Ada dua alasan. Pertama, Jakarta tak memiliki majalah yang menekankan pada analisis. London punya The Economist. New York punya The New Yorker. Jakarta hanya punya majalah-majalah berita, termasuk Gatra, Tempo, Trust dan sebagainya.
Padahal kalau menengok tempoe doeloe, Batavia dan Djakarta –kalau mau diperpanjang juga Soerabadja, Semarang, Solo, Manado dan Padang—punya moendjalat2 bermutu yang melahirkan macam-macam esais dan wartawan hebat, yang belum tertandingi dalam era Indonesia.
Kedua, kecepatan internet membuat pola konsumsi
hardnews diambil oleh Kompascom, Detikcom, Vivanews dan sebagainya. Televisi juga mudah siaran langsung. Hari ini tak ada orang yang mendapatkan
breaking news dari suratkabar harian … apalagi majalah mingguan.
Menurut World Association of Newspapers, pada zaman dimana kecepatan internet mengalahkan suratkabar, hanya ada tiga kata untuk membuat isi suratkabar tetap relevan buat audience mereka: analisis, analisis, analisis.
Kalau alasan ini bisa diterima --saya tak membicarakan aspek pemasaran, distribusi dan keuangan, yang memang bukan bidang saya, namun juga ikut menentukan daya saing dan daya tahan Gatra— maka saya usul praktis dilakukan beberapa perubahan pada orientasi redaksional Gatra.
Pertama, saya kira wartawan-wartawan Gatra perlu berlatih menulis narasi maupun esai. Analisis memerlukan kemampuan menulis panjang.
Feature, yang menjadi andalan majalah berita, biasanya dipakai untuk menulis laporan pendek. Goenawan Mohamad memperkenalkan feature dengan majalah Tempo pada 1971. Idenya, meniru majalah Time. Bahkan kulit muka dengan frame merah sama dengan Time. Dalam produksi feature, sebuah isu yang kompleks malah harus dipotong-potong menjadi beberapa bagian, termasuk Q&A maupun side bar. Feature mengambil asumsi orang tak punya waktu untuk membaca laporan panjang.
Sebaliknya, narasi diperlukan untuk menulis panjang. Asumsinya, orang mau membaca laporan panjang jika ia dikerjakan dengan memasukkan unsur-unsur kebaruan maupun analisis.
Esai diperlukan guna menurunkan argumentasi yang tajam, yang bisa membantu pembaca memahami, misalnya, tuduhan terhadap Antasari Azhar, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai dalang pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen. Ia harus diberi konteks: sejarah, teori, informasi baru lain dan sebagainya.
Kedua, usul ini menuntut beberapa penyesuaian cara kerja ruang redaksi Gatra. Majalah Gatra akan menjadi kurang timely. Gatra akan menjadi lebih timeless, kurang mengikuti news cycle maupun balon-balon berita. Namun ia bukan berarti tak bisa kejar-kejaran berita. Kalau ada berita magnitude besar, Gatra harus bisa mengerahkan ruang redaksi mengejar berita.
Gatra juga akan lebih membangun spesialisasi. Ada reporter khusus politik. Ada khusus Islam. Ada yang dianggap mengerti Aceh. Ada yang spesialis Papua. Ekonomi juga memerlukan beberapa spesialis. Mereka akan bekerja individualistis agar kedalaman digali. Ada juga jago musik, film, kesehatan, transportasi dan sebagainya.
Namun mereka juga bisa bekerja team bila ada berita
magnitude besar dimana semua keahlian mereka bertemu.
Spesialisasi dan analisis memerlukan pemakaian byline –bahkan kalau sudah terkenal, macam Fareed Zakaria dari Newsweek, byline dipajang di kulit muka. Byline membantu wartawan untuk membangun reputasi mereka. Sebaliknya, byline juga membuat wartawan lebih hati-hati bekerja.
Kedalaman juga menuntut alokasi waktu lebih panjang untuk bikin liputan individual. Seorang wartawan mungkin perlu satu hingga dua bulan, mungkin lebih, untuk menyelesaikan laporan. Artinya, ia juga mengubah mekanisme kerja Gatra. Tidak setiap wartawan bisa bikin analisis. Namun mereka yang mampu, tentu saja, akan diberi kesempatan menulis panjang.
Spesialisasi juga membuka ruang kepada orang-orang luar Gatra untuk membuat laporan utama –bahkan mendapatkan byline di kulit muka. Praktek ini biasa dilakukan Time dan Newsweek.
Gatra seyogyanya bisa memanfaatkan tersedianya banyak talenta di Indonesia guna menyajikan laporan dan analisis yang memikat serta mendalam kepada audience-nya.
Saya membayangkan kelak Gatra bisa minta Andi Widjajanto menulis masalah militer, Rusdi Marpaung atau Bonar Tigor Naipospos soal hak asasi manusia, Fredy Wowor soal nasionalisme Minahasa, Joost Willem Mirino atau Muridan Widjojo soal Papua, Otto Syamsuddin Ishak soal Aceh, Leo Suryadinata soal Tionghoa, Anies Baswedan soal politik di Pulau Jawa, Josef Ardi soal bisnis, Lily Yulianti soal Bugis-Makassar dan sebagainya.
Mereka bukan hanya menulis esai dua halaman namun 10-20 halaman.
Manfaatkan orang-orang yang sudah selesai menulis buku untuk bikin laporan utama Gatra.
Misalnya, Gatra bisa minta Wilson menulis esai soal cikal-bakal fasisme di Pulau Jawa. Imdadun Rachmat bisa menulis soal hubungan Ikhwanul Muslimin dan Partai Keadilan Sejahtera. Murizal Hamzah, yang sedang menyelesaikan biografi Hasan di Tiro, bisa menumpahkan sebagian penemuannya. Budi Setiyono menulis soal penyair Lekra A.S Dharta.
Ketiga, rubrikasi juga akan berubah. Gatra tak perlu menurunkan belasan rubrik setiap minggu karena alokasi halaman akan memerlukan ruang lebih panjang untuk rubrik-rubrik yang minggu tersebut naik cetak.
Bikinlah survei keterbacaan setiap rubrik. Rubrik-rubrik yang kurang tinggi keterbacaannya diperbaiki.
Majalah The New Yorker memiliki keterbacaan 80 persen dari seluruh total isi. Artinya, setiap naskah yang turun di Gatra, dibuat target bahwa 80 persen harus dibaca habis.
Saya sengaja menganjurkan kulit muka The New Yorker karena majalah ini paling fenomenal dalam disain kulit muka mereka. Setiap tahun, The New Yorker menghasilkan jutaan dollar hanya dari penjualan frame kulit muka mereka.
Kulit muka edisi Desember 2001 “New Yorkistan” menghasilkan penjualan US$400,000.
Bayangkan satu kulit muka saja dapat $400,000?
Ini pun bukan gambar asli. Hanya print out dilengkapi tanda tangan si pelukis.
Kulit muka mereka tanpa teks sehingga para pelukis juga suka gambarnya tak diacak-acak dengan judul-judul berita. Kreatifitas diberi tempat terhormat di The New Yorker sehingga orang-orang pun mau membeli khusus, hanya frame kulit muka The New Yorker.
Saya baca bahwa kulit muka bisa jadi “profit center” –istilah ini datang dari majalah
Folio “
the magazine for the magazine management"— karena Jawa dan Bali memiliki cukup banyak pelukis kelas dunia. Gatra bisa memakai banyak sekali pilihan. Seniman Agus Suwage bisa diminta bantuan.
Foto juga demikian. Gatra akan menerbitkan hanya foto-foto berkualitas. Jumlah foto dikurangi –sama dengan jumlah rubrik—namun mutunya ditingkatkan –sama dengan naskah tulis. Gunakan lebih banyak fotografer freelance. Perhatikan pameran-pameran foto.
Sediakan tempat untuk foto-foto bermutu dalam halaman-halaman Gatra. Minta masukan dari pewarta foto Oscar Motuloh dan kawan-kawan di Pasar Baru.
Intinya, Gatra akan memberikan tempat kepada analisis. Ia harus disertai langkah-langkah lain untuk jadi lengkap. Kalau kalian suka, saya kira diskusi kita bulan lalu bisa dilakukan dua atau tiga kali lagi untuk sharing ide-ide ini lebih kongkrit.
Terima kasih.
Jakarta, 2009