Acara diselenggarakan di Bali karena Budiardjo, sebagai non-warga Indonesia, memerlukan "surat jalan" bila hendak masuk ke Papua. Aturan tersebut dipakai oleh Indonesia untuk menghalangi aktivis, wartawan maupun diplomat internasional, datang ke Papua.
Menurut siaran pers Forum Demokrasi, "Ibu Carmel Budiardjo, yang saat ini telah berusia 85 tahun, menunjukkan komitmen untuk berjuang bersama bangsa Papua agar menemukan jati diri dan kebebasan hakiki yang diberikan oleh Tuhan kepada bangsa Papua." Dia dinilai "terbukti gigih" dalam memperjuangkan "harkat dan martabat" bangsa Papua sejak 1970an.
Budiardjo dibaptis dengan nama: Papuaumau (bahasa Mee) atau Venia Ati (bahasa Maybrat) atau Bin Syowi (bahasa Biak). Semua kata tersebut berarti "putri sulung" dalam tiga bahasa di Papua.
Benny Giay mengatakan "Ibu Carmel" adalah "orang asli Papua" karena perjuangan dan komitmen terhadap hak asasi manusia.
Prosesi pengukuhan ditandai dengan prosesi tarian adat oleh mahasiswa dan mahasiswi di Bali.
Mereka mengantar Mama Yosepha, yang memikul noken berisi gambar Carmel Budiardjo. Lukisan kayu ini menggambarkan Budiardjo dengan salah satu tangan menantang Pulau Papua dan manusia Papua. Sekaligus tertulis juga nama Papua Carmel Budiardjo: Papuaumau atau Venia Ati atau Bin Syowi.
Carmel Budiardjo kelahiran London pada 1925. Dia lulus dari University of London pada 1946. Dia bertemu dengan Suwondo Budiardjo, seorang pegawai Indonesia, ketika mereka ada di Praha. Mereka menikah dan pindah ke Jawa pada 1952. Carmel bekerja untuk Departemen Luar Negeri.
Pada 1965, Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan serta memenjarakan ribuan kaum komunis Indonesia, termasuk Suwondo selama 12 tahun. Carmel sendiri, sebagai ekonom kiri, dipenjara tiga tahun, dibebaskan karena dia warga negara Inggris, dan dideportasi dari Indonesia pada 1971.
Di London, Carmel Budiardjo mendirikan Tapol, singkatan dari "tahanan politik," guna kampanye pembebasan para tapol di Indonesia. Tapol lantas memperluas kampanye mereka dengan riset tentang kegiatan militer Indonesia dan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, Aceh dan Papua.
Buletin Tapol merupakan referensi penting soal hak asasi manusia di Indonesia pada 1970an hingga 1990an. Pada 1983, Tapol menerbitkan buku West Papua: The Obliteration of a People.
Dia menulis otobiografi Surviving Indonesia’s Gulag soal kekejaman militer Indonesia terhadap para tapol komunis.
Kerja Budiardjo di bidang hak asasi manusia mendapat penghargaan di berbagai tempat. Pada 1995, Carmel Budiardjo menerima penghargaan Right Livelihood Award dari Stockholm.
Pada 1999, International Forum for Aceh, yang berpusat di New York, memberi gelar khas perempuan Aceh kepada "Tjut Carmel Budiardjo."
Menurut M. Nur Djuli dari International Forum for Aceh, "Kami juga memberinya sebuah plaque bertuliskan poem bahasa Aceh, bunyinya: Reudôk di glé ujeuën muprœt-prœt, aneuëk guda rœt ôn naleuëng paya. Meunyo lôn ingat budi gata gœt bak tiep simpang rœt lôn rô ië mata."
Makna puisi dalam bahasa Aceh tersebut:
Thunder on the mountain, showering rains,
A filly grazing swamp grass,
Whenever I recall your good deeds,
At every street corners
Tears drop from my eyes.
Carmel Budiardjo memang banyak bekerja untuk masyarakat yang mengalami penindasan --meminjam terminologi Hasan di Tiro-- oleh "bangsa Indonesia Jawa." Hasan di Tiro adalah pendiri Acheh/Sumatra National Liberation Front.
Tahun lalu Presiden Timor Leste Jose-Ramos Horta memberi Bintang Timor Leste kepada Budiardjo karena "impressive contribution to peace, to the Timorese people and to humanity."
Di Bali, acara ditutup dengan jamuan khas Papua berupa papeda, kuah ikan, petatas, keladi dan daun kasbi. Budiardjo didampingi putra dan putri dia dalam upacara tersebut.