Selama 11 hari, pesakitan politik Papua, Filep Karma, menjalani pengobatan prostate di rumah sakit PGI Cikini, Jakarta. Dia tiba di Jakarta Senin, 19 Juli, dan kembali ke Port Numbay, Jumat malam 30 Juli.
Dia tiba di airport Jakarta dengan pesawat Lion Air bersama ibunya,
Eklefina Noriwari, seorang paman, seorang sepupu, asisten dan kawan Cyntia Warwe, serta dua petugas penjara Abepura dan polisi Jayapura. Serah terima dari petugas Abepura kepada petugas penjara Cipinang, yang secara resmi mengampu Karma selama di Jakarta, dilakukan langsung di rumah sakit Cikini.
Karma sudah dua kali masuk penjara karena menaikkan isu kedaulatan Papua dari Indonesia, sekaligus simbol berupa bendera Bintang Kejora. Pertama, 6 Juli 1998, dia ditangkap dalam demonstrasi di Biak, dihukum penjara dengan pasal makar dan bebas pada 20 November 1999. Pada 1 Desember 2004, dia ikut dalam sebuah demontrasi memperingati deklarasi kemerdekaan Papua 1 Desember 1961, zaman
Papua Raad di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda, di Abepura. Dia ditangkap dan diadili dengan hukuman 15 tahun penjara. Lagi-lagi, dengan pasal makar. Karma tak pernah terlibat maupun menganjurkan kekerasan.
Karma menderita kesulitan kencing sejak pertengahan Agustus 2009. Dia sempat dirawat di rumah sakit Dok Dua, Port Numbay, namun dokter Dok Dua, Donald Arronggear, usul dia dioperasi prostate di Jakarta, pada sebuah rumah sakit yang punya spesialisasi urologi (saluran kencing). Dok Dua tak punya peralatan canggih untuk operasi prostate. Rekomendasi dokter Arronggear, tertanggal 11 November 2009, adalah rumah sakit Cikini.
Dokter David Manuputty,
seorang spesialis urologi, yang sudah bikin pencangkokan ginjal lebih dari 400 kali, langsung melakukan pemeriksaan di Cikini. Karma dapat cek darah, tekanan jantung, rontgen, CT Scan, USG dsb. Menurut Cyntia Warwe, dokter Manuputty mengatakan Karma rupanya diet dengan ketat, selalu minum air dan tak makan daging merah (hanya ikan). Diet ini menyelamatkan nyawa Karma. Biasanya orang dengan
prostate acute sudah stroke. Manuputty mulanya kuatir prostate ini sudah mempengaruhi ginjal.
Kamis 22 Juli, Manuputty melakukan bedah laser prostate selama dua jam. Manuputty tak pakai pisau bedah. Dia memasukkan sebuah alat ke dalam prostate Karma. Ada benjolan daging dalam prostate, yang menutup saluran kencing, dipotong dan dibelah-belah lewat bantuan kamera kecil dan laser. Dia perlu tiga hari lagi untuk
recovery. Kencing masih berdarah dan keluar potongan daging lewat saluran kencing. Karma sempat minta seseorang menunjukkan foto prostate kepada saya.
Senin 26 Juli, Manuputty menyatakan operasi berjalan lancar dan berhasil. Air kencing Karma sudah jernih. Dari hasil rontgen, dokter juga menemukan bekas patah tulang tetapi sudah sembuh walau tak sempurna, tampaknya dampak dari Karma terjatuh di penjara Abepura. Operasi prostate selesai. Namun, rombongan perlu empat hari lagi menunggu penerbangan pulang sekaligus mengurus pengawalan dari pihak Cipinang.
Mama Karma, Eklefina Noriwari, sudah usia 75 tahun, menemani anaknya operasi prostate. Mereka berbincang dengan Prof. Hafid Abas dari Kementerian Hukum dan HAM di kamar Cikini. Noriwari pribadi yang menyenangkan. Dia selalu ceria, membuat suasana riang, serta suka menyanyi. Dia ibu dari tujuh anak. Suami dia, Andreas Karma, mantan bupati Wamena dan Serui, meninggal tahun lalu. Filep Karma adalah anak sulung. ©2010 Ricky Dajoh Selama di rumah sakit, Karma menerima beberapa tamu, kebanyakan anggota keluarga --termasuk dua orang putri dia yang kuliah di Bandung-- maupun kawan-kawan lama semasa sekolah di Numbay. Ricky Dajoh, seorang photographer Minahasa dan kawan lama Karma, juga ikut bezoek.
Dua pendeta senior, Andreas Yewangoe dari Gereja Kristen Sumba dan SAE Nababan dari Huria Kristen Batak Prostestan, juga datang dan berdoa untuk kesembuhan Karma. Penjagaan di rumah sakit, tentu saja, cukup ketat. Selain dijaga dua petugas Cipinang, Filep Karma juga dijaga polisi Jakarta Pusat serta Badan Intelijen Negara. Keluarga Karma juga menjaga dengan bantuan pemuda-pemuda Papua di Jakarta.
Pada Kamis 29 Juli, Hafid Abas, kepala Badan Penelitian dan Pengembangan HAM dan seorang penasehat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, mengunjungi Karma di rumah sakit. Mereka berbicara tentang gagasan Akbar guna melepaskan semua pesakitan politik Alifuru dan Papua. Mereka hendak diberikan amnesti dan abolisi.
Filep Karma menyatakan ucapan terima kasih dan salam untuk Akbar. Namun dia juga mengingatkan dia bukan satu-satunya pesakitan politik yang memerlukan pengobatan medis. Di Abepura, Ferdinand Pakage buta mata kanan sesudah ditinju dengan kunci oleh satu sipir penjara bernama Herbert Toam. Di penjara Malang, Johan Teterisa, yang memimpin tarian cakalele, dan mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan, pada 29 Juli 2007, juga sakit-sakitan akibat siksaan yang dilakukan polisi-polisi Detasemen Khusus 88 di Ambon.
Menurut Tim Advokasi Masyarakat Sipil Maluku, kini ada 69 pesakitan politik Alifuru. Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua menyebutkan ada 39 pesakitan politik Papua di berbagai kota Papua. Mereka menyatakan aspirasi politik tanpa kekerasan namun dihukum berat dengan pasal-pasal makar. Ada yang dihukum 20 tahun penjara.
Saya sendiri sempat bezoek Filep Karma tiga kali serta ikut menjemputnya di airport Cengkareng. Saya tahu kepercayaan orang Papua terhadap
treatment orang sakit di Pulau Jawa sangat rendah. Beberapa aktivis Papua meninggal ketika dibawa ke Jakarta. Kebetulan Rev. Gomar Gultom, sekretaris jenderal Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, minta saya ikut memantau keberadaan Karma.
Karma akhirnya kembali ke Papua. Rombongan ini dijaga dua sipir Cipinang dan seorang polisi. Dia kembali ke penjara Abepura guna menjalani hukuman hingga November 2019.
Obama has the Power to Help Papua, Weak Man Under Indonesian RuleKriminalisasi Aspirasi Politik