Ranjang bayi, buatan Jember 1965, dulu dipakai saya, sekarang dipakai untuk anak saya.
TIGA BULAN sebelum kelahiran putri kami, Diana, saya teringat kembali pada boks bayi milik saya. Terbuat dari kayu jati, berukuran 75 X 100 cm persegi, ranjang putih dan bisa dilipat. Ia digunakan mama saya untuk menjemur saya, setiap pagi di depan rumah.
Saya lahir pada Agustus 1965 di kota kecil Jember di Pulau Jawa. Kegiatan menjemur itu bukan aktivitas biasa. Sejak September 1965, suasana politik Jember sedang panas. Banyak orang komunis ditangkap dan dibunuh. Rasialisme anti-Cina membara di berbagai tempat. Sebagai orang Tionghoa, oangtua saya menjemur saya dengan perasaan waswas. Presiden Soekarno pun digeser pada 1968.
Pada 1967, adik saya lahir dan ranjang itu diwariskan kepadanya, dan begitu terus. Boks bayi itu digunakan turun-temurun dari satu adik ke adik yang lain, bahkan menyeberang sampai ke sepupu-sepupu. Entah sudah berapa bayi yang dibesarkan seiring dengan menuanya ranjang ini. Keluarga saya di Jember tak biasa membeli ranjang bayi, begitu pula dengan pakaian, selimut, popok, dan sebagainya. Semua selalu diwariskan dari satu bayi ke bayi lain.
Menginjak usia remaja, saya pindah sekolah di Malang dan selanjutnya kuliah di Salatiga. Selesai kuliah, saya pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai reporter harian Jakarta Post. Urusan ranjang bayi, tentu saja, bukan pekerjaan reporter kurcaci.
Saya mulai ingat ranjang ini ketika anak pertama, Norman, lahir pada Januari 1997. Papa saya dengan senang hati mengirimkan ranjang itu dari Jember ke Jakarta. Saya membersihkan, mengecat ulang ranjang dan memesan kasur baru. Bayi Norman pun tidur di ranjang bekas ayahnya. Norman lahir dalam suasana Jakarta tegang. Antara Juli 1997 hingga Agustus 1999, Indonesia mngalami krisis moneter, yang berujung pada pembunuhan besar-besaran di Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Jawa, lengsernya Presiden Soeharto dan referendum Timor Leste.
Setelah Norman beranjak besar, saya pinjamkan boks bayi ini kepada kawan. Mula-mula, Agus Sudibyo, kini anggota Dewan Pers. Ketika anaknya besar, ranjang itu berpindah ke tangan Ade Juniarti dari Komunitas Utan Kayu. Sudibyo mengatakan, “Ranjang itu mengingatkan masa kecil saya, ibu saya, nenek saya. Ranjang itu saya merasa nyaman. Seakan-akan ibu dan nenek saya ikut menjaga anak saya.”
Ade Juniarti mengatakan, “Putih, bersih, kokoh, kuat. Membuat aku yakin anakku akan aman ketika tidur di dalam ranjang bayi itu.”
Kini Norman sudah besar dan ranjang itu akhirnya kembali pada saya karena adik Norman, Diana, lahir bulan lalu.
Lagi-lagi saya memesan kasur kecil dan membersihkan ranjang kecil. Isteri saya, Sapariah, melahirkan Diana lewat operasi cesar, dengan berat 3,3 kg dan panjang 41 cm. Kini bayi Diana tidur di ranjang dimana papanya tidur 46 tahun yang lalu.
Sedihnya, rasa waswas tetap ada. Kini kekerasan atas nama Tuhan! Ratusan gereja dan masjid (Ahmadiyah dan Syiah) ditutup di Jawa, Madura, Sumatra dan Sulawesi. Umat mayoritas menindas minoritas. Tampaknya, ranjang kecil ini menjadi bagian dari sejarah negeri dan sejarah keluarga saya. Seolah ia ingin bercerita banyak hal tentang negeri kacau ini.
-- Ayahbunda edisi Maret 2012