Pelanggaran hak asasi manusia Papua oleh negara Indonesia.
Andreas Harsono
Tahanan politik Papua Barat Filep Karma bersama mamanya, Eklefina Noriwari, sudah usia 75 tahun, di rumah sakit PGI Cikini, Jakarta, pada Juli 2010, ketika Karma menjalani operasi prostate. Pada 3 Desember 2010 Karma dipindah ke tahanan Polda Papua menyusul terjadi kerusuhan dalam penjara Abepura. ©Andreas Harsono
I
PADA suatu Minggu Desember 2008, saya berkunjung ke penjara Abepura, sebuah bangunan Belanda di sebuah bukit Port Numbay. Penjara ini menarik karena ada surat dari beberapa organisasi Papua kepada UN Special Rapporteur on Torture Manfred Nowak dimana mereka menerangkan berbagai macam siksaan dalam penjara. Ada tahanan dipukul dengan gembok sehingga kunci menembus mata kanan si tahanan. Para pelaku, tiga orang sipir penjara, tampaknya
immune dari hukuman. Tendangan dan pukulan terkesan masalah biasa di Abepura. Air minum juga masalah. Makanan bermutu buruk.
Minggu yang tenang. Saya melewati tempat pemeriksaan. Anthonius Ayorbaba, kepala penjara, minta semua barang ditaruh di tempat penitipan. Saya pun dipersilahkan masuk dalam aula penjara, bergabung dengan sekitar 30 pengunjung, yang hendak merayakan ibadah Minggu. Pendeta naik ke mimbar. Bernyanyi. Berdoa. Mendengar khotbah.
Seorang lelaki duduk dekat saya. Brewok lebat dan memakai bendera Bintang Kejora kecil di dada. Namanya, Filep Karma, seorang tahanan politik Papua. Saya berbisik bahwa saya seorang wartawan, sedang cari bahan soal siksaan dalam penjara. Ibadah selesai. Dia memperkenalkan saya kepada beberapa tahanan politik lain: Ferdinand Pakage dan Luis Gedi.
Pakage berbadan besar, kulit hitam, orang Mee. Mata kanan terlihat kempes. Dia tak bicara banyak. Dia hanya cerita kepala sering pusing sesudah mata kanan dia ditusuk kunci oleh seorang sipir penjara pada September 2008. Dua sipir lain menendang dan memukul dengan tongkat karet. Pakage dipenjara karena dinyatakan bersalah bunuh polisi bernama Rahman Arizona dalam demonstrasi depan kampus Universitas Cendrawasih pada 16 Maret 2006. Pakage bilang dia ada di rumah saat kejadian. Polisi menangkap dia pada petang hari 16 Maret. Polisi menyiram air panas ke badan Pakage. Mereka memukul dia hingga berdarah dari kepala, bibir, kaki, tangan dan badan.
Pakage berpendapat kesaksian dari dua orang, yang dihadirkan jaksa terhadap dirinya—terdiri dari Luis Gedi (teman Pakage) dan Alia Mustafa Samori (seorang polisi)— tak bisa dipercaya. Polisi menangkap dan menyiksa Gedi ketika dia pulang dari toko siang itu. Gedi seorang penjaga toko. Petang itu dia mengantar seorang kawan perempuan, etnik Minahasa, pulang ke rumah karena keadaan tegang. Gedi bilang pada saya dia terpaksa mengaku bunuh polisi Rahman Arizona. Polisi mendesaknya kasih nama tersangka lain. Gedi asal bicara dan sebut nama kawan dia: tukang parkir Ferdinand Pakage.
“Dong polisi ada lebih 20 pukul sa. Sa bilang sa buang pisau depan kampus. Tra tahan dipukul.”
Ketika polisi membawa Pakage ke kampus, tentu saja, mereka tak menemukan pisau. Seorang perwira polisi menembak kaki Pakage. Dia lantas mengarang cerita pisau ada di rumah. Maka polisi pun mencari pisau. Dapat pisau Kiwi milik mama Pakage.
Papa Ferdinand, Petrus Pakage, mengatakan kasus anak dia, “Semua itu tipu-tipu. Saya menandatangani dokumen itu dan menyerahkan kaos dan pisau dapur. Tapi pisau itu dipakai buat potong sayur. Dorang pu mama selalu simpan di rumah.”
Di pengadilan Abepura, Ferdinand Pakage dihukum 20 tahun penjara. Tanpa ada satu pun saksi dari pihak Pakage.
“Dorang pengacara tra bela,” katanya.
Filep Karma sendiri orang Biak, pegawai negeri berumur 51 tahun. Dia ditahan sejak Desember 2004. Karma adalah anggota keluarga elite di Papua. Ayahnya, Andreas Karma, termasuk bupati paling populer di Papua. Dia menjabat bupati Wamena pada 1970-an serta Serui pada 1980-an. Pada 1979, Filep Karma studi ilmu politik di Universitas Sebelas Maret, Solo, Pulau Jawa. Dia lulus 1987 dan mulai bekerja sebagai pegawai negeri di Port Numbay. Dia menikah dengan Ratu Karel Lina, seorang perempuan Melayu-Jawa, kelahiran 1960 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Pada 1997, Karma menerima beasiswa untuk mengikuti kursus 11 bulan di Asian Institute of Management, Manila. Ketika terbang ke Jakarta pada Mei 1998, dia mempelajari protes mahasiswa Universitas Trisakti terhadap pemerintahan diktator Suharto. Dia hanya dua hari ada di Jakarta ketika aparat keamanan menembak mati beberapa mahasiswa Trisakti.
“Kalau terus ikut Indonesia, penduduk asli Papua akan terus dianiaya. Mungkin 20 hingga 30 tahun lagi sudah habis kebudayaan Papua. Artinya, orang Papua juga sudah habis,” katanya.
Sekembali ke Papua, Karma mulai mendukung secara terbuka kemerdekaan Papua. Pada 2 Juli 1998, dia ikut mengatur aksi pro-kemerdekaan dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di kota Biak. Human Rights Watch dalam laporan
Human Rights and Pro-Independence Actions in Irian Jaya melaporkan bahwa seorang sersan polisi masuk ke kalangan demonstran. Dia dianggap hendak provokasi. Dia dipukul dan beberapa gigi patah. Ini menciptakan bentrok. Polisi berusaha membubarkan demonstrasi, selama empat hari.
Pada 6 Juli 1998, militer Indonesia mengambil-alih Pulau Biak, mendatangkan bantuan dari Batalion 733 Ambon dan menembaki para pengunjuk rasa dari empat sisi. Jumlah korban tewas belum diketahui. Banyak mayat dilaporkan dimuat ke dalam truk dan diduga dibuang ke laut dari dua kapal TNI Angkatan Laut. Karma menduga banyak mayat dikubur seadanya di pulau-pulau kecil dekat Biak. Dia memperkirakan lebih dari 100 orang terbunuh. Pemerintah Indonesia tak lakukan penyelidikan serius atas insiden itu.
Karma terluka di kaki oleh peluru karet. Polisi menangkap 150 orang. Hanya 19 diadili termasuk Karma. Mereka menahan Karma dari 6 Juli sampai 3 Oktober 1998. Pada 25 Januari 1999, pengadilan negeri Biak menyatakan dia bersalah dengan tuduhan makar karena memimpin aksi dan pidato. Pengadilan Biak jatuhkan hukuman penjara 6,5 tahun. Karma ajukan banding. Dia bebas demi hukum pada 20 November 1999.
Dia kembali bekerja sebagai pegawai negeri. Pekerjaan Karma terutama melatih calon pegawai negeri di Papua. Dia banyak bicara pada mahasiswa. Dia mengatur program pelatihan dimana orang muda belajar soal sistem administrasi, hukum maupun birokrasi Indonesia.
Pada 1 Desember 2004, sesudah yakin program otonomi Papua disabot oleh pemerintah Indonesia, antara lain lewat pemecahan Papua dalam banyak kabupaten, Karma mengorganisir sebuah upacara peringatan 1 Desember 2004 —untuk menandakan ulang tahun kedaulatan Papua pada 1 Desember 1961. Peristiwa ini dihadiri ratusan pelajar dan mahasiswa Papua, yang berteriak “merdeka!” serta memasang bendera Bintang Kejora. Mereka juga menyerukan penolakan terhadap otonomi yang dinilai gagal.
Polisi membubarkan paksa unjuk rasa itu. Bentrokan pecah dan kerumunan orang menyerang polisi dengan balok kayu, batu dan botol. Polisi merespon dengan tembakan ke arah kerumunan. Karma segera ditahan dan dituduh makar. Pada 27 Oktober 2005, pengadilan negeri Abepura menghukum 15 tahun penjara. Rekannya, Yusak Pakage, divonis 10 tahun penjara.
Kini Filep Karma mungkin satu dari pemimpin Papua yang paling populer. Dia diterima di kalangan orang Pegunungan Tengah dan kaum pesisir. Dia tak pernah menganjurkan kekerasan untuk mencapai tujuan itu. Dia berkata, “Kami ingin membuka suatu dialog yang bermartabat dengan pemerintah Indonesia, suatu dialog antara dua orang bermartabat, dan bermartabat berarti kami tidak pakai cara-cara kekerasan.”
Karma menganjurkan saya bezoek Yusak Pakage di rumah sakit Abepura. Ketika keluar dari penjara, saya naik taxi menuju rumah sakit, untuk bertemu Yusak Pakage. Dia cerita bagaimana dia dipukul dalam penjara. Pakage bilang sejak Anthonius Ayorbaba menjadi kepala penjara, dua bulan lalu, dia minta waktu bisa bicara dengan Ayorbaba. Kami cerita panjang dan lebar. Tak kami sangka, tiba-tiba Ayorbaba datang ke kamar Yusak Pakage, tanya kesehatan lantas mengajak baca Bible dan berdoa. Saya mohon undur diri. Pakage sempat mengeryitkan mata pada saya.
Perkenalan ini merupakan awal dari serangkaian interview saya terhadap para tahanan politik di Papua untuk Human Rights Watch. Saya juga bikin interview di Sentani, Manokwari, Fakfak, Nabire maupun Wamena. Selama setahun lebih, saya mengumpulkan berkas-berkas para tapol, belakangan juga para tapol Alifuru dari Kepulauan Ambon. Menurut anthropolog George J. Aditjondro, etnik Papua dan Alifuru disebut “Melanesia Barat.” Nama Melanesia berasal dari kata Latin “melano” (hitam) dan “nesos” (kepulauan). Artinya, kepulauan milik orang-orang berkulit hitam. Saya suka istilah itu: tahanan politik Melanesia. Saya wawancara lebih dari 50 tapol Melanesia di Indonesia, antara 2008 hingga 2010, selama setahun lebih.
Human Rights Watch menerbitkan penelitian ini pada Juni 2010 dengan judul,
Prosecuting Criminal Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners. Laporan ini minta pemerintah Indonesia membebaskan lebih dari 100 tahanan politik di Papua maupun kepulauan Maluku. Mereka dinilai tidak bersalah. Mereka hanya menyatakan aspirasi mereka untuk merdeka dari Indonesia. Menyatakan pendapat adalah bagian dari kebebasan berpendapat. Ia dilindungi hukum Indonesia maupun International Convenant on Civil and Political Rights, sebuah traktat internasional, yang diratifikasi Indonesia pada 2006. Pada 16 Agustus 2010, 25 organisasi hak asasi manusia dari Amerika Serikat, Australia, Eropa, Indonesia dan Timor Leste mengirim surat dan minta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membebaskan para tapol Melanesia. Mereka termasuk Aliansi Nasional Timor Leste Ba Tribunal Internasional, Australia West Papua Association Melbourne, Free West Papua Campaign UK, Freunde der Naturvolker e.V., Human Rights Watch, Kontras, Land is Life, La'o Hamutuk (Timor Leste), Perkumpulan HAK, Tapol dan West Papua Advocacy Team.
Namun pemerintahan Presiden Yudhoyono tak menganggap penting untuk membebaskan orang-orang yang tak bersalah ini. Di Jakarta, dia malah dapat kontroversi karena memberikan remisi kepada 300an koruptor, termasuk besan dia sendiri, Aulia Pohan, yang langsung bebas dari penjara. Tampaknya, Yudhoyono lebih suka membebaskan koruptor Indonesia daripada tapol Melanesia.
II
SUATU hari pertengahan Juli 2010, sebulan sesudah peluncuran laporan Human Rights Watch, Izumi Kurimoto dan saya mengunjungi Seichi Okawa di daerah Takadanobaba, Tokyo. Okawa-san adalah direktur Graha Budaya Indonesia (Indonesian Culture Plaza atau インドネシア文化宮), sebuah bangunan tiga tingkat, yang bekerja soal kebudayaan di Indonesia. Lantai satu dijadikan toko dimana dijual macam-macam batik Jawa, tenun ikat Sunda Kecil maupun berbagai barang kerajinan Papua. Ada lukisan Sentani, ada ukiran Asmat. Kami mengobrol sambil minum kopi Wamena. Enak sekali. Kurimoto, seorang mahasiswa, sibuk memotret.
Okawa cerita riset dia soal 40,000 tentara Jepang, yang meninggal di Papua, pada zaman Perang Dunia II. Dia mengatakan sekitar 15,000 kerangka serdadu ada di Pulau Biak. Kebanyakan mereka meninggal karena terkena penyakit atau kelaparan dalam perang menghadapi Sekutu.
Menurut buku
An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua karya P. J. Drooglever, satu divisi Angkatan Darat Jepang dipusatkan di Manokwari pada 1942. Mereka terutama ditugaskan mencegah serangan udara Sekutu. Pasukan Jepang tak masuk ke pedalaman Papua karena ada pasukan-pasukan kecil Belanda yang gerilya di pedalaman. Namun mereka dikalahkan pasukan Sekutu, yang lompat katak, dari Australia, Papua New Guinea, Papua, kepulauan utara Maluku dan Filipina, sebelum masuk ke Okinawa, kepulauan Jepang, pada April-Juni 1945. Gerakan lompat katak ini membuat ribuan pasukan Jepang terlantar di Papua dan kepulauan Maluku karena markas-markas mereka dihancurkan. Mereka melarikan diri sambil kelaparan dan kena malaria.
Saya pernah tahu ada gua di Biak dimana orang bilang kerangka-kerangka serdadu Jepang berserakan. Warga Biak tidak mengutak-atik gua itu. Okawa juga pernah berkunjung ke gua itu.
Sekutu menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Jepang menyerah kalah. Di Pulau Jawa, para pejuang kemerdekaan memanfaatkan kekalahan Jepang dari Sekutu untuk menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945. Namun ia perlu waktu empat tahun guna diplomasi antara Indonesia, dipimpin oleh Sutan Sjahrir, dengan Kerajaan Belanda.
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Namun Papua masih di bawah administrasi Kerajaan Belanda. Belanda mempersiapkan sekelompok elite Papua untuk bisa mengatur diri mereka sendiri. Asumsinya, Papua akan diakui kedaulatan pada 1970. Pada 1 Desember 1961, Papua Raad, sebuah lembaga yang disponsori kerajaan Belanda, menyatakan masyarakat Papua siap mendirikan sebuah negara berdaulat, dan mengibarkan bendera nasional baru yang dinamakan Bintang Kejora.
Keputusan itu membuat Presiden Soekarno marah besar. Dia berpendapat Papua harus menjadi bagian dari Indonesia dan menuduh Kerajaan Belanda berusaha menciptakan “negara boneka” di Papua. Pada 19 Desember 1961, dari kota Jogjakarta, Soekarno memerintahkan pasukan Indonesia untuk menyerbu Papua. Dia memakai slogan “dari Sabang sampai Merauke” –sebuah slogan yang sebenarnya ciptaan perwira Belanda J.B. van Heutsz, yang menaklukkan Aceh pada 1904, dengan sadis 2,900 orang dibunuh, termasuk 1,100 perempuan dan anak-anak. Pada awal 1962, pasukan Indonesia mulai menyusup ke Papua. Ini menciptakan gelombang pengungsi ke Papua New Guinea. Pemerintah Amerika Serikat turun tangan. Setelah negosiasi, Indonesia dan Belanda pun setuju menunjuk PBB mengadakan sebuah referendum bagi Papua. Indonesia minta bukan referendum tapi “musyawarah” ala Indonesia.
Eni Faleomavaega, anggota Kongress Amerika Serikat, dalam hearing soal Papua pada 22 September 2010, mengutip data Congressional Research Service:
“… declassified documents released in July 2004 indicate that the United States supported Indonesia’s take-over of Papua in the lead up to the 1969 Act of Free Choice even as it was understood that such a move was likely unpopular with Papuans. The documents reportedly indicate that the United States estimated that between 85% and 90% of Papuans were opposed to Indonesian rule and that as a result the Indonesians were incapable of winning an open referendum at the time of Papua’s transition from Dutch colonial rule. Such steps were evidently considered necessary to maintain the support of Suharto’s Indonesia during the Cold War.”
Penentuan Pendapat Rakyat, yang diawasi PBB dan direkayasa Amerika Serikat serta Indonesia, berlangsung dari 14 Juli hingga 2 Agustus 1969 di delapan kota: Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Biak dan Port Numbay. Ia hanya
diwakili 1,025 warga Papua, termasuk sebagian orang Indonesia yang dikirim ke Papua. Semua ditentukan pemerintah Indonesia. Mereka dikumpulkan terlebih dahulu oleh tentara Indonesia dalam barak-barak selama enam minggu. Mereka diminta memilih Indonesia … atau dibunuh. Maka mereka bulat-bulat 100 persen memilih integrasi dengan Indonesia. Banyak penduduk Papua memandang Penentuan Pendapat Rakyat merupakan manipulasi Indonesia untuk menduduki Papua.
Dua minggu sesudah kejadian, 16 Agustus 1969, dalam sidang dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat di Jakarta, Presiden Soeharto, yang menggantikan Soekarno, menjanjikan otonomi kepada warga Papua. Dalam pidato Soeharto mengatakan:
“Saat ini, dengan selesainya Pepera kita semua telah menunjukkan kepada dunia bahwa seluruh rakyat Indonesia yang berdiam di wilayah-wilayah dari Sabang sampai Merauke, merupakan suatu keluarga bangsa yang tak dapat dipisahkan lagi, Bangsa Indonesia. Tetapi Pepera bukan tujuan akhir kita .… Masalah yang paling penting adalah PEMBANGUNAN daerah Irian Barat secara serentak ... Irian Barat pun segera akan menerima kedudukannya sebagai DAERAH TINGKAT I dengan OTONOMI yang riil dan luas.”
Pada 6 November 1969, Sekretaris Jenderal PBB U Than menyampaikan hasil “musyawarah” kepada Sidang Umum PBB, atau United Nations General Assembly, forum tertinggi perserikatan negara-negara seluruh dunia. Hasilnya, dibicarakan dalam sidang-sidang pada 13 hingga 19 November 1969. Menteri Luar Negeri Adam Malik kuatir melihat “suara Afrika” –termasuk Botswana, Lesotho, Swaziland, Zambia, Togo, Ghana dan Dahomey-- dalam sidang-sidang PBB. Dia minta pemerintah Britania agar membantu lobby terhadap negara-negara Afrika, yang kritis terhadap hasil Penentuan Pendapat Rakyat, agar mau bicara sendiri dengan delegasi Indonesia. Belgia, Indonesia, Luxemburg, Malaysia, Belanda dan Thailand membuat draft resolusi PBB guna menerima hasil musyawarah di Papua. Akhirnya, ketika voting diambil, 82 negara menerima resolusi dan 30 abstain. Tak ada satu pun negara menolak resolusi PBB soal Papua.
Ternyata pembangunan praktis tak dijalankan untuk warga Papua. Kekerasan mewarnai tahun-tahun pemerintahan Soeharto di Papua. Pada 1970an, rezim Soeharto memberlakukan policy represif terhadap Organisasi Papua Merdeka. Dia menunjuk perwira-perwira militer untuk memerintah Papua. Setiap kali ada protes dijawab dengan kekerasan.
Perusahaan-perusahaan internasional masuk dan melakukan eksplorasi alam dalam ukuran raksasa. Freeport McMoran, sebuah perusahaan New Orleans, membangun tambang emas paling besar dunia di Grasberg, Timika. Ironis, Freeport tanda tangan kontrak tambang dengan Indonesia pada 1967 ketika Papua masih belum resmi jadi wilayah Indonesia. Menurut data 2008 dari Nindja, sebuah NGO Tokyo, tiga perusahaan Jepang memegang 75 persen saham di kilang tembaga Gresik. Kebanyakan tembaga untuk Gresik berasal dari tambang Freeport di Papua. Mitsubishi Materials memiliki saham 60,5 persen, Nikko Metal 5 persen, dan Mitsubishi 9,5 persen. Sekitar 50 hingga 60 persen tembaga dari Grasberg diekspor ke Jepang. Menurut harian New York Times, Freeport jadi sapi perah operasi militer Indonesia di Papua. Freeport rutin sumbang dana untuk keperluan militer Indonesia di Papua.
Pada November 1983, militer Indonesia menangkap musikus Arnold Ap dari Universitas Cenderawasih di Port Numbay. Kesalahan Ap? Dia mengumpulkan dan merekam musik-musik dari berbagai etnik Papua, sekaligus dalam bahasa-bahasa asli mereka. Macam-macam lagu ini lantas diproduksi dan diedarkan lewat pasar bebas. Lagu-lagu ini dianggap membantu pembentukan nasionalisme Papua. Dia disekap dan dianiaya dalam sebuah bekas toko, yang dijadikan markas rahasia militer. Belakangan, militer serahkan Ap pada polisi.
Menurut dokumen pengadilan dan kesaksian seorang polisi Papua, pada malam 21 April 1984, seorang penjaga, Pius Wanem, membius dua polisi dan membuka kunci sel. Wanem, Arnold Ap dan empat tahanan lain, naik taksi pergi ke pantai Base-G di Port Numbay, menunggu kapal yang akan membawa mereka ke Papua New Guinea. Mereka menunggu di sebuah gua. Wanem sendiri kembali ke Port Numbay. Dia belakangan kembali ke pantai dengan beberapa tentara. Dalam persidangan, Pius Wanem mengatakan Arnold Ap dan seorang tahanan tewas dalam "operasi Kopassandha." Kopassandha singkatan dari Komando Pasukan Sandi Yudha, sebuah pasukan khusus Indonesia. Arnold Ap mati ditembak di perut. Ini menciptakan ketakutan. Gelombang pengungsi ke PNG mulai lagi.
Pada Juni 1984, Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja mengatakan dalam konferensi pers bahwa Ap dicegat di laut ketika kapal melarikan diri. Patroli minta mereka menyerah. Perahu Ap tiba-tiba menembaki kapal patroli, yang menyebabkan kapal patroli menembak balik, termasuk Arnold Ap. Kusumaatmadja menuduh Arnold Ap sebagai “separatis OPM.”
Okawa-san juga mengingatkan saya pada Teruko Wanggai, perempuan Jepang yang menikah dengan cendekiawan Papua Dr. Tom Wanggai di prefecture Okayama. Di Port Numbay, Dr. Wanggai memperkenalkan bendera pro-kemerdekaan “Melanesia Barat” pada 14 Desember 1988. Bendera ini berbeda dari bendera Bintang Kejora versi 1961. Wanggai juga memakai terminologi "Melanesia Barat." Dia meninggalkan Bintang Kejora dengan alasan bendera itu bikinan orang Belanda dengan tiga warna Belanda: biru, merah, putih. Orang Papua biasa sebut bendera Wanggai sebagai “Bintang 14” karena ada 14 bintang.
Belanda atau bukan, Wanggai ditangkap dan dihukum 20 tahun penjara. Pada 1995, saat ditahan dalam sel penjara Cipinang, Jakarta, dia mengeluh sakit. Namun dia tak segera diberi bantuan medis. Wanggai meninggal pada 12 Maret 1996 di rumah sakit Jakarta. Port Numbay dilanda protes besar ketika jenazah Wanggai tiba dari Jakarta.
Setelah Presiden Suharto mengundurkan diri pada Mei 1998, pemerintah Indonesia mengizinkan Timor Timur untuk bikin referendum. Pada Januari 1999, Presiden B.J. Habibie bilang lebih baik referendum sekarang daripada ditunda 10 tahun lagi. Sebulan berikutnya, 100 delegasi Papua datang ke Habibie, mereka juga minta diizinkan bikin referendum. Habibie menolak. Namun Habibie menjanjikan otonomi khusus kepada Papua –persis seperti janji Soeharto pada 1969.
Janji Habibie dijawab oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Megawati memberikan status daerah Otonomi Khusus kepada Papua pada Agustus 2001. Ia meliputi pelimpahan kekuasaan lebih besar secara politik dan keuangan bagi provinsi ini. Undang-undang Otonomi Khusus juga secara eksplisit mengizinkan simbol-simbol identitas Papua ditampilkan terbuka, seperti bendera dan lagu kebangsaan rakyat Papua. Ia juga mengizinkan pendirian Majelis Rakyat Papua, sebuah organisasi perwakilan penduduk asli Papua, yang merasa terpinggirkan dengan kedatangan migran Indonesia.
Namun salah seorang wakil Papua yang ikut “musyawarah” serta mendengar janji-janji Presiden Soeharto pada Agustus 1969, merasa perlu untuk menyatakan keraguan dia secara terbuka. Kali ini dia merasa perlu mendengar hati nurani dia. Nama politikus tersebut Theys Eluay. Dia mantan politikus binaan Soeharto dan kini ketua umum Presidium Dewan Papua, sebuah organisasi yang kuat. Eluay menolak program otonomi khusus dari Jakarta. Dia bilang Papua harus merdeka. Dia tak ingin Papua tertipu lagi. Dia ingin PBB memahami ketidakpercayaan bangsa Papua terhadap Indonesia.
“Kalau saya mati, saya pasti masuk ke surga. Tetapi kalau saya lihat orang Indonesia di sana, biar satu orang saja, saya akan lari tinggalkan surga. Kalau malaikat Tuhan tanya saya mengapa lari, nanti saya jawab, ‘Ah saya takut orang Indonesia menjajah kami orang Papua di surga juga,’” kata Theys Eluay.
Pada 10 November 2001, Komando Pasukan Khusus alias Kopassus, nama baru Kopassandha, mengundang Theys Eluay ikut perayaan Hari Pahlawan Indonesia, yang diadakan Kopassus di daerah Hamadi, Port Numbay. Ketika pulang, tujuh prajurit Kopassus mencegat, mencekik dan membunuh Theys Eluay. Sopirnya, Aristoteles Masoka, sempat telepon isteri Eluay, Yaneke Ohee, dan bilang Eluay diculik. Namun telepon tersebut singkat sekali. Mayat Eluay dan mobil Toyota Kijang dibuang di daerah Koya, luar kota Port Numbay.
Sehari sesudah pembunuhan, Lt. Kol. Hartomo, komandan Kopassus di Port Numbay, bikin press conference. Dia bilang Kopassus sama sekali tak terlibat dengan pembunuhan Eluay. Masoka sendiri hilang tak tentu rimba hingga hari ini. Namun tekanan dunia internasional memaksa kepolisian Indonesia melakukan penyelidikan. Pada April 2003, pengadilan di Surabaya menghukum tujuh prajurit Kopassus, termasuk Letnan Kolonel Hartomo, melakukan penganiayaan, yang berakibat kematian Eluay. Namun mereka tak terbukti melakukan pembunuhan. Hukuman penjara tujuh prajurit itu antara dua hingga 3,5 tahun penjara. Hartomo pingsan ketika mendengar dia dipecat dan dihukum penjara 3.5 tahun.
Namun Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu memuji para terhukum sebagai ”pahlawan Indonesia” karena berhasil membunuh ”pemberontak”. Tak ada investigasi lebih lanjut untuk mengetahui siapa yang memerintahkan pembunuhan itu. Tak ada pejabat senior yang dituntut bertangungjawab. Masoka juga hilang tanpa ada upaya pencarian.
Pembunuhan ini secara dramatis meningkatkan ketegangan politik di Papua. Orang Papua makin meragukan otonomi khusus dimana dikatakan hak-hak asasi manusia akan dihargai. Bagaimana bisa percaya otonomi bila Theys Eluay dibunuh?
Pengganti Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menciptakan sebuah aturan dimana menaikkan bendera Bintang Kejora dinyatakan sebagai kegiatan terlarang lewat Peraturan Pemerintah nomor 77/2007. Aturan ini, menurut ketua Majelis Rakyat Papua Agus A. Alua, melanggar UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus. Namun Yudhoyono diam saja.
Ironisnya, orang-orang Papua lantas mengetahui bahwa Hartomo, yang sudah dihukum penjara 3.5 tahun dan dipecat dari militer, ternyata naik pangkat menjadi kolonel. Hartomo bahkan menjadi komandan Group I Kopassus di Serang.
Sementara pengadilan Indonesia terus mengkriminalkan aktivis-aktivis Papua, termasuk Filep Karma, yang menyebarkan sentimen kemerdekaan, lewat pengibaran bendera. Indonesia melarang segala bentuk pengungkapan ekspresi damai di Papua.
Kami bertiga hanya bisa termenung dalam toko Graha Budaya Indonesia.
Ketika membaca
Prosecuting Criminal Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners, Seichi Okawa mengatakan kasihan begitu banyak orang Papua ditahan di berbagai penjara Indonesia. Dia melihat gambar Filep Karma. Ferdinand Pakage. Simon Tuturop. Buchtar Tabuni. Dia geleng-geleng kepala. Kami menghabiskan kopi Wamena. Pamitan.
Izumi Kurimoto dan saya meninggalkan kantor Okawa-san serta menuju stasiun Takadanobaba. Ketika jalan kaki, menelusuri jalan-jalan kecil, saya pikir, selama empat dekade terakhir, saya heran bahwa dukungan untuk merdeka tetap bertahan. Ketidakpercayaan orang Papua terhadap pemerintah Indonesia makin hari makin menyebar. Mungkin karena orang Papua kehilangan tanah-tanah adat bagi proyek-proyek pembangunan, dan gelombang para pendatang dari Indonesia, terutama Pulau Jawa, tetap jalan sesudah Presiden Soeharto mundur. Taktik umum yang dipakai para pendukung kemerdekaan, dengan sederhana menaikkan bendera Bintang Kejora dalam upacara terbuka, secara emosional memang
matching dengan psikologi orang Papua. Saya tahu bahwa isu kemerdekaan bukan masalah hukum sederhana. Papua secara legal adalah sah milik negara Indonesia. Saya tak tahu hingga kapan perbedaan ini bertahan. Dan entah berapa banyak orang Papua lagi akan dikorbankan.
III
PADA 3 Mei 2010, Dzulkiflry Imadul Bilad, seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung, salah satu perguruan tinggi paling prestisius di Pulau Jawa, menumpahkan kemarahan tentang kekalahan klub sepakbola Persib Bandung terhadap Persipura Port Numbay dengan update Facebook: “Dasar orang Papua, bisanya tarkam, pake otot bukan pake otak maen bolanya, ga sekolah, bodo2 semua, udah item idup lai. Sialan lu Papua!”
Status itu menyulut reaksi. Yohanes Okdinon, seorang mahasiswa Papua di Bandung, menyebarkan kalimat Bilad, dalam jaringan Facebook. Bilad minta maaf, sehari kemudian, juga lewat status Facebook. Sedikitnya muncul 500 kecaman terhadap Bilad. Bahkan dua minggu kemudian, Ikatan Mahasiswa Papua Bandung bikin protes depan gedung ITB. Sekitar 100 mahasiswa Papua minta ITB memberhentikan Bilad. Poster mereka berbunyi:
- “Rasisme Terhadap Orang Papua=Melanggar HAM orang Papua”
- “Tidak Ada Perbedaan Diantara Kita, Kita Satu RI”
- “Selama Anak-Anak Kandung Pertiwi Masih Rasis, Selama Itu Pula Bumi Pertiwi Indonesia Berjalan di Tempat”.
Komentar Yohanes Okdinon muncul di media. “Sebenarnya kita menyesalkan kenapa pernyataan rasis seperti itu bisa keluar dari mahasiswa universitas ternama,” kata Okdinon.
ITB memang salah satu perguruan tinggi paling utama di Indonesia. Ia menghasilkan banyak menteri, pengusaha, insinyur, politisi dan sebagainya. Alumnus ITB paling terkenal adalah Presiden Soekarno, seorang insinyur teknik sipil, yang lulus dari ITB ketika masih zaman Belanda. Namun presiden Keluarga Mahasiswa ITB Herry Dharmawan menolak tuduhan Okdinon. Dia bilang Zulfikry Imadul Bilad murni kesalahan pribadi. Ia tak mencerminkan ITB.
Okdinon mengatakan kasus Bilad menunjukkan sistem pendidikan di Indonesia gagal mendidik murid untuk tak rasialis terhadap orang Papua. Rektor ITB Akhmaloka memutuskan sanksi skors tiga semester dan kerja sosial pada Zulfikry Bilad.
Dzulkiflry Imadul Bilad, tentu saja, bukan satu-satunya kasus rasialisme terhadap Papua lewat Facebook. Pada 9 September 2010, empat bulan sesudah kasus Bandung, seorang mahasiswi Universitas Indonesia, Chey Nahumury, menulis:
"Orang negro dgn papua busuk tuh,,, beda kawan!!!!!!!!!!!! klo dorang wangi, kam tuh kulit bau, apalagi ketiak, coba... ko buktikan sekarang ko cium ko pu ketiak pasti bau tra enak."
Nahumury seorang mahasiswa Ambon, lulusan sekolah menengah di Abepura, Papua. Universitas Indonesia juga termasuk perguruan tinggi paling prestisius di Pulau Jawa. Ia cukup mengundang keramaian dalam Facebook. Nahumury segera mengganti nama
account dia. Masalah ini tak mengundang protes sebesar ITB.
Saya pribadi tak heran bahwa ada mahasiswa-mahasiswa dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia yang berpandangan rasialis terhadap manusia Papua. Ia sama dengan rasialisme terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat. Rasialisme Papua hal umum di Indonesia. Mereka dihina sebagai orang hitam, orang bodoh, orang bau dan orang kasar.
Pada 1994, Dr. George J. Aditjondro, seorang cendekiawan Indonesia, menulis berbagai kasus rasialisme Papua, dalam sebuah paper, “Menerapkan Kerangka Analisis Frantz Fanon terhadap Pemikiran tentang Pembangunan Irian Jaya.” Aditjondro menggunakan argumentasi Fanon, pemikir Aljazair, yang bikin pengamatan di Aljazair dan Afrika Selatan, soal warna kulit, kolonialisme dan rasialisme. Rasialisme ini mensyaratkan kebudayaan si penjajah lebih tinggi dari kebudayaan si kulit hitam. Fanon mengatakan bahwa kolonialisme selalu disertai rasialisme.
Saya kira penjelasan ini penting untuk menerangkan bagaimana mayoritas orang Indonesia melihat Papua. Status Facebook Zulfikry Bilad dan Chey Nahumury mencerminkan superioritas Indonesia terhadap Papua. Ia mencerminkan rasialisme yang
typical dari orang Indonesia terhadap orang Papua. Ia juga menerangkan mengapa rasialisme ini penting ketika Indonesia mengirim ratusan ribu migran ke Papua, termasuk orang tua Chey Nahumury, guna mendirikan koloni-koloni Indonesia di Papua. Ini sama dengan kolonialisme Eropa di Aljazair dan Afrika Selatan.
Heni Lani, mahasiswa Papua di Bandung, mengatakan, “Secara pribadi, saya melihat, mengalami, merasakan dan menyadari bagaimana orang Papua terus dipecah-belah dan dipermainkan dengan berbagai cara. Misalnya kebijakan pemekaran, dana ototonomi khusus, 'perang suku', istilah gunung-pantai dan lain-lain. Sa yakin, sodara-sodara yang lain juga mengalami hal yang sama.”
Rasialisme ini umum terjadi di media Indonesia. Dr. Aditjondro menulis, “Betapa populernya penggambaran tentang orang Dani sebagai ‘orang-orang yang nyaris telanjang, yang masih hidup di zaman batu,’ tanpa menyadari bahwa para petani di Lembah Balim, misalnya, memiliki budaya pertanian ubi-ubian yang tergolong paling canggih di dunia, hasil inovasi dan adaptasi selama 400 tahun tanpa bantuan sepotong logam.”
Di Facebook milik “kawan-kawan” saya, ada saja gambar orang Papua pakai koteka sambil pakai mobile phone. Ada koteka orang Dani dipasangi antena telepon. Ada gambar perempuan Dani, dada telanjang, lagi mengetik laptop.
Dalam film dokumenter
Strange Birds in Paradise karya Charlie Hill-Smith, Prof. Arief Budiman, seorang cendekiawan Indonesia di Melbourne University, mengatakan bahwa orang Papua masih “primitif” dan memerlukan “teknologi dari Jawa.” Makin lengkaplah pandangan merendahkan orang Papua, dari mahasiswa macam Bilad hingga profesor Arief Budiman.
Pada September 2010, secara acak saya google dua frasa:
Metro TV dan "perang suku."
Metro TV adalah salah satu televisi terkemuka di Jakarta dengan siaran seluruh Indonesia. Hasilnya, dalam waktu 0.25 detik, saya dapatkan 3,260 referensi terhadap dua frasa itu.
Misalnya dengan berita berjudul, “Perang Suku di Kwamki Lama Kembali Pecah” pada 13 Mei 2010:
Metrotvnews.com, Timika: Perang antarkubu kembali pecah di Kwamki Lama, Timika, Papua, Kamis (13/5) siang. Dua orang terluka dan dilarikan ke Rumah Sakit Mitra Masyarakat Timika.
Keributan terjadi antara warga Mambruk dengan warga Tunikama. Dua kelompok berseteru setelah warga Mambruk menyerang lawannya. Kejadian berlangsung di hutan sejak pagi hingga siang. Kedua kubu sepakat tidak ribut di jalan raya.
Padahal keributan terjadi antara dua kelompok, warga Mambruk dan warga Tunikama, di kampung Kwamki Lama.
Metro TV tak sebut bahwa ketika Freeport mulai bikin penambangan, mereka menggusur kampung-kampung asli Papua, serta menempatkan orang dari macam-macam kampung tersebut di Kwamki Lama. Wajar bila sesekali terjadi salah paham di daerah Kwamki Lama. Ia bukan masyarakat tradisional. Ia sudah masyarakat urban dengan macam-macam warga dari macam-macam daerah.
Metro TV menggambarkan “Kwamki Lama” seakan-akan ia cermin Papua.
Heni Lani mengatakan bila ada keributan serupa di Jawa atau Sumatra, media pakai istilah “kriminalitas” atau “perkelahian antar gang.” Namun bila terjadi di Papua, media memberitakan sebagai “perang suku.” Kesannya, orang Papua terbelakang, masih perang antar suku dan bodoh. Pemberitaan ini merendahkan orang Papua. Ia tak beda dengan status Bilad dan Nahumury. Ia membenarkan sikap pemerintah Indonesia untuk melakukan “pendidikan yang keras” terhadap orang hitam, orang bodoh, orang kasar dan bau.
Kontributor
Metro TV di Timika Alfian Pakadang mengatakan pada saya, “Itu kesalahan redaksi. Saya tidak memakai istilah perang suku. Saya pakai istilah ‘bentrokan antar kelompok’ atau ‘antar warga.’” Ini ketidaktahuan mereka. Saya selalu jelaskan bahwa ini tidak jauh beda dengan tawuran-tawuran di mana-mana. Ini bukan perang suku. Ini gabungan-gabungan orang.” Pakadang bilang terminologi “perang suku” adalah istilah yang rasialis. Dia tak mengerti mengapa redaksi
Metro TV di Jakarta selalu pakai terminologi “perang suku.”
Contoh lain adalah buku terbitan Kopassus pada Desember 2009 berjudul
Kopassus untuk Indonesia karangan Iwan Santosa dan E.A. Natanegara. Ia menggambarkan Kopassus sebagai sebuah organisasi yang sudah berubah, sudah belajar hormat hak asasi manusia. Ia juga menyesal Kopassus terlibat dalam penculikan mahasiswa pada zaman Presiden Soeharto. Ia juga cerita bahwa sekitar 1,000 dari 5,000 prajurit Kopassus ditugaskan di Papua … dan mereka sudah bisa bicara dialek Papua. Namun ada satu kasus besar sama sekali tak disebut buku tersebut: Theys Eluay. Ia mengesankan bahwa pembunuhan Eluay tidak penting. Ia mengesankan tak ada penyesalan dari Kopassus terhadap pembunuhan Theys Eluay. Buku tersebut terbitan Red & White Publishing, sebuah perusahaan Jakarta, yang diberi mandat oleh komandan Kopassus Mayor Jenderal Pramono Edhie Wibowo. Saya wawancara Iwan Santosa, seorang wartawan
Kompas, namun dia menolak keterangan dia saya kutip.
Lengkaplah sudah. Dari mahasiswa hingga profesor, dari wartawan hingga tentara. Saya kuatir Frantz Fanon perlu sedikit revisi analisis dia. Rasialisme-cum-kolonialisme bukan saja terjadi antara orang kulit putih dan kulit hitam. Tapi juga kulit coklat terhadap hitam.
Benarlah argumentasi Ernest Renan, pemikir nasionalisme dari Brittany, Prancis, bahwa jangan karena warna kulit sama, atau hampir sama, maka ia sekaligus jaminan mereka satu “bangsa.” Kolonialisme dengan beda sedikit warna kulit lebih sulit dimengerti daripada kolonialisme kulit putih terhadap kulit hitam. Nasionalisme Indonesia sudah gagal ketika ia membiarkan rasialisme tumbuh dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas --sesama kelompok masyarakat dalam negara Indonesia. Nasionalisme sebaiknya tak didasarkan pada kesamaan warna kulit … namun kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita.
IV
PADA 17 Agustus 2009, ketika hendak berkunjung ke penjara Cipinang di Jakarta, tiba-tiba saya dapat pesan dari Filep Karma. Suara lirih. Dia bilang dia kesakitan, nyaris tak bisa kencing selama lima hari. Tampaknya, ada sesuatu yang tidak beres dengan saluran kencing dia.
Saya tanya apakah sudah minta izin berobat? Karma mengatakan kepala sipir penjara Anthonius Ayorbaba memerintahkan Karma dibawa ke klinik penjara. Perawat klinik cuma menganjurkan Karma minum banyak air dan tiduran dengan kaki diangkat. Saya kecewa sekali. Saya tahu narapidana berhak mendapat perawatan dalam penjara. Untungnya, hari itu, ada seorang wartawan Bintang Papua Hendrik Yance Udam memotret Karma dengan kaki diangkat dalam sel yang berantakan. Keesokan hari, gambar tersebut diterbitkan Bintang Papua dan Ayorbaba terpaksa setuju membawa Karma ke rumah sakit Dok Dua, Port Numbay.
Dokter Dok Dua mengobati Karma beberapa waktu antara Agustus dan Oktober 2009. Dalam sebuah surat bertanggal 5 Oktober 2009, Dr. Mauritz Okosera dan Jhon Sambara, masing-masing kepala unit pemindahan pasien dan kepala administrasi rumah sakit Dok Dua, menulis kepada PT Asuransi Kesehatan Indonesia, sebuah perusahaan asuransi, menyatakan bahwa pasien Filep Karma harus dibawa ke Rumah Sakit PGI Cikini di Jakarta guna operasi urologi. Pada 11 November 2009, Dr. Donald Arronggear dari rumah sakit Dok Dua memerinci hasil tes medis Karma yang dilakukan di rumah sakit selama dua bulan. Dia merekomendasikan Karma secepatnya dibawa ke unit pengobatan urologi modern di Jakarta.
Karma membuat surat, minta kepada Ayorbaba agar bisa dibawa ke Jakarta guna menjalani operasi. Ayorbaba mengatakan kepada anggota keluarga Karma bahwa dia tak punya wewenang memerintahkan pemindahan semacam ini. Dia juga menambahkan pemerintah Indonesia tak punya uang guna mengobati Karma ke Jakarta.
Ayorbaba mengatakan agar Karma minta izin pemindahan ke Nazarudin Bunas, kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Port Numbay. Pendek kata, selama beberapa bulan, Filep Karma dipingpong dari sana ke sini, dari sini ke sana. Uang selalu jadi masalah.
Sekelompok aktivis dari Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua mulai menggalang dukungan pada 8 Maret 2010. SKPHP minta sumbangan terbuka di jalan-jalan, guna membantu pengobatan Filep Karma dan Ferdinand Pakage. Mereka mengumpulkan Rp 25 juta dalam dua hari pertama penggalangan dana. Mereka bilang sumbangan paling banyak berupa pecahan uang Rp 100 ribu. Ada juga kawan lama Karma sumbang Rp 40 juta. Namun Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Ayorbaba tetap menolak untuk proses izin berobat itu.
Pada awal Mei 2010, pemerintah Indonesia mengirim kepala penjara baru, Liberty Sitinjak, menggantikan Ayorbaba sebagai kepala penjara Abepura. Sitinjak terkaget-kaget ketika tahu bahwa tak ada berkas Filep Karma dalam file peninggalan Ayorbaba. Pergantian ini, dari Ayorbaba, yang orang Papua, kepada Sitinjak, yang orang Batak, membuka jalan untuk pengobatan Filep Karma ke Jakarta. Sitinjak mengurus prosedur pengobatan. Ayorbaba meradang dan menolak dipindah ke Sumatra.
Karma sendiri menolak berangkat ke Jakarta bila Ferdinand Pakage tak ikut diberangkatkan. Dia bilang Pakage sakit lebih lama daripada dia. Beberapa aktivis dan keluarga Pakage membujuk Karma berangkat lebih dulu karena dia sudah lebih berumur daripada Pakage. Ferdinand Pakage juga perlu diperiksa lebih dulu di rumah sakit Dok Dua. Akhirnya, Karma bersedia berangkat ke Jakarta.
Tokoh Papua Filep Karma menjalani perawatan prostate di rumah sakit PGI Cikini, Jakarta, selama 11 hari. Seorang perawat mengecek tekanan darah Karma sesudah operasi. ©2010 Ricky Dajoh
Saya ikut menyambut kedatangan Filep Karma di airport Jakarta pada 19 Juli 2010. Dia datang bersama ibunya, Eklefina Noriwari, seorang paman, seorang sepupu, asisten dan asisten Karma, Cyntia Warwe, serta dua petugas penjara Abepura dan polisi Port Numbay. Serah terima dari petugas Abepura kepada petugas penjara Cipinang, yang secara resmi mengampu Karma selama di Jakarta, dilakukan langsung di rumah sakit Cikini.
Dokter David Manuputty, seorang spesialis urologi, yang sudah bikin pencangkokan ginjal lebih dari 400 kali, langsung melakukan pemeriksaan di Cikini. Karma dapat cek darah, tekanan jantung, rontgen, CT Scan, USG dan sebagainya. Menurut Cyntia Warwe, dokter Manuputty mengatakan Karma ternyata diet dengan ketat, selalu minum air dan tak makan daging merah (hanya ikan). Diet ini menyelamatkan nyawa Karma. Biasanya orang dengan prostate acute sudah stroke. Manuputty mulanya kuatir prostate ini sudah mempengaruhi ginjal.
Pada 22 Juli, Manuputty melakukan bedah laser prostate selama dua jam. Manuputty tak pakai pisau bedah. Dia memasukkan sebuah alat ke dalam prostate Karma. Ada benjolan daging dalam prostate, yang menutup saluran kencing, dipotong dan dibelah-belah lewat bantuan kamera kecil dan laser. Dia perlu tiga hari lagi untuk
recovery. Kencing masih berdarah dan keluar potongan daging lewat saluran kencing. Karma sempat minta seseorang menunjukkan foto prostate kepada saya.
Empat hari kemudian, Manuputty menyatakan operasi berjalan lancar dan berhasil. Air kencing Karma sudah jernih. Dari hasil rontgen, dokter juga menemukan bekas patah tulang tetapi sudah sembuh walau tak sempurna, tampaknya dampak dari Karma terjatuh di penjara Abepura. Operasi prostate selesai. Namun, rombongan perlu empat hari lagi menunggu penerbangan pulang sekaligus mengurus pengawalan dari pihak Cipinang. Beberapa kawan lama dia datang bezoek ke rumah sakit. Saya juga datang membawa makanan dan bacaan. Karma terlihat gembira. Dia sering tertawa dan bergurau.
Dia mengatakan pada saya jumlah orang asli Papua terancam dengan kedatangan jumlah migran Indonesia, secara besar-besaran, sehingga kebudayaan Melanesia tertekan oleh kebudayaan migran. Dia bilang pada sensus 1971, jumlah penduduk asli Papua sekitar 900 ribu dari total hampir sejuta orang. Orang Papua sekitar 90 persen. Kini jumlah tersebut kurang dari 50 persen dari lebih 3 juta warga total Papua. Dia bilang orang Papua menerima migran. Namun tidak dalam jumlah dan dominasi sebesar sekarang (Sensus 2010 mengatakan total warga Papua 3.9 juta dan penduduk asli diperkirakan 49 persen. Papua adalah daerah dengan pertumbuhan penduduk paling tinggi di seluruh Indonesia).
Dia bilang dia ingin kelak, bila Papua jadi negara berdaulat, ia juga tetap terbuka terhadap para migran Indonesia, yang sudah lahir dan hidup di Papua. Perjuangan dia bukan perjuangan yang rasialis. Dia tunjukkan pada saya beberapa kawan sekolah dia, ada orang Minahasa, Batak maupun Jawa, bezoek ke rumah sakit. Dia juga sadar betapa banyak politikus Papua baku hantam, besar ego dan selalu berebut cari nama.
“Saya pernah bilang pada anak-anak Parlemen Jalanan. Bila Papua merdeka, saya ingin nama saya dihapus dari sejarah perjuangan bangsa Papua. Biar anak saya atau cucu saya tidak manfaatkan nama bapa atau opa mereka untuk cari jabatan atau penghargaan. Saya sedia mati demi rakyat Papua. Bukan cari jabatan. Bukan cari nama,” katanya.
Audryne, putri sulung Karma, mengatakan pada saya, "Satu pesan Bapa yg selalu saya ingat, "Lebih baik jadi berguna daripada jadi hebat. Hebat belum tentu ko bisa bantu banyak orang. Dan ingat selalu bersyukur sama Tuhan."’
Penjagaan di rumah sakit, tentu saja, cukup ketat. Selain dijaga dua petugas Cipinang, Filep Karma juga dijaga polisi Jakarta Pusat serta Badan Intelijen Negara. Keluarga Karma, termasuk Audryne dan adikknya, Andrefina, juga menjaga dengan bantuan mahasiswa Papua di Jakarta. Mereka berdua kuliah di Bandung. Filep Karma kembali ke penjara Abepura pada 30 Juli 2010.
Saya senang Filep Karma dapat pelayanan bermutu di Jakarta. Dia lega karena dia diperlakukan beda dari Dr. Tom Wanggai. Namun Karma hanya satu dari banyak orang Papua yang jadi korban pelanggaran oleh Indonesia. Dan Karma juga masih tetap berada di penjara hingga tahun 2019. Dia konsisten menolak remisi karena secara tersirat ia berarti dia mengakui dia bersalah. Karma memang tidak bersalah. Dia dipenjara secara tidak adil. Saya kira perlu lebih banyak lagi kampanye dan kerja untuk mendesak pemerintah Indonesia membebaskan tapol macam Filep Karma. Dan tentu perlu ada perbaikan cara berpikir di Indonesia dalam memandang Papua.
Jakarta, November 2010
Paper ini dipresentasikan di konferensi internasional tentang Comprehending West Papua di University of Sydney pada 23-24 Februari 2011.
Beberapa Link Terkait
Amnesty International: Imprisoned for Raising a Flag
Freedom Now: Filep Samuel Karma
Opini UN Working Group on Arbitrary Detention
Video Amnesty UK: Making the Invisible Visible
Surat 26 Anggota Kongress Amerika Serikat
Video: James Madison High School Concert "Free Filep Karma"