Banda Aceh, April 17, 2013
Bapak Ketua serta para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang terhormat, terima kasih untuk kesempatan dalam dengar pendapat hari ini soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.
Human Rights Watch adalah organisasi independen untuk promosi dan perlindungan hak asasi manusia. Human Rights Watch sudah memantau pelanggaran hak asasi manusia di Aceh lebih dari 20 tahun. Laporan pertamanya, Human Rights Abuses in Aceh, terbit pada Desember 1990. Kami terus menerbitkan berbagai laporan pada masa konflik, antara militer Indonesia maupun aparat keamanan lainnya, dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka.
Human Rights Watch percaya bahwa akuntabilitas terhadap kejahatan masa lalu adalah fondasi bagi rekonstruksi pasca-konflik dengan acuan pada supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Impunitas dari kekejaman masa lalu akan menciptakan kesan bahwa kekejaman tersebut dapat toleransi di masa depan. Kami percaya perdamaian dan keadilan harus dilihat sebagai tujuan, yang saling melengkapi, bukan saling berlawanan.
Perjanjian Helsinki tahun 2005 dan UU Pemerintahan Aceh tahun 2006 memberi mandat bahwa sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi harus dibuat di Aceh. Human Rights Watch sadar bahwa komisi kebenaran dan rekonsiliasi bisa berperan penting dalam menjawab soal pelanggaran hak asasi manusia serta mencari dan menyajikan fakta masa lalu kepada korban dan masyarakat, di sini maupun di luar negeri. Namun, Human Rights Watch percaya bahwa komisi kebenaran dan rekonsiliasi tak boleh mencegah korban untuk mencari keadilan --termasuk upaya pidana terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi manusia—lewat impunitas atau membuat barang bukti tak bisa diakses dan dipakai dalam sidang pengadilan.
Human Rights Watch merekam berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Mereka termasuk:
• Pembunuhan ekstrajudisial
• Penyerangan terhadap kaum sipil
• Penghilangan paksa
• Penyiksaan dan Perlakuan sewenang-wenang
• Kekerasan seksual
• Penahanan sewenang-wenang dan pelanggaran proses hukum
• Pemindahan paksa
• Penjarahan (looting) dan perampasan saat perang (pillage)
• Pemalakan dan pembatasan kegiatan ekonomi
• Ancaman, intimidasi, dan pembatasan yang tak baik terhadap wartawan domestik maupun internasional
• Pembatasan ruang bergerak
• Pembakaran sekolah
• Kewajiban jaga malam
Agar kredible dan efektif, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh harus mendapat mandat dimana ia bisa secara independen memeriksa berbagai tindakan, baik dari aparat keamanan Indonesia maupun pihak GAM. Ia harus bisa berupaya membuat dokumentasi yang imparsial, tak berat sebelah, terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia, sejak konflik dimulai pada 1976 hingga penandatangan perjanjian Helsinki pada Agustus 2005. Informasi tersebut harus diarsipkan serta disiarkan kepada masyarakat sedemikian rupa sehingga ia bisa memenuhi keperluan emosional para korban; promosi proses kesembuhan dan rekonsiliasi; membantu upaya menuntut pertanggungjawaban para pelaku; dan mencegah kemungkinan terjadinya pengulangan atas pelanggaran serupa.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga harus membuat rekomendasi perbaikan sistem hukum dan kehakiman (judiciary) agar bisa menjawab persoalan impunitas masa lalu dalam pelanggaran serius. Ia harus identifikasi macam-macam hambatan bagi para korban dalam memakai jalur hukum guna mencari keadilan, baik terahadap pelanggaran masa konflik atau sesudahnya, dan membuat rekomendasi bagaimana mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Human Rights Watch percaya bahwa ide pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsialiasi akan lebih kuat bila staf mereka meliputi kaum perempuan, di berbagai level, serta orang yang punya kepakaran bidang kekerasan seksual (sexual and gender-based violence). Para penasehat gender ini harus memberi pelatihan sensitif gender dan memastikan bahwa pekerjaan komisi, termasuk investigasi dan dengar pendapat, dilakukan dengan sensitif gender. Laporan akhir dari komisi perlu memberi perhatian terhadap pelanggaran dan kekerasan seksual (gender-specific abuses) yang dilakukan zaman konflik Aceh.
Banyak sekali korban yang harus disebutkan namanya. Kami menutup pernyataan ini dengan menyebut nama beberapa korban dimana keluarga mereka masih belum tahu sepenuhnya bagaimana orang-orang yang mereka cintai dibunuh dan masih menunggu keadilan. Pertama adalah Jafar Siddiq Hamzah, yang diculik dan dibunuh pada Agustus 2000 di Medan. Korban lain adalah May. Jenderal Haji Teuku Djohan, ketua Golkar di Banda Aceh, pada 10 Mei 2001, dibunuh ketika baru pulang dari sholat di masjid raya. Lainnya termasuk Fuadi Mukhtar, dan Teungku Usma, serta Mak Pri yang dibunuh Mei 2001 di Samalanga.
Kami mendorong Anda untuk mencari kebenaran terhadap apa yang terjadi para orang-orang tersebut.
Kami berharap Anda berhasil dalam mendiskusikan dan membuat qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.
Andreas Harsono
Human Rights Watch
Untuk membaca liputan Human Rights Watch soal Indonesia, silahkan mengunjungi: http://www.hrw.org/asia/indonesia
Dokumen Human Rights Watch soal pelanggaran di Aceh
Aceh at War: Torture, Ill-Treatment, and Unfair Trials (2004)
Aceh Under Martial Law: Inside the Secret War (2003)
Aceh Under Martial Law: Muzzling the Messengers (2003)
Aceh Under Martial Law: Can These Men Be Trusted to Prosecute This War?
The War in Aceh (2001)
Continuing Human Rights Violations In Aceh (1991)
Human Rights Abuses In Aceh (1990)
No comments:
Post a Comment