KETIKA ikut mengampu sebuah kelas pelatihan mahasiswa di Parapat, Danau Toba, seorang mahasiswi tanya berapa kali saya sudah ikutan training media mahasiswa tahun ini. Dia duga acara di Paparat kali ketiga: Masing-masing oleh Akademika dari Universitas Udayana di Bali, Aklamasi dari Universitas Islam Riau di Siak serta Suara USU dari Universitas Sumatera Utara di Parapat.
Saya jawab lebih dari tiga kali.
Misalnya, Januari lalu, saya mengajar untuk majalah Selangkah dari Yayasan Pendidikan Persada di Nabire, Papua. Saya juga sering mengajar dalam sesi kecil. Artinya, ia hanya berlangsung satu atau dua kali dalam sehari. Entah di Jakarta atau Yogyakarta.
Ketiga acara tersebut praktis berlangsung seminggu. Saya harus mengambil cuti atau izin dari kantor bila hendak ikutan acara seminggu. Syukur bila bisa digabung dengan pekerjaan sehingga tak perlu cuti.
Seorang mahasiswa lantas tanya mengapa saya mau ikutan acara begini. Saya tak dapat keuntungan finansial mengampu kelas mahasiswa. Waktu buat keluarga juga dikorbankan apalagi sampai seminggu.
Saya bergambar bersama Cane Pefilenti (Patriotik, Universitas Batang Hari), Dian Tri (Kreatif, Universitas Negeri Medan), Sita Nurazmi Makhrufah (Identitas, Universitas Hasanudin), Melisa (Genta, Universitas Andalas), dan Asra Hayati Syahrul Nova (Genta, Universitas Andalas) di Parapat, Danau Toba.
Ini soal manajemen waktu.
Di Parapat, saya beruntung karena Suara USU mengundang isteri saya, Sapariah Saturi, juga sebagai pelatih. Kami bisa membawa anak kami ikutan. Jadinya, bisa gantian mengajar. Bila isteri mengajar, saya jaga anak. Bila saya mengajar, isteri jaga anak. Ramai bukan?
Saya senang bisa mengampu kelas mahasiswa.
Untungnya? Bisa jalan-jalan ke tempat jauh secara gratis. Saya juga bisa berkenalan dengan anak-anak muda. Saya bisa belajar dari diskusi mereka. Sering saya sendiri harus buka buku guna menjawab pertanyaan yang saya belum tahu jawabnya.
Di Parapat, saya belajar persoalan polusi Danau Toba. Ada dua pembicara --Annette Horschmann dan Marandus Sirait-- bicara soal upaya mereka memperbaiki lingkungan hidup di Danau Toba. Ini salah satu keuntungan ikut melatih wartawan mahasiswa. Saya belajar gerakan kebersihan Horschmann dari Tabo Cottages. Dia ubah eceng gondok menjadi pupuk. Dia juga bikin slogan LISA. Artinya, "Lihat Sampah Angkat!"
Marandus Sirait memiliki Taman Eden 100, sebuah daerah konservasi di pinggir Danau Toba, dimana Sirait sejak 1998 menanam berbagai pohon langka, menjaga hutan alam. Dia menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005 karena karya di bidang penghijauan. Namun Sirait kecewa dengan berbagai policy pemerintahan Yudhoyono di sekitar Danau Toba. Dia mengembalikan Kalpataru tersebut pada September 2013.
Saya juga merasa bisa membalas budi baik banyak orang tua yang dulu memberikan waktu mereka kepada saya, dari Arief Budiman dan George Aditjondro di Salatiga sampai Goenawan Mohamad dan Rahman Tolleng di Jakarta sampai Bill Kovach di Cambridge. Mereka tak pernah berpikir panjang bila saya bikin repot. Walau sibuk mereka mau menyediakan waktu, meminjamkan buku, mengajak diskusi, terkadang juga mengomeli saya. Saya ingat Goenawan sering mengajak saya makan bersama sambil diskusi. Bill Kovach, setiap Rabu pagi, kasih saya kesempatan satu jam buat mengobrol. Dia pinjami saya buku lantas kami bicara isi buku tersebut.
Jurnalisme adalah sebuah ketrampilan yang dibangun terutama dengan cara mentoring: banyak diskusi, baca buku, diskusi, latihan menulis, editing dan seterusnya. Selama 200 tahun lebih, jurnalisme lebih banyak ditularkan lewat hubungan mentor dan murid. Saya beruntung dapat mentoring dari para cendekiawan tersebut. Rasanya, bukan sesuatu yang janggal, bila saya meniru apa yang diajarkan para mentor saya.
No comments:
Post a Comment