PADA awal tahun 2000, dari sebuah flat kecil di Cambridge, dekat Boston, saya melontarkan sebuah diskusi kecil buat rekan-rekan di Jakarta. Intinya, saya bertanya mengapa di Jakarta, tak ada media dengan ruang buat naskah panjang? Istilah kerennya, "narasi" sebagai terminologi yang membedakan struktur naskah tersebut dengan "feature" maupun "piramida terbalik."
Diskusi jadi panjang. Ada tanggapan dari Atmakusumah Astraatmadja, Nirwan Dewanto dan seterusnya. Harap maklum. Saya sedang senang diskusi karena lagi belajar di Universitas Harvard. Banyak waktu buat baca buku dan diskusi. Singkat kata, beberapa kawan, termasuk Janet Steele, dosen Universitas George Washington, menawarkan saya untuk mengajar genre tersebut di Komunitas Utan Kayu. Bahkan ada yang usul mengapa tak bikin majalah dengan genre tersebut?
Pertengahan 2001, dengan sponsor dari Kedutaan Amerika Serikat, guna membayari tiket pesawat Steele, kursus pun dimulai. Steele baru saja selesai masa mengajar di Universitas Indonesia. Dia tampaknya jatuh cinta dengan Indonesia. Kursus ini, plus riset soal majalah Tempo, membuat Steele tetap datang ke Jakarta setiap liburan semester. Belakangan, Janet Steele menerbitkan risetnya dengan buku Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia.
Dan kursus ini ternyata berjalan terus, diadakan oleh Yayasan Pantau. Ia sudah berjalan tanpa sponsor, hanya berdasarkan iuran, atau terkadang dapat sponsor untuk beberapa beasiswa, dan tak terasa kini sudah 12 tahun berjalan.
Ia rutin diadakan di Jakarta, minimal setahun dua kali, tapi juga di berbagai kota lain: Ambon, Banda Aceh, Bandung, Davao City, Ende, Jayapura, Makassar, Manado, Pontianak, Timika dan lainnya. Kini kami sedang bersiap bikin angkatan XXI di Jakarta: kursus jurnalisme sastrawi.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.