Bahana Mahasiswa
SUATU HARI datang seorang model Jakarta ke tempat saya. Dia tanya bagaimana mengatasi mantan pacar, yang memaki-maki, mengancam santet, serta memukulnya. Dia ketakutan dan lari dari kost. Dia minta tolong ojek diantar ke polisi. Ironisnya, polisi hanya menganjurkan “jalan damai” serta tak mau kasih surat pengantar visum ke dokter.
Pengaduan lain dari seorang perawat asal Jayapura. Kakaknya ditangkap polisi. Kakaknya bawa pisau. Kakaknya ditahan dan dipukuli. Kakaknya dituduh hendak bunuh orang. Kakaknya sebetulnya hendak beli ikan di pasar Depapre, dekat Jayapura. Si perawat bilang, “Di Papua biasa bawa piso untuk potong ikan, potong daging, potong sayur.” Tapi polisi curiga, setiap orang Papua bawa pisau, disangka hendak serang orang Indonesia.
Ada satu kesamaan antara si model dan si perawat. Mereka hanya cerita, cerita, dan cerita … tanpa menulis. Saya anjurkan buatlah kronologi. Buatlah surat pengaduan. Namun mereka sulit menulis laporan tersebut. Si model menulis kronologi dua halaman isinya hanya dua alinea. Si perawat hanya tahu kakaknya kena pasal makar. Alamak! Bawa pisau dituduh makar? Apakah didampingi pengacara saat pemeriksaan polisi? Dia tak tahu.
“Mereka dapat perlakuan sangat kasar sekali. Satu hari satu malam,” kata si perawat.
Pengalaman tersebut bukan barang baru. Saya seringkali berhadapan dengan orang yang dirampas hak-haknya --dari petani kehilangan tanah sampai pendeta kehilangan gereja, dari mubalig Ahmadiyah masjidnya disegel sampai ustad Syiah madrasah dibakar-- namun ketika diminta menulis, diminta bikin laporan, diminta draft surat, perlu berminggu-minggu bahkan tak jarang, mereka patah semangat, lantas tak ada kelanjutan.
Menulis adalah dunia pemikiran. Menulis juga dunia dokumentasi. Menulis adalah membela diri. Menulis adalah memikirkan cara-cara yang benar dan adil untuk membela diri. Menulis juga bisa berguna buat membela hak orang yang dianiaya. Sayangnya, banyak orang, setidaknya di Jakarta, tak bisa menulis.
“Jadi nggak perlu disuruh cerita lagi. Capek ngulang-ngulang cerita yang sama,” kata si model.
SISTEM PENDIDIKAN di Indonesia, celakanya, tak mendidik anak untuk menulis. Al Jazeera bikin program menarik. Judulnya, “Educating Indonesia.” Temuannya, “… why Indonesia's education system is one of the worst in the world.” Mengapa sistem pendidikan di Indonesia salah satu yang terburuk di dunia. Sebabnya, mulai dari kanker korupsi pada Kementerian Pendidikan sampai kurikulum yang membelenggu anak-anak. Pendidikan terlalu sering mengantar siswa ke dunia penuh dikte, penuh hafalan, dan sedikit kesempatan menyusun kata-kata dengan teratur.
Kini zaman internet. Saya percaya internet bisa dipakai untuk mengatasi kebobrokan sistem pendidikan di Indonesia. Internet bisa dipakai untuk memperjuangkan hak asasi manusia. Bila wartawan tak mau menghabiskan waktu guna bantu seorang gadis muda dipukuli mantan pacarnya, dia bisa menulis dan memakai internet guna memperjuangkan hak dia. Baik si perawat maupun si model bisa menulis, mempengaruhi opini publik, menarik perhatian aparat hukum.
Tapi internet juga bisa dipakai menyebarkan kebencian. Internet tak berbeda dengan media apapun: cetak, radio, televisi. Ia bisa dipakai mencari kebenaran tapi juga bisa menyebarkan kebohongan. Bedanya, lewat internet, sekarang setiap orang bisa jadi penerbit dengan bikin blog, entah Blogger atau Wordpress. Setiap orang bisa siaran dengan You Tube atau Vimeo. Setiap orang bisa jadi komentator dengan Facebook atau Twitter. Setiap orang bisa memulai petisi dengan Change.org.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menulis dalam buku Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload bahwa teknologi internet secara revolusioner mengubah dunia informasi. Internet praktis menghilangkan peranan ruang redaksi sebagai gatekeeper alias penjaga gawang informasi. Wartawan kini tak memiliki peranan buat menentukan apa yang perlu diberitakan, apa yang tak perlu. Sebaliknya, teknologi internet menciptakan banyak sampah informasi.
Bila si model dan si perawat tak bisa menulis dengan rapi, dengan logika tersusun, dengan bahasa dingin, isinya juga akan menambah sampah.
Internet tak mengubah makna tentang keperluan informasi yang bermutu. Maksudnya, agar masyarakat bisa mengambil keputusan bermutu buat mengatur kehidupan mereka. Artinya, bila orang hendak memanfaatkan internet –dari Facebook sampai Change.org, dari You Tube sampai Twitter—buat membela hak mereka, mau tak mau, mereka harus belajar menulis dengan baik.
Menulis akhirnya tetap jadi keperluan penting, bahkan makin penting, pada zaman internet.
WARGA kini seharusnya bisa melihat media dengan fungsi baru. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menyebut budaya baru konsumsi media dengan istilah “look forward” sebagai lawan dari budaya lama “look backward.” Dulu media hanya tempat warga duduk menonton atau duduk membaca. Warga hanya bisa memilih apa yang disediakan Metro TV atau disajikan Tempo. Kini warga “look forward” dengan mencari informasi lewat internet, tak terpaku pada Metro TV atau Tempo, tapi bisa terus-menerus pindah website.
Ada delapan fungsi media pada zaman internet, menurut Kovach dan Rosenstiel.
Authenticator –Masyarakat tak melihat wartawan hanya sebagai penyedia informasi. Mereka memerlukan wartawan untuk menerangkan bukti dan dasar untuk memahami mengapa suatu informasi bisa dipercaya.
Sense Maker – Jurnalisme juga harus menerangkan sesuatu masuk akal atau tidak. Kebingungan dan ketidakpastian lebih sering muncul. Masyarakat menjadi kesulitan untuk menyaring mana yang masuk akal, mana propaganda, mana tipu-tipu dst.
Investigator – Wartawan harus terus berfungsi sebagai investigator guna mengawasi kekuasaan serta membongkar kejahatan dalam pelaksanaan pemerintahan.
Witness Bearer –Warga bisa membantu wartawan dengan bekerja sama menjadi saksi kejadian-kejadian penting. Ada potensi menciptakan kemitraan media dengan warga. Disini juga terletak kewajiban masyarakat untuk memberdayakan jurnalisme.
Empowerer –Wartawan memberdayakan warga dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam newsgathering. Warga memberdayakan wartawan dengan pengalaman dan keahlian mereka.
Smart Aggregator – Masyarakat memerlukan aggregator cerdas yang rajin menelusuri web serta menawarkan informasi bermutu kepada masyarakat. Saya pribadi memakai twitter @andreasharsono untuk mengusulkan link website yang berguna buat “follower” saya.
Forum Organizer –Jika wartawan membayangkan bahwa tujuan mereka adalah memberi inspirasi kepada masyarakat, maka forum organizer adalah fungsi yang masuk akal guna mendorong masyarakat mengambil keputusan yang bermutu buat perbaikan pemerintahan mereka. Masyarakat memerlukan “alun-alun” dimana mereka bisa belanja informasi dengan lengkap.
Role Model –Kini banyak organisasi berita membuat kelas-kelas jurnalisme untuk warga dan mendidik warga dalam meliput dan menulis. Kovach dan Rosenstiel memuji pendekatan ini namun wartawan harus mengerti bahwa perilaku mereka sekarang masuk ranah publik, bukan hanya laporan-laporan mereka. Mereka juga perlu jadi role model.
Bila seorang warga tahu fungsi baru media, dan dia hendak pakai internet guna menulis, maka dia perlu belajar soal apa yang disebut verifikasi. Setiap informasi harus diverifikasi. Setiap informasi harus akurat. Jangan mengandalkan konon, konon, konon ….
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima platform dalam verifikasi:
- Jangan menambah atau mengarang apa pun;
- Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
- Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi saat liputan;
- Bersandarlah terutama pada liputan diri sendiri;
- Bersikaplah rendah hati dan berpikir terbuka.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada sejumlah pasal pencemaran nama baik dengan cakupan terlalu luas dan samar-samar, menurut Human Rights Watch. Pasal-pasal ini melarang warga dengan sengaja mengeluarkan pernyataan yang mencemarkan reputasi orang lain walau, dalam banyak kasus, isinya memang benar. Hukuman penjara akan lebih berat bila pencemaran nama baik dilakukan terhadap para pejabat. Human Rights Watch menganjurkan Indonesia lakukan revisi terhadap pasal-pasal yang jahat ini.
Hukum internasional soal hak asasi manusia memungkinkan suatu negara membatasi kebebasan berekspresi guna melindungi reputasi orang lain. Tapi pembatasan macam ini dibatasi hanya pada masalah yang dianggap penting dan sekhusus mungkin. Ia juga hanya berupa perkara perdata … bukan pidana.
Kini pertanyaannya adalah apakah si model dan si perawat mau belajar menulis, sekaligus mengerti hukum pencemaran nama baik, dan menyadari bahwa internet bukan hanya buat chatting? Internet juga untuk membela hak-hak mereka. Saya kira pertanyaan ini berlaku bukan hanya buat si model dan si perawat. Ini juga berlaku buat Anda.
Andreas Harsono dari Yayasan Pantau, Jakarta, biasa menulis soal hak asasi manusia, jurnalisme, dan media. Dia pernah menjadi murid Bill Kovach di Nieman Foundation on Journalism, Universitas Harvard.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.