Thursday, October 17, 2013
Batasi Akses Media Asing ke Papua: Koalisi Organisasi Temui Dewan Pers dan AJI, Ini Hasilnya
Yermias Degei | Majalah Selangkah
Jakarta, MAJALAH SELANGKAH -- Rabu, 16 Oktober 2013, sebuah koalisi lembaga masyarakat bertemu Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta berkaitan dengan pembatasan liputan bagi wartawan asing ke Papua.
Pertemuan digelar untuk minta kedua lembaga ini mendorong pemerintah Indonesia agar mencabut pembatasan bagi wartawan asing mengunjungi Papua dengan menyamakan perlakuan terhadap Papua sama dengan provinsi-provinsi lain.
Andreas Harsono dari Human Rights Watch, salah seorang delegasi, mengatakan kepada majalahselangkah.com, Jumat, (17/10/13), bahwa mereka membuka pertemuan dengan menyebutkan aksi tiga aktivis Papua yang melompat ke konsulat Australia di Bali dan minta para pemimpin APEC untuk mendorong Indonesia untuk membebaskan tahanan politik dan membuka akses wartawan asing ke Papua.
"Kami mengatakan bahwa sulit bagi wartawan internasional untuk mengunjungi Papua. Mereka tidak hanya perlu izin dari Kementerian Luar Negeri, yang sangat dibatasi, tetapi juga harus membayar perjalanan seorang pendamping dari Badan Intelijen Negara (BIN)."
Setiap minggu ada pertemuan di Jakarta, dimana setiap permintaan berkunjung ke Papua dibahas. Ini tidak hanya dibatasi untuk wartawan, tetapi juga untuk setiap orang asing, termasuk diplomat, pejabat PBB, pengamat, perwakilan donor dan turis.
"Secara praktis, praktek ini sudah dimulai sejak 1963 ketika PBB menyerahkan administrasi Niuew Guinea ke Indonesia. Kami menyebut contoh tiga media internasional, yang diberi izin untuk mengunjungi Papua, pada 2012 dan 2013. Kami menunjukkan kepada mereka surat izin yang ditandatangani oleh P.L.E. Priatna, direktur informasi dan media di Kementerian Luar Negeri. Priatna hanya menulis bahwa permohonan telah disetujui tanpa mengatakan siapa yang menyetujui dan pertimbangan hukum apa dalam persetujuan tersebut," kata Harsono.
Harsono juga menceritakan pengalaman serupa pada 1968 ketika Menteri Luar Negeri Adam Malik membawa 32 wartawan asing ke Papua. Semuanya didampingi tentara yang mendengarkan ketika wartawan-wartawan tersebut wawancara orang Papua.
"Indonesia klaim bahwa ia adalah negara demokrasi. Hanya sedikit negara-negara di dunia ini yang masih mewajibkan wartawan asing didampingi petugas. Salah satunya adalah Korea Utara. Aneh sekali bukan? Masak Indonesia sama dengan Korea Utara? Apalagi praktek begini sudah jalan 50 tahun," kata Harsono.
Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen berjanji akan menulis surat kepada Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Djoko Suyanto, serta ketua Badan Intelijen Negara Marciano Norman. Mereka hendak mencari tahu apa pertimbangan pemerintah, sehingga wartawan asing selama 50 tahun dibatasi masuk ke Papua dan Papua diperlakukan beda dengan provinsi lain.
Ketua Umum AJI, Eko Maryadi dalam wawancara telepon dengan majalahselangkah.com sore ini, mengatakan, "AJI akan menulis surat kepada pejabat di Indonesia, Menteri Luar Negeri, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, termasuk juga kepala BIN. Kita ingin mempertanyakan apa yang menjadi sebab Indonesia terlihat mempersulit wartawan asing untuk meliput wilayah Papua."
Eko Maryadi mengatakan, AJI Indonesia memberikan dukungan upaya AJI Jayapura mendorong supaya wilayah Papua itu lebih terbuka untuk peliputan media. "Bukan hanya wartawan atau media dalam negeri, tetapi juga terbuka kepada wartawan luar negeri. Kalau pemerintah Indonesia menganggap Papua ini bagian dari wilayah Indonesia, maka dia harus memperlakukan wilayah Papua ini sama seperti provinsi yang lain di Indonesia."
"Sama seperti orang mau pergi ke Bandung, Yogyakarta, pergi ke Bali. Jadi, kalau wartawan mau pergi ke kota-kota itu mudah saja. Tetapi, begitu mau masuk Papua terkesan dipersulit. Kemudian, belakangan saya dengar harus didampingi oleh pejabat pemerintah, aparat keamanan. Tindakan itu adalah tindakan yang berlebihan dan tidak sesuai dengan kebebasan pers yang dimiliki Indonesia sejak tahun 1999," tuturnya.
"AJI seluruh Indonesia di 36 kota, termasuk AJI di Jayapura mendorong supaya pemerintah ini konsisten. Kalau pemerintahan SBY-Boediono ini dipandang pemerintahan yang demokratis, yang menghargai kebebasan pers, menghargai kebebasan berekspresi, maka wilayah Papua itu tidak boleh dianaktirikan, tidak boleh didiskriminasi. Wilayah Papua diperlakukan sama seperti provinsi yang lain. Tidak boleh ada pembatasan,tidak boleh ada peratuan yang berlebihan, tidak boleh ada sensor terhadap akses media asing atau wartawan asing yang meliput wilayah Papua," kata Ketua Umum AJI, Eko Maryadi.
Lebih jauh ia menegaskan, semakin Indonesia melakukan pembatasan, dunia internasional akan curiga apa yang terjadi di Papua. "Kalau pemerintah semakin terbuka, maka tidak ada kecurigaan. Kalau diberikan kebebasan, maka ini akan menjadi kredit yang baik untuk pemerintahan SBY-Boediono."
Kepada Koalisi pada pertemuan itu, AJI juga mengatakan bahwa melawan pembatasan wartawan asing ke Papua adalah amanat yang telah diterima pengurus AJI pada kongres di Makassar pada Desember 2011.
Andreas Harsono mengatakan, AJI ingin membangun koalisi yang lebih besar dengan Jakarta Foreign Correspondents Club dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia.
Menurut AJI Jayapura, beberapa wartawan dari Selandia Baru, Belanda, Inggris dan Australia mengalami kesulitan saat mengajukan ijin masuk Papua. Tujuh dari 35 wartawan asing yang mendapat izin meliput di Papua juga dideportasi antara 2011 dan 2012.
Pada pertemuan dengan Dewan Pers, Dewan Pers diwakili oleh Wakil Ketua Leo Batubara dan anggota Ridlo Eisy, Imam Wahyudi, dan Yosep Adi Prasetyo.
Koalisi pertemuan meliputi beberapa organisasi termasuk Imam Shofwan (ketua Yayasan Pantau), Pendeta Socratez Sofyan Yoman (ketua Gereja-gereja Baptis di Papua), Novita Simamora (Narasi Sumatera), Frans Tomoki (Front Nasional Mahasiswa Papua), dan beberapa warga Indonesia yang bekerja untuk media internasional. (MS)
No comments:
Post a Comment