SAYA cukup puas dengan reaksi awal terhadap antologi 'Agama' Saya Adalah Jurnalisme. Tentu ada orang yang salah tafsir terhadap judul antologi. Atau hanya baca sebagian. Antologi tersebut, kalau dibaca, akan membuat mereka lebih mengerti macam-macam standard jurnalisme serta bagaimana sebagian besar standard tersebut diabaikan media Palmerah atawa media mainstream di Jakarta.
Ini mendorong saya ingin menulis naskah panjang soal internet maupun perubahan dunia komunikasi akibat internet. Saya kira zaman ini tak ada perubahan cara manusia hidup, lebih besar diakibatkan sesuatu, daripada internet. Ia mengubah cara orang memandang hidup dan dunia. Mulai cara orang mendapatkan informasi hingga bagaimana organisasi besar --termasuk negara, multinational corporation, militer-- dibikin kelabakan gara-gara kecepatan dan keluasan internet. Internet menyatukan tiga infrastruktur: transaksi dagang, komunikasi privat dan jurnalisme.
Saya lagi baca buku Ken Auleta Googled: The End of the World as We Know It maupun karya baru Bill Kovach dan Tom Rosenstiel Blur: How To Find Truth Within the Information Overload. Auleta menerangkan banyak aspek soal Google maupun kedua pendiri perusahaan ini: Sergey Brin dan Larry Page. Auleta kurang happy dengan Google. Saya juga baca review kritis buku tersebut di New York Times.
Beberapa kenalan, termasuk Fahri Salam dari Pantau, yang membantu saya sunting 'Agama' Saya Adalah Jurnalisme, maupun isteri saya, Sapariah Saturi, usul agar liputan-liputan panjang saya juga dijadikan buku. Saya tertarik pada ide mereka. Saya syaratkan liputan tersebut minimal 5,000 kata.
Liputan soal internet tersebut hendak saya gabung dengan antologi kedua. Ia akan cerita soal Wikileaks, Facebook, You Tube dan sebagainya.
Ia kelak akan jadi naskah panjang dimana saya baca buku namun juga liputan. Saya sudah bertemu Bill Kovach dan bicara soal internet di Washington DC. Kovach membuat saya lebih mengerti soal Google, Facebook, Twitter, You Tube, blog dan sebagainya. Bagaimana saya harus memandang new media ini.
Sebagian dari naskah panjang tersebut ada dalam blog saya, termasuk "Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia" (soal kebebasan beragama), "Dewa dari Leuwinanggung" (profil musikus Iwan Fals), "Panasnya Pontianak, Panasnya Politik" (ketegangan antar etnik) maupun "Hoakiao dari Jember" (soal diskriminasi terhadap orang Tionghoa). Ada beberapa naskah lain yang tak ada dalam blog saya, termasuk "Cermin Jakarta, Cermin New York" (soal majalah The New Yorker). Ada juga beberapa naskah lain yang praktis tak diketahui oleh audience Indonesia karena naskah-naskah tersebut terbit dalam bahasa Jepang atau Inggris. Misalnya, "Murder at Mile 63" (pembunuhan guru-guru Freeport di Papua).
Kalau Anda pikir naskah-naskah tersebut punya tema beda-beda, saya kira, tunggu dulu untuk sepakat pada kesimpulan tersebut. Semua isi antologi, mulai dari naskah lama hingga naskah baru soal internet, akan mengerucut pada dua minat saya: jurnalisme (sebagai lawan propaganda namun jurnalisme dan propaganda sama-sama bagian dari komunikasi) serta bagaimana media dijadikan ajang membangun solidaritas etnik serta agama, atau beberapa etnik, thus menindas kaum minoritas.
Antologi kedua ini tentu juga mencerminkan sebagian dari pengalaman saya ketika jalan dari Aceh hingga Papua, antara 2003 dan 2007, guna menulis buku A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Mudah-mudahan A Nation in Name bisa selesai tahun ini. Sebuah perusahaan penerbitan buku sudah setuju menerbitkannya. Kini saya lagi cari waktu, mungkin sebulan atau dua bulan, guna update manuskrip tersebut serta bikin footnote. Ia perlu update karena ada beberapa perkembangan baru.
Saya sendiri belum punya judul untuk antologi kedua. Sapariah usul Hoakiau dari Djember karena dia anggap naskah ini paling unggul dari segi teknik penceritaan. Janet Steele dari George Washington University juga mengatakan karya tersebut adalah karya terbaik saya.
Saya pribadi tertarik judul yang senada dengan rubrik Reportage dari majalah Granta. Ini sebuah rubrik dimana Granta, sebuah majalah sastra terbitan London, memakai kata Perancis "reportage" atau "reporting" (English) atau "liputan" (Melayu) guna menerangkan kegiatan seorang wartawan mencari informasi. Granta sengaja memakai kata Perancis karena ada nuansa kedalaman pada kata tersebut, yang tak dapat ditemukan dalam terminologi "reporting." Sempat juga terpikir memakai nama rubrik dari almarhum majalah Pantau "Reporter dari Lapangan" karena saya suka sekali dengan pemikiran bahwa reporter harus bekerja di lapangan.
Ironisnya, saya sendiri belum pernah mengisi rubrik ini ketika menyunting majalah Pantau. Tiga reporter Pantau, Alfian Hamzah, Chik Rini dan Coen Husain Pontoh, secara baik pernah mengisi rubrik tersebut. Hamzah dengan "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" (soal kehidupan satu batalion tentara Jawa di Aceh), Rini dengan "Sebuah Kegilaan dari Simpang Kraft" (pembantaian orang-orang Aceh di Lhokseumawe) serta Pontoh dengan liputan soal seorang Islamis asal Madiun bikin operasi kekerasan di Manila.
Anda punya ide lain?
Update 19 Juli 2011
Sepulang dari Singapore selama seminggu, saya memutuskan hendak memberi judul Hoakiao dari Jember untuk antologi kedua. Alasannya? Macam-macam. Nanti saya akan jelaskan dalam pengantar antologi. Namun pengalaman di Singapore, termasuk membeli antologi Chinese Diaspora Since Admiral Zheng He with Special Reference to Maritime Asia editor Leo Suryadinata, ikut membentuk kesimpulan ini. Sederhananya, saya lagi kesel dan kekesalan tersebut membuat saya memakai judul usulan Sapariah.
6 comments:
wah! luar biasa mas Andreas, ditunggu sekali buku2 selanjutnya!
Klo boleh usul, segmen mahasiswa mungkin lebih diperhatikan. Relatif masih sangat butuh masukkan dan didikan soal jurnalisme dari Anda yang sudah malang melintang di dunia jurnalisme.
Lainnya, mungkin bisa diselipkan naskah tentang cara penulisan Narasi? Sulit sekali cari rujukan penulisan tentang narasi. Atau mas Andreas bisa rekomendasi buku/website/artikel?
salam,
harry febrian
http://harryfebrian.wordpress.com/
Halo Pak Andreas Harsono! :D
ini sy yg wktu itu twitteran sama Bapak :D
Kapan antologi kedua dan A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism?
Looking forward to it :D
Harry Febrian,
Soal narasi, ia sudah ditulis panjang lebar dalam buku "Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat." Buku tersebut dipakai cukup banyak wartawan dan mahasiswa. Ia terbitan Gramedia walau kini stock di Gramedia sudah habis. Namun masih ada saja toko buku kecil jual antologi tsb.
Bene Krisna,
Saya termasuk pekerja lambat. "Agama Saya Adalah Jurnalisme" perlu setahun untuk editing dan disain. Buku "A Nation in Name" bahkan sudah masuk tahun ke delapan belum selesai penulisan. Mungkin saya juga sibuk bekerja untuk mendapatkan uang ya sehingga tak bisa kerja 100 persen untuk buku. Saya tak berani janji kapan mereka terbit. Saya akan usaha secepat mungkin.
Untuk Mel Damayanto,
Terima kasih untuk komentar Anda. Saya sungguh-sungguh tidak mengerti soal distribusi buku 'Agama Saya Adalah Jurnalisme.' Praktis ia wilayah Kanisius serta Gramedia. Saya anjurkan lewat Yayasan Pantau di Jakarta. Ini cara paling manjur.
Soal pelatihan menulis, saya biasa bikin program ini dengan Pantau juga, setiap tahun empat kali. Ini cara paling mudah. Kalau ada sponsor kami juga adakan di luar Jakarta. Terima kasih.
Dear Lucky Permana,
Terima kasih sudah datang ke blog ini. Mudah-mudahan ini berguna.
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.