Wartawan Alfred Mirulewan (1981-2010) bersama isteri dan anak mereka di taman Gong Perdamaian, Ambon. Mereka berasal dari Pulau Kisar. Mirulewan wartawan Pelangi Maluku. Dia ditemukan meninggal pada 17 Desember 2010 di pelabuhan Pantai Nama, Wonreli. Dia diduga dibunuh karena liputan soal kelangkaan bensin di Pulau Kisar. ©Linda Sarak
SELAMA tiga minggu terakhir ada dua wartawan Pulau Kisar, Jeremias Maahury dan Leksi Kikilay, datang ke Jakarta guna advokasi terhadap pembunuhan rekan mereka Alfred Mirulewan. Mereka bekerja untuk suratkabar Teropong Barat Daya.
Mereka minta bantuan Dewan Pers, LBH Pers, Komnas HAM dan Aliansi Jurnalis Indepeden. Mereka percaya Mirulewan dibunuh di gudang bekas penyimpanan lobster, areal pelabuhan Pantai Nama, Wonreli, Kisar. Mirulewan diduga dibunuh karena meliput kelangkaan bensin premium di Kisar. Harga premium Rp 20-50 ribu per liter. Di Jakarta Rp 4500 liter.
Pulau Kisar tempat terpencil. Disini tak ada jaringan telepon (kecuali sinyal telepon seluler). Mereka juga tak ada sambungan internet. Di pulau ini hanya ada tiga wartawan dan satu sudah dibunuh.
Secara geografis, mereka lebih dekat ke Timor Leste. Namun secara administrasi, mereka masuk provinsi Maluku dengan ibukota Ambon. Ongkos pesawat ke Ambon atau Kupang, metropolitan di Timor Barat, sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta. Mahal sekali bila dibanding Jakarta-Jogjakarta hanya Rp 1 juta pulang pergi.
Mereka ingin berbagai lembaga di Jakarta memberikan perhatian terhadap pembunuhan Mirulewan. Menurut Jeremias Maahury, Mirulewan orang kalem dan bicara pelan. Mereka bertiga jengkel dengan kemungkinan ada penjualan bensin kepada berbagai perusahaan besar di sekitar perairan Maluku sehingga harga di Pulau Kisar jadi mahal sekali. Subsidi untuk Kisar dijual ke berbagai perusahaan tersebut.
Polisi sudah menangkap empat tersangka. Pemeriksaan sedang berjalan. Namun kedua wartawan ini belum tahu prosedur hukum. Mereka ingin ada orang dari Jakarta, yang mengerti hukum, bisa datang ke Kisar dan melakukan investigasi independen.
Persiapan penggalian jenasah Alfred Mirulewan di Wonreli pada 11 Januari 2011. Isteri almarhum, Linda Sarak (pakaian hitam), serta Pieter Paulo Maahury, kakak ipar almarhum (kaos strip putih), menandatangani persetujuan otopsi ulang terhadap jenasah. ©Jeremias Maahury
1 comment:
Turut berduka atas meninggalnya Alfred Mirulewan, dan turut berdoa untuk tetap tegaknya Pers Indonesia
Post a Comment