PADA bulan Juni ini, saya tiba-tiba melihat banyak sekali spanduk soal Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika bermunculan di pagar gedung parlemen di Senayan. Isinya macam-macam. Mulai dari yang serius, yang menunjukkan kekuatiran terhadap pergeseran "empat pilar" negara Indonesia, hingga yang menunjukkan kebodohan. Tong kosong nyaring bunyinya.
Billboard dari pemimpin MPR dan DPR relatif dipasang paling lama. Jadi ingat berbagai macam iklan dari MPR, terutama ketua MPR Taufik Kiemas, yang menyatakan kekuatiran dia terhadap tergerogotinya Pancasila. Kiemas mengatakan dia kuatir dengan berbagai macam klaim soal syariah Islam untuk dipakai di negara Indonesia. Dia kuatir lihat kekerasan atas nama Islam. Mulai dari pengeboman hingga munculnya hukum-hukum Islam di negara Indonesia.
Saya kira Pancasila adalah kompromi politik antara kalangan sekuler (plus Kristen, Hindu dan Buddha) versus kalangan politik berbendera Islam pada tahun 1945. Ia bukan ideologi negara. Ia bukan jiwa bangsa. Ia juga bukan propaganda. Ia adalah bagian dari mukadimah UUD 1945 dan mukadimah hasil kompromi dalam perdebatan-perdebatan di badan persiapan kemerdekaan Indonesia.
Lucunya, dalam spanduk-spanduk ini, politisi yang sering teriak soal "negara Islam" juga muncul dalam billboard ini. Sama-sama teriak Pancasila lewat billboard besar. Saya kadang bingung apakah mereka benar mengerti terhadap isi billboard tersebut? Atau mereka berbohong?
Lucunya, dalam spanduk-spanduk ini, politisi yang sering teriak soal "negara Islam" juga muncul dalam billboard ini. Sama-sama teriak Pancasila lewat billboard besar. Saya kadang bingung apakah mereka benar mengerti terhadap isi billboard tersebut? Atau mereka berbohong?
Mereka juga tidak bersuara ketika kaum minoritas --termasuk Kristen, Ahmadiyah dan Buddha-- diganyang oleh preman-preman berwacana Wahabisme. Bahkan beberapa menyerukan pembubaran Ahmadiyah: sebuah organisasi yang berdiri lebih tua dari negara Indonesia serta diakui sebagai badan hukum Indonesia pada 1953.
Bila mereka mendukung Bhinneka Tunggal Ika, seharusnya mereka juga bersuara paling lantang membela kaum minoritas. Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa pada 2004, terjadi penyerangan, pengrusakan dan pembakaran terhadap 430 gereja, menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Sejak Presiden Yudhoyono mengeluarkan SKB Ahmadiyah pada 2008, penyerangan terhadap Ahmadiyah meningkat, lebih dari 180 kali per April 2011, menurut Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Ini belum kasus Syiah maupun Buddha ... jumlah lebih kecil maupun beberapa kasus penyerangan terhadap kaum minoritas di Aceh.
Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia dimana syariah Islam dijalankan resmi. Saya tak punya posisi soal syariah Islam. Namun saya menganggap beberapa qanun di Aceh melanggar UUD 1945 maupun hukum hak asasi manusia internasional. Misalnya, diskriminasi terhadap perempuan berupa keharusan "busana Muslim" maupun hukum cambuk dan potong tangan. Ini melanggar konvensi internasional terhadap penyiksaan.
Ada juga jargon Pancasila sebagai "karakter bangsa" atau "jiwa bangsa" atau entah apa lagi. Saya kira mereka tak mengerti bahwa "bangsa" sebuah proses. Ia bukan sebuah produk. Tidak ada produk bernama "bangsa Indonesia." Apalagi "jiwa bangsa" ... atawa "karakter bangsa."
Ada juga jargon Pancasila sebagai "karakter bangsa" atau "jiwa bangsa" atau entah apa lagi. Saya kira mereka tak mengerti bahwa "bangsa" sebuah proses. Ia bukan sebuah produk. Tidak ada produk bernama "bangsa Indonesia." Apalagi "jiwa bangsa" ... atawa "karakter bangsa."
Sayang spanduk-spanduk yang bertebaran di Senayan ini sering tak mencerminkan pemahaman yang proporsional soal kehidupan bernegara. Ia tak mencerminkan ketahuan terhadap sistem pemerintahan dunia: Perserikatan Bangsa-bangsa.
Coba ditanya deh siapa "kelompok" yang merusak "ideologi bangsa"? Saya tak yakin orang-orang ini, yang memasang spanduk, berani bicara terbuka.
Coba ditanya deh siapa "kelompok" yang merusak "ideologi bangsa"? Saya tak yakin orang-orang ini, yang memasang spanduk, berani bicara terbuka.
Buat saya pertama-tama tidak ada "ideologi bangsa" sehingga ia juga tak bisa dirusak. Barang yang tidak ada, tentu tidak bisa dirusak bukan? Pancasila hanya sebuah kompromi politik. Dan sebuah kompromi, tentu saja, bisa dirusak bahkan sekarang sudah jelas dirusak.
Ukurannya? Selama 60 tahun Indonesia diakui sebagai negara berdaulat, saya kira, ukuran paling mudah adalah melihat hukum-hukum yang dihasilkan berbagai macam badan legislasi (DPR dan DPRD), badan eksekutif (Presiden, Menteri, Gubernur dan seterusnya) maupun preseden hukum di Indonesia. Sesudah terbentuknya Mahkamah Konstitusi, maka salah satu ukuran adalah keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi. Apakah mereka mencerminkan kompromi politik pada 1945?
Ukuran lain adalah UU Nomor 12 Tahun 2005 Pengesahan Kovenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Ini sebuah dokumen PBB dimana negara yang sudah mengesahkan diminta menyesuaikan hukum-hukum mereka terhadap isi konvenan. Dunia praktis dikelola dengan pengakuan terhadap hak asasi manusia thus hak warga negara mereka. ICCPR sudah ditekan 174 negara (delapan belum ratifikasi parlemen mereka) dari total 192 negara anggota PBB per Desember 2010. Ke-174 negara tersebut tentu juga meliputi banyak negara mayoritas Muslim.Tanpa teriak-teriak Pancasila, orang sebenarnya bisa serius mengukur mana produk-produk hukum di Indonesia yang bertentangan dengan ICCPR. Tahun 2005, atau 50 tahun sesudah 1945, adalah tahun penting karena UUD 1945 diperkuat dengan ratifikasi Indonesia terhadap produk hukum yang disepakati oleh PBB. Proses pembuatan ICCPR juga lebih lama dan lebih rumit daripada UUD 1945.
Saya kuatir tanpa pemahaman proporsional terhadap kompromi 1945 maupun ICCPR, spanduk-spanduk ini hanya berhenti pada slogan. Tong kosong nyaring bunyinya. Saya kuatir pilar-pilar negara Indonesia juga sudah mulai keropos.
No comments:
Post a Comment