BEBERAPA saat sesudah pembredelan Detik, Editor dan
Tempo, saya diperkenalkan oleh Goenawan Mohamad kepada koleganya: Zulkifly Lubis. Dia salah satu direktur majalah Tempo, biasa dipanggil Pak Zul atau ZL. Kesannya, ZL lebih banyak bekerja dalam manajemen Tempo, Temprint maupun Grafiti. Urusannya, lebih banyak soal uang, gedung, mobil dan lain-lain.
Beberapa bulan kemudian, Januari 1995, enam wartawan Tempo, termasuk GM, ZL dan Toriq Hadad, seorang redaktur Tempo, serta beberapa kenalan mereka, termasuk Ashadi Siregar (Yogyakarta) dan Muhammad Sunjaya (Bandung), mendirikan Institut Studi Arus Informasi. Tujuannya, wahana kampanye kebebasan pers di Indonesia.
GM menjadi ketua. ZL menjadi bendahara. Toriq Hadad jadi direktur program. Kantornya, di Jalan Utan Kayu 68-H, tempat yang baru dibeli oleh Tempo. Mereka mengajak beberapa wartawan muda, termasuk saya, ikut serta. Saya diminta mengurus administrasi dengan berbagai lembaga dana.
United States Agency for International Development, salah satu lembaga pendana yang membantu ISAI, minta saya ikut kursus manajemen NGO di Brattleboro, Vermont. Sebulan di Vermont, saya kembali ke Jakarta, dan November 1995, kami mulai bekerja mengurus organisasi.
Alamak!
Manajemen NGO tak bisa dipelajari hanya sebulan. ZL membimbing kami mengatur organisasi. Dia membuat sistem keuangan, personalia, pembelian dan lain-lain. Gerakan perlu logistik rapi. ZL mengatur semua menjadi rapi walau orang-orang yang kami hadapi dengan background aktivis, seniman, wartawan dan lain-lain. Kepala bisa pecah mengatur orang dengan talenta bermacam-macam.
Pengalaman ZL sebagai direktur Tempo, tentu saja, sangat membantu pembuatan sistem manajemen ISAI, belakangan, juga Teater Utan Kayu dan Salihara. Namun ZL bukan
finance figure steril. Dia mengerti perjuangan demokrasi. Saya melihat selama delapan tahun bekerja dengan mereka, GM adalah figur pemimpin. ZL adalah figur palang pintu.
ZL sering bilang pada saya, bahwa kami perlu “mengamankan” GM.
Bila keputusan bersama sudah dibuat dan GM sudah mengambil keputusan, ZL minta semua barisan rapi menjalankan keputusan itu. Ini perjuangan menegakkan demokrasi, kebebasan pers dan masyarakat madani di Indonesia. Khusus soal keuangan, ZL tegas sekali.
ZL kelahiran Medan 1944, putra HM Dahlan Lubis, seorang pedagang. Mungkin background keluarga pedagang Batak ikut menjadikan dia tahu betapa uang harus diatur transparan. Dia sering meledek orang yang tak bayar utang. Dia jengkel sekali dengan orang yang berutang pada perusahaan-perusahaan dimana dia bekerja dan tak membayar.
Tahun 1996, ketika rezim Presiden Soeharto menggulingkan Megawati Soekarnoputri, sebagai ketua Partai Demokrasi Indonesia, media umum makin ketakutan. Sebagian juga makin terpengaruh pola pandang rezim.
Kami memutuskan bikin Blok M, organisasi wartawan bawah tanah. Kalau di Jawa saja begitu, entah bagaimana penderitaan di daerah macam Acheh, Papua Barat dan Timor Leste. Kami memutuskan kerja sama dengan organisasi sipil di Acheh, Papua Barat dan Timor Leste.
ZL mengatur sewa ruang, beli komputer, sewa mesin fotokopi. ZL atur agar satu unit dan unit lain bisa bekerja independen. Sistem dibikin tapi cukup flexible. Namun, ZL juga mengerti bahwa dia sendiri tak boleh tahu dimana Blok M berada.
Dia minta saya dan kawan-kawan mencari tempat. ZL percaya dan teken uang sewa.
Blok M bekerja menerbitkan media alternatif. Mulai dari percetakan hingga internet.
Tak disangka, krisis moneter menerpa Asia pada awal 1997. Saat dolar menguat terhadap rupiah, ZL minta saya merupiahkan dana simpanan ISAI. Jual dolar dan memasukkan ke rupiah. Ini peluang mendapatkan bunga deposito. Sebab, dana ISAI, yang disimpan—karena belum semua program dijalankan -- tak dapat bunga bila menganggur. Deposito berbunga hampir 50 persen. Dolar naik dari Rp 2,300 menjadi Rp 7000. Mei 1998, ketika Presiden Soeharto mundur, berbekal bunga bank lumayan besar dan tambahan dana pribadi GM, kami membeli tanah dan membangun gedung Teater Utan Kayu.
Beberapa hari sesudah Soeharto mundur, ZL tampak senang sekali.
Dia traktir saya makan, "Apa saja yang you suka!"
Sesudah Presiden Soeharto turun, gerakan kekerasan atas nama Islam, mulai merebak. Bom meledak di berbagai tempat. Fatwa-fatwa sempit bermunculan. Kaum minoritas dianiaya. Utan Kayu, yang berkembang sebagai tempat dimana keberagaman dirayakan, termasuk sasaran kekerasan.
ZL ternyata turun tangan juga. Sejak 1970an, ketika dia kuliah di Jogjakarta dan bersahabat dengan pendeta Th. Sumartana, ZL bergabung dengan Interfidei, organisasi yang mempromosikan dialog antar iman. ZL berpendapat, agama harus dipisahkan dari politik. Dia berpendapat, pendirian negara Islam adalah politik basi. Ini menarik kalau saya ingat HM Dahlan Lubis adalah aktivis Masjumi, partai besar yang kampanye “negara Islam.”
Pada 2008, ZL ikut teken pernyataan Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Tujuan AKKBB adalah mencegah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, untuk membuat aturan yang diskriminasi terhadap kaum minoritas agama, terutama Ahmadiyah. Sayang, SBY tidak mau mendengar pendapat AKKBB. Dia mengeluarkan keputusan diskriminasi Ahmadiyah pada Juni 2008. Dampaknya, kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah meningkat drastis.
Saya mulai sering menulis pembunuhan terhadap kaum Ahmadiyah, penutupan macam-macam gereja, penjara untuk aktivis Bahai dan lain-lain. Setiap kali kami bertemu, ZL tanya bagaimana perkembangan Ahmadiyah. Terakhir kami bertemu di rumah sakit di Jakarta dimana ZL dirawat karena kanker paru-paru. Saya cerita soal kesulitan Ahmadiyah. Dia memegang tangan saya. Dugaan saya, dia merasa prihatin dengan makin meluasnya diskriminasi terhadap orang Ahmadiyah.
Subuh, 11 September 2011, saya mendapat kabar dari Irawan Saptono, direktur ISAI, bahwa ZL meninggal dunia. Kanker paru-paru penyebabnya. Dia meninggal dalam usia 67 tahun.
Seorang kawan baik sudah pergi jauh. Sore hari, saya berada di kuburan Layur, Rawamangun, ikut mengantar ZL. Ada banyak kawannya hadir disana. Saya mengenangnya sebagai seseorang yang bekerja dalam diam. Naluri ZL adalah naluri seorang pejuang. Sore itu adalah suatu sore penghormatan buat seorang pejuang kemanusiaan.
Naskah ini dibuat untuk antologi Zulkifly Lubis 1944-2011: Sahabat Sepanjang Hayat. Andreas Harsono ikut mendirikan Institut Studi Arus Informasi pada Januari 1995 bersama Zulkifly Lubis.