Buku hadiah ulang tahun Goenawan Mohamad ke-70 |
PERTENGAHAN Juni 1996, saya menemani Goenawan Mohamad pergi ke Mahkamah Agung. Kami hendak dengar keputusan Mahkamah Agung terhadap gugatan “Pak Goen” --selaku pemimpin redaksi mingguan Tempo-- terhadap pembredelan Tempo oleh Menteri Penerangan Harmoko dua tahun sebelumnya.
Pak Goen pakai baju putih dan kopiah hitam. Dia ingin tahu namun tak berharap. Bagaimana tidak? Mahkamah Agung punya citra tidak independen. Namun tanpa diduga, gugatan Pak Goen menang di pengadilan tata negara tingkat kota Jakarta. Harmoko banding ke pengadilan tinggi. Harmoko masih kalah. Maka Harmoko banding ke Mahkamah Agung.
Pagi itu, di Mahkamah Agung, majelis hakim dipimpin Soerjono, ketua Mahkamah Agung, dengan dua anggota: Th Ketut Suraputra dan Sarwata. Mereka perlu waktu satu jam untuk membaca keputusan mereka. Hasilnya, mereka mengalahkan Pak Goen. Mereka berpendapat “pembatalan” surat izin terbit Tempo tak sama dengan pembredelan. Logika jungkir balik. Banyak pengunjung kecewa. Juga marah. Saya hanya geli. Ketika keluar dari Mahkamah Agung, Goenawan dikerubungi wartawan, minta komentar.
Dia bilang, "Bagi saya, perjuangan kebebasan pers menurut hukum sudah selesai. Selanjutnya adalah perjuangan lain." Dia mengulang-ulang istilah “jalan lain” maupun “cara lain.”
Ia salah satu momen menarik dalam kewartawan Goenawan Mohamad. “Jalan lain” adalah gerakan media bawah tanah. Ia tindakan melawan hukum Indonesia dimana semua penerbitan harus punya izin negara. “Jalan lain” adalah dukungan kepada sekelompok wartawan muda melawan rezim Soeharto.
Awalnya, Agustus 1994, sebulan sesudah pembredelan Detik, Editor dan Tempo, sekitar 100 wartawan asal Bandung, Jakarta, Jogjakarta dan Surabaya, mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di dusun Sirnagalih, kawasan Puncak. Salah satu tujuan AJI adalah memperjuangkan kebebasan pers. Tujuan itu, walau sederhana, sebenarnya bertentangan dengan hukum Indonesia yang mengawasi “pers Pancasila” –lengkap dengan berbagai surat izin dan kooptasi Persatuan Wartawan Indonesia serta Serikat Penerbit Suratkabar. AJI menerbitkan majalah dengan nama Independen. Dampaknya segera muncul. Tiga wartawan dipenjara: Ahmad Taufik, Danang K. Wardoyo serta Eko Maryadi. Ini disusul penangkapan-penangkapan lain.
Penangkapan membuat AJI bergerak bawah tanah. Dari sebuah flat di Tanah Abang ia pindah ke sebuah rumah kecil di Palmerah. Muncullah nama-nama samaran: Ghufron, Tosca, Yuyun dsb. Ghufron adalah Goenawan.
Dari Utan Kayu, markas Institut Studi Arus Informasi, dirumuskan satu gerakan lain. AJI perlu dukungan. Gerakan ini tak pernah diberi nama. Secara umum, ia disebut “Blok M” –mengacu pusat perbelanjaan di selatan Jakarta. Janet Steele dalam buku Wars Within: The Story of Tempo an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia menulis bahwa Blok M melawan sensor lewat internet. Ia menjalin kerja sama dengan aktivis-aktivis hak asasi manusia dari berbagai penjuru dunia maupun aktivis Timor Timur –secara lebih terbatas juga dengan Aceh dan Papua Barat.
Waktu itu internet masih baru. Jakarta belum akrab dengan World Wide Web atau Google. Sambungan masih pakai telepon dial-in. Belum ada Facebook, apalagi Twitter dan You Tube. Blok M bekerja sama dengan Nusanet, sebuah sistem internet dari kalangan NGO, serta Apakabar, mailing list di Maryland dengan moderator John MacDougall. Naskah dikirim kepada MacDougall. Dia lantas sebarkan naskah itu lewat apakabar@clark.net.
Kerjanya mirip kerja ruang redaksi biasa. Kami menyewa sebuah kantor. Kami mempekerjakan wartawan, editor, teknisi, kontributor dan lain-lain. Ada bagian keuangan. Ada bagian personalia. Ada penggalangan dana. Ada manajemen dan secara bergurau, Pak Goen menyebutnya, “politbiro” –rapat redaksi setiap Rabu.
Pak Goen minta ruang kerja diberi sistem pengamanan elektronik. Ruang redaksi Blok M disewakan rumah yang Pak Goen sendiri tak tahu dimana. Bekerja dengan sistem sel. Pengiriman email dengan encryption. Ada juga percetakan dibeli dan diletakkan di daerah Kalibata, dekat markas Badan Intelijen Negara.
Juni 1996, ketika Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan itu, infrastruktur Blok M mulai dibangun. “Jalan lain” makin dipercepat sesudah Juli 1996, ketika begundal-begundal suruhan Soeharto menyerbu markas Partai Demokrasi Indonesia di Jakarta. Megawati Soekarnoputri disingkirkan. Partai Rakyat Demokratik diuber-uber macam pesakitan. Majalah Gatra, yang sebagian redaksi berasal dari Tempo, mengeluarkan kampanye hitam terhadap PRD. Mereka dituduh komunis. Mereka dituduh macam-macam. Sasaran tembak Gatra adalah Budiman Sudjatmiko dan Dita Indah Sari. Ia mirip kampanye terhadap Partai Komunis Indonesia pada 1965.
Juli 1996, Blok M dijalankan. Agar ada promosi terhadap Blok M, kami mengumpulkan ratusan nomor fax, terutama kantor-kantor, dan setiap malam mengirim Blok M lewat mesin fax otomatis. Ini berjalan berminggu-minggu. Goenawan sering geli bila ada orang mengirim balik atau fotokopi fax itu untuk dia. Pengalaman ini membuat kami sadar bahwa kuantitas bukan masalah utama dalam penerbitan alternatif. Ia selalu punya multiplier effect. Secara alamiah orang mencari kebebasan. Secara alamiah orang akan mencari informasi alternatif bila sensor berjalan. Mereka juga menyebarkan sendiri.
Dalam rapat redaksi, kami sering bicara soal produk berita Blok M. Dia kurang happy bila ada berita yang terlalu emosional. Dia ingin berita dikerjakan profesional. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Pak Goen sering bikin analisis dan menyerahkan pada redaksi. Pak Goen mungkin tak tahu persis berapa orang terlibat dalam pekerjaan. Sebagai asisten dia, saya ingat suatu malam mengerjakan laporan tahunan. Kami membayar gaji maupun honor untuk sekitar 120 orang.
Pada pertengahan 1997 tanpa terduga terjadi penurunan nilai tukar Baht terhadap Dollar. Gejala ini merembet ke Indonesia. Nilai rupiah terpukul. Harga barang melonjak. Terjadi kekacauan. International Monetary Funds turun tangan. Ekonomi ala Soeharto kacau balau. Soeharto diduga memerintahkan Kopassus menculik para aktivis dan mahasiswa. Suasana mencekam. Sentimen anti-asing ditiupkan media Soeharto. Pak Goen terpaksa berbekal sikat gigi dan handuk. Ada kemungkinan dia ditangkap.
Dia bilang, “Kita boleh takut tapi jangan takluk.”
Kerusuhan pecah dimana-mana. Pada Mei 1998, Soeharto terpaksa mengundurkan diri. Antara 1997 hingga 2005, Indonesia memasuki periode berdarah –tak termasuk Papua Barat yang masih berkepanjangan hingga sekarang. Ikatan negara pasca-kolonialisme Hindia Belanda menunjukkan ikatan yang alamiah lemah. Mendekati 100 ribu orang mati, dari Aceh hingga Timor Leste, dari Kalimantan hingga Ternate dan Ambon.
Tempo terbit kembali. Detik berubah jadi Detik.com. Ledakan media muncul. Dari 200an suratkabar, dalam waktu 10 tahun, ada lebih dari 1.000. Televisi juga muncul dari 11 stasiun menjadi lebih dari 100. Keperluan akan sumber daya wartawan membuat sebagian personil Blok M ditarik media mainstream. Berjalan empat tahun, Blok M ditutup.
“Jalan lain” mengingatkan saya pada biografi Albert Camus: A Life karya Olivier Todd. Camus seorang wartawan dan sastrawan Perancis kelahiran 1913 di Mondovi, Aljazair. Ketika Jerman menduduki Prancis pada Perang Dunia II, Camus bergabung dengan gerakan perlawanan bernama Combat. Mereka menerbitkan majalah, juga dengan nama Combat. Nom de guere Camus adalah Beauchard. Risiko ketahuan Jerman adalah hukuman mati. Pada 1943, Camus menjadi editor Combat. Dia menyaksikan Sekutu masuk ke Paris pada 1945 dan ikut mengubah Combat jadi media resmi.
Bukan pilihan mudah karena Camus seorang penulis terkemuka.
Pilihan Goenawan juga bukan mudah mengingat dia pemilik saham salah satu konglomerat media di Indonesia. Dari Tempo dan Jawa Pos, dia memiliki saham, langsung maupun tak langsung, lebih dari 100 perusahaan. Goenawan bisa memilih kompromi kepada rezim Soeharto –sesuatu yang dia harus lakukan sebagai editor Tempo pada 1971-1994—namun dia memilih “jalan lain.”
Pada 1947, Camus pensiun dari politik dan jurnalisme. Dia menulis esai serta kerja teater. Goenawan juga enggan kembali jadi editor Tempo pada 1999. Dia memilih sastra dan teater. Goenawan mendirikan Teater Salihara. Namun agak beda dengan Camus, yang meninggal dalam usia muda pada 1953, Goenawan berumur panjang. Dia ikut mendirikan Partai Amanat Nasional. Pada pemilihan presiden 2009, dia ikut mendukung Boediono sebagai calon wakil presiden, berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan pilihan ideal namun Pak Goen menilai mereka lebih aman daripada pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto. Pak Goen tak percaya pada Prabowo, jenderal yang bertanggungjawab terhadap penculikan aktivis 1997-1998.
John MacDougall menulis bahwa antara 1990 dan 2002, ada 175 ribu posting apakabar@clark.net. MacDougall mengatakan mayoritas posting dalam mailing list itu berasal dari Blok M. Komentar MacDougall membesarkan hati.
Bukankah C.P. Scott mengatakan, “Comment is free, but facts are sacred”?
Blok M menyediakan informasi. Bukan komentar. Zaman internet adalah zaman tsunami informasi. Banyak komentar murahan muncul di internet. Jalan lain dari Goenawan Mohamad, terlepas dari kekeliruan sekali atau dua, tetap bersandar pada wacana bahwa jurnalisme adalah kepercayaan, bahwa masyarakat memerlukan informasi bermutu. Ketika sensor berkuasa, ketika kekuasaan menindas akal sehat, maka jurnalisme harus melawan.
Esai ini dimuat dalam antologi Goenawan Mohamad: Enak Dibaca dan Perlu diluncurkan pada 25 Juli 2011 guna menyambut ulang tahun ke-70 Goenawan pada 29 Juli 2011.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.