BROWSING newspaper setiap pagi adalah salah satu kegemaran saya. Saya senang melihat font, disain, byline, firewall, navigasi serta pilihan berita suatu suratkabar. Entah sejak kapan kegemaran ini muncul. Mungkin ia dimulai secara amatir ketika masih kuliah.
Pada 1980an, saya suka nongkrong dekat tukang koran depan lapangan tennis Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Kami hanya beli satu eksemplar namun numpang baca Kompas, Media Indonesia, Suara Merdeka, Tempo, Wawasan dan lain-lain. Di rumah saya langganan majalah musik Rolling Stone dari San Fransisco serta beberapa majalah lain.
Menyenangkan bila suratkabar tak sekedar menurunkan berita sehari-hari namun menurunkan laporan panjang atau feature bertenaga.
Ketika bekerja sebagai reporter kurcaci harian Jakarta Post pada 1993-1994, sebuah suratkabar dengan disain membosankan, saya suka berkunjung ke bagian pra-percetakan Kompas. Jakarta Post dicetak di penerbitan Kompas Gramedia. Letaknya di seberang jalan.
Saya suka sekali melihat proses disain dan cetak. Dulu disain pakai Linotype. Harus dipotong-potong per kolom dengan silet. Bila terlalu panjang dikurangi ujung laporan. Bila terlalu pendek diganjal dengan berita mini. Saya suka mengingat-ingat bau tinta suratkabar saat subuh keluar dari percetakan.
Ketika pindah harian The Nation, saya mulai berkurang jalan ke percetakan. Bangkok kota luas. Percetakan terletak jauh dari redaksi The Nation.
Kegemaran ini mulai jadi serius ketika saya mulai belajar soal news design di Universitas Harvard pada 1999-2000. Jurnalisme adalah kegemaran saya. Belajar jurnalisme tak lengkap bila tak belajar disain.
Saya merasa harus tahu pikiran di balik setiap disain berita. Mengapa font Times New Roman digemari? Apa makna ujung-ujung tajam Times New Roman? Apa sejarah Italics, Condensed, Helvetica? Bagaimana menentukan ukuran 7, 8, 9, 10, 11 dst. Ini belum lagi papan warna. Saya belajar penomoran warna dari hitam sampai warna-warna campuran.
Di Harvard, saya beruntung belajar dari Bill Kovach maupun rekan-rekannya dari New York Times maupun Atlanta Journal. Saya mulai belajar soal aspek seni dalam newspaper design: warna, garis, gambar, foto dan sebagainya.
Kovach bahkan minta saya mengunjungi kantor Philadelphia Aurora, suratkabar terbit tiga hari seminggu, di kota Philadelphia, antara 1794 sampai 1824. Kantor mereka sekarang jadi museum. Ia masih sama dengan arsitekturnya pada abad 18. Cetakan suratkabar macam sablon. Ada tempat menyusun huruf-huruf dari timah. Susunan tersebut lantas dicapkan di lembaran kertas. Ruang redaksi di lantai dua. Ruang tamu, ruang administrasi dan tempat mencetak di lantai dasar.
Saya juga berkenalan dengan para disainer dari Society for News Design. Misi organisasi ini adalah "... to enhance communication around the world through excellence in visual journalism."
Saya dulu mencatat kelebihan atau kekurangan suratkabar yang saya perhatikan. Saya praktis membaca dan mencatat disain puluhan suratkabar. Bagaimana memasang iklan agar ia tak mengganggu mata pembaca dalam membaca suratkabar? Mengapa kolom kecil suratkabar boleh rata kanan? Mengapa "advertorial" adalah suatu kebiasaan buruk?
Favorit saya adalah majalah The New Yorker. Ketika pulang dari Harvard, catatan-catatan ini berguna bila saya diminta mengajar di ruang redaksi. Saya juga membuat resensi soal The New Yorker. Namun saya juga senang melihat suratkabar Asahi Shimbun (Tokyo), Frankfurter Allgemeine Zeitung (Frankfurt), Le Monde (Paris), The New York Times dan beberapa harian lain.
Bersama beberapa disainer, termasuk Joko Sudarsono, Hermawan Tanzil dan S. Prinka, saya pernah mencoba menerapkan pemahaman soal disain kepada majalah Pantau. Ia sempat menjadi majalah dengan cover tanpa judul apapun. Polos saja. Cover Pantau juga selalu memakai lukisan. Marto Art, seorang seniman Jakarta, menggambar cover Pantau dengan karakter Sin Chan bergaya tokoh revolusi Kuba Che Guevara. Warna merah darah. Kami juga menaruh lukisan di halaman belakang.
Setiap bulan juga ada esai foto. Kami menilai foto dan tulisan tak harus ada bersamaan. Terkadang kami bikin laporan karena ada foto. Biasanya di media lain, foto selalu mengikuti laporan. Pantau membaliknya. Laporan mengikuti foto. Lebih sering lagi, laporan turun begitu saja, tanpa foto.
Pantau juga selalu memakai kartun dan karikatur. Salah satu instruktur saya di Nieman Foundation, Universitas Harvard, adalah Doug Marlette (1949-2007), kartunis asal Charlotte, North Carolina, pemenang hadiah Pulitzer. Marlette sangat mempengaruhi cara pandang saya terhadap kartun. Dia tentu menjadikan kartun sebagai alat kritik sosial.
Setiap bulan, Joko Sudarsono membayar sekitar 15-28 kartun. Mayoritas kartun datang dari komunitas Kaliwungu. Pekerjaan memilih kartun menarik sekali. Joko selalu coba menghindar dari slapstick.
Kami senang sekali dengan majalah ini. Ia mencoba memperkenalkan sesuatu yang segar dalam jurnalisme di Jakarta. Nama-nama penulis muda bermunculan. Seniman-seniman muda juga senang bila karya mereka dipakai cover atau gambar belakang Pantau. Marto Art sangat bangga pada cover Sin Chan (Marto Art juga seniman yang menggambar logo klasik almarhum Munir). Sayang majalah Pantau tak berumur lama. Hanya bertahan tiga tahun. Ia ditutup pada 2004. Saya ikut bertanggungjawab terhadap kekeliruan manajemen Pantau.
Namun bersama Yayasan Pantau serta International Center for Journalist (Washington DC), saya juga beberapa kali mengundang disainer Society for News Design untuk datang ke puluhan ruang redaksi di Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi, Flores bahkan Papua. Mereka bekerja memperbaiki disain berbagai suratkabar.
Kini setiap pagi, bila ada kesempatan muncul di cafe, saya selalu memperhatikan lima atau enam suratkabar. Saya tak tahu kebiasaan ini bisa bertahan berapa tahun lagi. Suratkabar perlahan-lahan akan berhenti. Kini saya makin banyak habiskan waktu membaca lewat layar komputer. Mungkin layar komputer akan ditambah dengan layar telepon.
Namun news design tak berarti berhenti bersama dengan suratkabar. Disain juga diperlukan oleh dunia internet bukan?
No comments:
Post a Comment