Tuesday, March 20, 2012
Bikin Kedai Wartawan?
Selama dua bulan ini, Sapariah dan saya banyak bicara soal kemungkinan kami bikin sebuah kedai. Sapariah jago memasak. Dia sendiri tak makan daging merah sehingga sering bikin bakso ayam, juice buah bermacam kombinasi serta berbagai lauk gaya Melayu, Jawa atau Madura. Saya punya pengenalan yang cukup mendalam soal berbagai sambal, dari Aceh hingga Miangas, dari Ende hingga Lampung. Sambal adalah bumbu masak yang penting.
Mengapa suka makan lalu ingin bikin kedai? Sapariah merasa dia kelak ingin jadi penulis. Bekerja freelance. Capek juga kalau setiap hari bekerja di kantor, pulang malam, kerja jadi kuli orang, disuruh ini dan itu, tidak boleh menulis begini begitu. Kami juga ingin menambah penghasilan dengan cara yang halal. Selama ini, kami berdua bekerja sebagai wartawan, tanpa sampingan apapun, penghasilan juga pas-pasan. Kami bersyukur dengan penghasilan ini. Kami tak punya utang. Namun siapa tahu bikin kedai bisa sedikit memperkuat independensi ini?
Saya mendukung ide Sapariah. Hampir setiap minggu, saya kedatangan tamu-tamu yang menyenangkan, entah mahasiswa atau wartawan. Entah dari Washington atau Merauke, dari Chiang Mai atau Banda Aceh, atau rekan-rekan yang tinggal di Jakarta. Saya selalu ingat dengan sebuah kedai di London dimana berbagai wartawan suka kumpul. Ada saluran internet. Ada tempat makan, yang murah dan enak, seraya bisa baca dan mengobrol. Disitu juga dipajang buku-buku soal jurnalisme. Bill Kovach, guru saya dari Harvard, bila pergi ke London juga biasa nongkrong di kedai ini.
Kedai beginian mungkin bisa kami kelola dengan relatif baik di Jakarta. Kami juga sadar bikin kedai bukan pekerjaan mudah. Harus kerja keras, mengatur belanja bahan baku, pekerjaan dapur dan pelayanan meja. Juga harus cari tempat yang mudah dijangkau wartawan.
Namanya apa? Apalagi kalau bukan Kedai Indopahit.
No comments:
Post a Comment