meter) satu dengan lainnya. Avenue yang di pinggir, yang berdekatan dengan air, berjarak lebih kecil. Lantas avenue tersebut dipotong oleh jalan-jalan kecil (street) dengan lebar 60 feet (18 meter). Dari 1 Street sampai 155 Street. Ada beberapa avenue diberi nama lain sehingga mereka punya nama agak panjang. Seventh Avenue juga disebut Fashion Avenue.
- First Avenue
- Second Avenue
- Third Avenue
- Fourth Avenue
- Fifth Avenue
- Sixth Avenue - Avenue of the Americas
- Seventh Avenue - Fashion Avenue
- Eighth Avenue - Central Park West
- Ninth - Columbus Avenue
- Tenth - Amsterdam Avenue
- Eleventh - West End Avenue
Dalam perjalanan saya, sering saya lewati Museum of Sex. Ini namanya museum tapi ia lebih macam toko. Saya pernah baca berita bahwa Daniel Gluck, pendiri Museum of Sex, ditolak lamarannya agar dia mendapat status nirlaba. Sekilas dari perjalanan malam hari, saya juga punya kesan ia lebih sebuah toko seni. Isinya, tentu saja, seni yang berhubungan dengan seksualitas manusia.
Permukaan trotoar landai memudahkan pejalan kaki. |
ANDA perhatikan trotoar di New York. Permukaan trotoar dibuat menurun ketika mendekati jalanan mobil. Ini memudahkan pejalan kaki, tak perlu naik-turun undakan trotoar. Di New York, berjalan kaki jadi nyaman karena trotoar lega, tak berundak. Bandingkan dgn Jakarta dimana trotoar berundak-undak itupun kalau ada trotoar.
Sejak 1989, ketika masih mahasiswa dan suka riset transportasi, saya menulis soal pentingnya bikin trotoar tanpa undakan. Di Salatiga, kota dimana saya kuliah, tak ada trotoar dengan permukaan landai macam New York.
Saya juga bantu tukang becak dari penggusuran. Saya bahkan bekerja bersama Persatuan Sais Dokar di Salatiga antara 1989 sampai 1993. Saya ikut bantu kusir dokar mendirikan organisasi tersebut.
Pemikirannya, sistem transportasi yang baik harus memasukkan kendaraan non-mesin, termasuk becak dan dokar. Di New York, sampai sekarang masih ada kendaraan roda tiga dengan tenaga manusia. Kendaraan kuda masih dengan mudah ditemukan sekitar Central Park. Kalau hanya mengandalkan motorisasi --bus mini, bus besar, kendaraan pribadi, sepeda motor-- maka sistem tersebut akan jadi malapetaka: kemacetan, polusi, stress, beban sosial.
Pada 1994, sebagai wartawan Jakarta Post, saya interview Menteri Perhubungan Haryanto Danutirto soal mengapa trotoar tak dibangun di Indonesia dengan pertimbangan kenyamanan pejalan kaki.
Menteri menjawab, "Kalau bangun trotoar nanti dipakai pedagang kaki lima!"
Saya hampir tak percaya dengan ucapan Danutirto. Saya kembali ke redaksi Jakarta Post serta menuliskan jawabannya Itu pertama kali saya lihat sendiri bahwa menteri bisa ignorant! Kalau menterinya begitu, entah bagaimana dengan birokratnya?
Riset saya soal Dinas Perhubungan pada 1989-1993 di Salatiga tak terlalu bikin saya yakin para birokrat transportasi ini memahami ancaman motorisasi serta mau bikin sistem transportasi yang manusiawi dan berkesinambungan.
Di New York, sudah lebih dari 200 tahun trotoar dibikin dgn nyaman. Kapan ya ada kesadaran bikin trotoar nyaman di Jakarta? Saya terkadang lelah bila ingat sudah lebih 20 tahun saya menulis soal transportasi --perlunya sistem transportasi yang tak hanya bergantung pada motorisasi-- dengan membangun trotoar, jalur sepeda, kereta api dan sebagainya.
Di New York, sudah lebih dari 200 tahun trotoar dibikin dgn nyaman. Kapan ya ada kesadaran bikin trotoar nyaman di Jakarta? Saya terkadang lelah bila ingat sudah lebih 20 tahun saya menulis soal transportasi --perlunya sistem transportasi yang tak hanya bergantung pada motorisasi-- dengan membangun trotoar, jalur sepeda, kereta api dan sebagainya.
Bila tinggal di New York agak lama, setiap hari saya tentu berjalan kaki dan naik subway. Kembali ke Jakarta, badan selalu lebih segar, berat badan bisa turun 2 sampai 3 kilogram. Saya hitung setiap hari saya bisa jalan antara 8 sampai 10 kilometer. Pernah saya menginap di rumah seorang kawan di Harlem. Ini agak jauh dari Empire State Building. Dua minggu pulang ke Jakarta, berat badan saya turun 5 kilogram!
Kembali ke Jakarta, selalu merasa pahit, lihat tak ada perubahan berarti. Ini juga terjadi di berbagai kota Indonesia, dari Papua sampai Sumatra. Becak digusur. Dokar entah kemana. Trotoar tidak diperhatikan. Kereta api tak dikembangkan. Kemacetan lalu lintas di Jakarta dan kota-kota lain juga makin parah. Biaya sosial kemacetan entah berapa ribu trilyun rupiah. Sampai kapan akan ada kesadaran di berbagai kota Indonesia untuk membangun sistem transportasi berbagai macam moda?
Kembali ke Jakarta, selalu merasa pahit, lihat tak ada perubahan berarti. Ini juga terjadi di berbagai kota Indonesia, dari Papua sampai Sumatra. Becak digusur. Dokar entah kemana. Trotoar tidak diperhatikan. Kereta api tak dikembangkan. Kemacetan lalu lintas di Jakarta dan kota-kota lain juga makin parah. Biaya sosial kemacetan entah berapa ribu trilyun rupiah. Sampai kapan akan ada kesadaran di berbagai kota Indonesia untuk membangun sistem transportasi berbagai macam moda?
No comments:
Post a Comment