Siaran Pers
Center for Marginalized Communities Studies (CMARs) Surabaya
Kasus kekerasan yang dialami oleh Jamaah Syi’ah di Dusun Nangkrenang, Karang Gayam, Omben Sampang, merupakan tragedi kemanusiaan. Kasus ini sudah berlangsung sejak 2004, klimaksnya adalah aksi pembakaran rumah ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Ust. Tajul Muluk, beserta dengan dua rumah Jamaah Syi’ah lainnya dan Mushalla yang digunakan sebagai sarana peribadatan, 29 Desember 2011, pukul 8.30 WIB. Aksi tersebut dilakukan oleh sekitar 500 orang massa yang mengklaim diri sebagai ahl as-sunnah wa al-Jamaah.
Aksi pembakaran ini merupakan yang kedua kalinya dalam bulan Desember ini. Sebelumnya, aksi pembakaran rumah Jamaah Syi’ah juga terjadi di Desa Blu’uran, Karang Penang, Sampang pada 20 Desember 2011, dini hari. Pada saat itu, massa bahkan membuat palang pada pintu rumah Moh. Sirri sebelum membakarnya. Massa secara sengaja ingin mencelakai dan membunuh Moh. Sirri sekeluarga.
Aksi-aksi pembakaran ini merupakan mata rantai kekerasan yang dialami oleh Jamaah Syi’ah di Omben dan Karang Penang sejak 2004 akibat pewacanaan sesat atas ajaran Syi’ah dan aktivitas dakwah yang dilakukan oleh Ust. Tajul Muluk. Pada bulan Oktober 2009, serangan serupa terhadap Jamaah Syi’ah sebenarnya sudah terjadi. Pada saat itu, 3000an massa sudah siap menyerang Nangkrenang. Ancaman serangan terjadi kembali pada 4 April 2011, ketika Jamaah Syi’ah hendak memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Semua kekerasan terjadi akibat syi’ar kebencian (hate speech) yang diintensifikasi oleh para tokoh agama di Omben, dan direproduksi secara terus menerus oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang dan MUI se-Madura, Pimpinan Cabang Nahdhatul Ulama (PCNU) Sampang, dan Badan Silaturahmi Ulama se- Madura (Basra).
Ust. Tajul Muluk sendiri akhirnya diusir dari Sampang pada 16 April 2011. Pengusiran ini difasilitasi oleh Bupati dan Muspida, Bakesbanglinmas Sampang, dan Gubernur Jawa Timur. Sebelum diusir dari Sampang, Ust. Tajul Muluk, sempat mendekam 12 hari di Polres Sampang.
Betapapun Ust. Tajul Muluk dan Jamaah Syi’ah sudah sangat mengalah pada desakan massa dan pemerintah, akan tetapi intimidasi dan aksi kekerasan tidak pernah berakhir. Hampir setiap hari, Jamaah Syi’ah mendapat teror dan ancaman. Sikap polisi juga cenderung tunduk pada persekusi massa yang digerakan oleh para tokoh agama.
Berpijak pada situasi inilah, Center for Marginalized Communities Studies (CMARs) Surabaya, menyatakan:
1. Pemerintah Jawa Timur dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang gagal melaksanakan tanggung jawabnya dalam melindungi (to protect) Jamaah Syi’ah sebagai kelompok minoritas dari serangan dan pemberangusan hak kebebasan beragama/berkeyakinan yang dilakukan oleh kelompok anti-Syi’ah.
2. Kebijakan resmi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam menangani kasus Sampang sama sekali tidak berpihak pada kelompok rentan (Jamaah Syi’ah). Polisi memilih menangkap dan mengevakuasi korban daripada mencegah dan menindak pelaku-pelaku kekerasan.
3. Dalam kasus pembakaran tanggal 29 Desember 2011, meski polisi sudah mengetahui akan terjadi aksi pembakaran, akan tetapi polisi tidak melakukan pencegahan. Personil polisi yang diturunkan di lapangan kapasitasnya tidak cukup untuk menghentikan aksi kekerasan. Bahkan, polisi yang sudah ada di lokasi kejadian, hanya melihat saja proses pembakaran rumah dan Mushalla berlangsung.
4. Selama kasus kekerasan terjadi sejak 2004 sampai saat ini, tidak ada satupun pelaku kekerasan yang ditindak secara hukum. Polisi membiarkan kekerasan terjadi secara berulang-ulang. Pelaku kekerasan bebas berkeliaran dan tidak pernah dijerat oleh hukum. Inilah faktor yang menyebabkan kekerasan terus berlanjut sampai saat ini.
5. Pernyataan resmi Mabel Polri melalui Kepala Divisi Humas (Kadiv) Humas, Irjen Pol Saud Usman Nasution, mengaburkan substansi masalah pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Sampang. Mabes Polri menyebut bahwa kekerasan yang terjadi di Sampang adalah masalah keluarga, padahal faktual merupakan pelanggaran KBB yang bermula dari syi’ar kebencian yang diintensifikasi oleh semua tokoh agama dan ormas Islam sehingga membakar amarah dan amuk massa. Pernyataan resmi Polri adalah bentuk kebohongan publik.
6. Pernyataan Gubernur Jatim, Soekarwo, bahwa kasus Sampang sebagai masalah keluarga mencerminkan ketidakmampuan negara dalam melaksanakan kewajibannya dalam menjamin hak kebebasan beragama/berkeyakinan Jamaah Syi’ah di Sampang.
7. Pernyataan MUI Jatim melalui KH. Abdussomad Buchori yang merekomendasikan lokalisasi Jamaah Syi’ah, merupakan syi’ar kebencian (hate speech) yang bermotif victimizing victim.
8. Sampai saat ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum melakukan tindakan apapun sesuai dengan kewenangannya untuk mengangkat kasus Sampang sebagai pelanggaran HAM.
Rekomendasi
1. Polisi harus mengusut tuntas aksi kekerasan dan mengadili pelaku-pelaku kekerasan sesuai dengan mekanisme hukum pidana di Indonesia.
2. Polisi harus menjamin rasa aman Jamaah Syi’ah dari intimidasi dan serangan susulan yang sangat potensial terjadi.
3. Pemerintah Daerah Sampang dan Pemerintah Provinsi Jatim harus mengembalikan hak-hak dasar Jamaah Syi’ah dan menjamin kemanannya untuk kembali ke kampung Nangkrenang. Selama di penampungan, hak-hak dasar Jamaah Syi’ah juga tetap harus dipenuhi, termasuk hak jaminan kesehatan bagi perempuan hamil dan lansia, hak pendidikan bagi anak-anak (150 anak) di penampungan.
4. Komnas HAM harus segera melakukan investigasi dan menetapkan kasus Syiah sebagai pelanggaran HAM.
5. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) harus segera melakukan investigasi terkait pelanggaran terhadap hak-hak anak dalam Kasus Sampang.
6. Pemerintah Indonesia harus melakukan upaya pemulihan yang efektif bagi Jamaah Syi’ah sebagaimana amanat Pasal 2 International Covenant Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12/2005.
Contact Person:
Akhol Firdaus [031-8492188]
Ahmad Zainul Hamdi [0813-59279589]
Moch. Iqbal [0821-31255393]
No comments:
Post a Comment