buat Dominikus Sorabut dan Putu Oka Sukanta
Goethe Haus, Jakarta, 9 Januari 2013
Oleh Andreas Harsono
Human Rights Watch
Saya mengucapkan terima kasih kepada Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran serta Asia Justice and Rights yang mengatur acara malam ini. Galuh Wandita mengemukakan ide tentang penghargaan ini ketika kami kebetulan sama-sama menginap di satu guest house di Jayapura. Pekerjaan Mbak Galuh di Timor Leste tentu mendahului namanya dimana-mana. Terima kasih juga untuk Usman Hamid dari Change.org sebagai pembawa acara malam ini. Salam hormat untuk Dian Purnama, Dodi Yuniar, Nancy Sunarno, Wiratmadinata, serta Zico Mulia. Anda semua membuat acara ini terjadi.
Hadirin sekalian,
Penghargaan Hellmann/Hammett adalah hibah yang diberikan setiap tahun oleh Human Rights Watch kepada penulis yang teraniaya. Ia dimulai 22 tahun lalu, tepatnya tahun 1989, ketika kawan dan keluarga almarhumah Lillian Hellman (1905–1984) minta Human Rights Watch mengelola warisannya. Lillian Hellmann seorang dramawan. Beberapa karyanya dijadikan film Hollywood. Ketika meninggal tahun 1984, dalam surat warisnya, Hellmann ingin harta peninggalan dipakai buat bantu sesama penulis --seperti dirinya maupun sahabatnya Dashiell Hammett (1894-1961), yang pernah dianiaya di Amerika Serikat karena sikap mereka. Hammett, penulis cerita detektif, meninggal dunia dalam kesepian sesudah diganggu oleh zaman gila Senator Joseph McCarthy dan dipenjara enam bulan pada 1951.
Menulis adalah laku moral. Lillian Hellmann menganggap banyak dari para pelaku moral ini teraniaya, termasuk novelis, dramawan, wartawan dan sebagainya. Mereka punya cita-cita sama dengan Human Rights Watch: membela hak orang tertindas, memperjuangkan hak asasi manusia. Human Rights Watch percaya bahwa hak asasi manusia perlu diperjuangkan dan mereka yang memperjuangkannya, perlu tetap bersinar terang dan perlu tetap bertahan melawan fitnah, penjara, penganiayaan bahkan pembunuhan.
Selama 22 tahun terakhir, lebih dari 750 penulis dari 92 negara menerima hibah Hellman/Hammett. Mereka masing-masing dapat bantuan sekitar US$5,000. Program ini juga memberikan bantuan darurat, bagi penulis yang harus menghindar dari kota atau negara mereka, juga penulis yang memerlukan pengobatan setelah menjalani hukuman penjara atau penyiksaan. Di Indonesia, beberapa orang yang pernah menerima Hellmann/Hammett adalah penyair Goenawan Mohamad, wartawan Ahmad Taufik dan Upi Asmaradhana, novelis Pramoedya Ananta Toer, dosen Arief Budiman maupun aktivis Octovianus Mote dan Yusak Pakage dari Papua serta Semuel Waileruny dari Ambon. Kini total dana yang dipakai dari warisan Lillian Hellmann lebih dari US$3 juta.
Tahun ini ada 41 penulis dari 19 negara menerima hibah Hellman/Hammett. Dari 41 pemenang tersebut, dua orang dari Indonesia: Dominikus Sorabut dan Putu Oka Sukanta.
Dominikus Sorabut adalah aktivis asal Wamena. Dia menghasilkan sejumlah film pendek tentang penggundulan hutan, penambangan liar, dan penindasan budaya Melanesia. Pada tahun 2010, Sorabut mengatur wawancara seorang petani Papua yang disiksa beberapa tentara Indonesia, antara lain, dibakar penisnya. Sorabut membantu menyiarkan kesaksian soal penderitaan para petani di Pegunungan Tengah, Papua. Ketika menghadiri sebuah pertemuan damai untuk bicara kemerdekaan Papua pada Oktober 2011, Sorabut ditangkap bersama lebih dari 300 orang Papua. Menurut Komnas HAM, lebih dari 90 orang dipukul polisi dan tentara. Tiga orang mati ditembak. Sorabut didakwa melakukan tindakan makar. Dia dihukum bersama dengan empat orang Papua lain dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Kini dia di penjara Abepura, Papua.
Putu Oka Sukanta, kelahiran Singaraja tahun 1939, adalah penyair dan novelis. Dia bekerja sebagai wartawan pada masa mudanya dan ikut dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat, Lekra. Ketika terjadi G30S, Lekra diganyang, ratusan ribu orang komunis dibunuh. Putu Oka Sukanta ditangkap pada 1966 dan ditahan, tanpa pengadilan, selama 10 tahun di Jakarta. Dia jadi sasaran pemukulan dan kelaparan. Dalam penjara yang tak manusiawi, dia belajar akupunktur dan obat herbal dari sesama tahanan.
Setelah bebas tahun 1976, dia bekerja sebagai ahli akupunktur dan herbal. Dia juga menerbitkan puisi, cerita pendek dan novel. Bekerja sama dengan beberapa sutradara muda, dia menghasilkan enam film dokumenter tentang peristiwa 1965.
Hadirin sekalian,
Dominikus Sorabut dan Putu Oka Sukanta adalah orang yang dianiaya karena mengungkapkan pikiran mereka. Mereka memiliki hak untuk berekspresi namun hak ini tak dihormati negara Indonesia. Mereka dituduh makar, mengganggu keamanan masyarakat serta hukuman penjara.
Malam ini adalah malam merayakan keberanian mereka. Namun malam ini kita mengetahui bahwa Bung Dominikus tidak bisa bersama kita. Dia sedang di penjara. Kami minta pemerintah Indonesia untuk membebaskan Sorabut maupun lebih dari 110 tahanan politik lagi di seluruh Indonesia. Pemerintah Indonesia tak bisa terus-menerus mengingkari bahwa tak ada “tahanan politik” lagi di Indonesia. Kenyataannya, masih banyak orang macam Sorabut, dipenjara karena secara damai menyatakan pendapat dan aspirasi politik mereka.
Atas nama Human Rights Watch kami mengucapkan selamat berkarya buat Bung Domi maupun Pak Sukanta. Kami menghargai keberanian sobat berdua dalam perjuangan ini.
La lutta continua.
No comments:
Post a Comment