SAYA suka membaca analisis sejarah yang membongkar macam-macam mitos dalam propaganda negara Indonesia. Misalnya, G.J. Resink, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, meruntuhkan mitos Belanda "menjajah Indonesia" selama 350 tahun.
Dia menulis antologi Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1920. Dia menulis bahwa secara legal berbagai kerajaan dan raja di kepulauan ini, dari Sumatera hingga Sunda Kecil, banyak yang masih berdaulat hingga 1920. Istilah "350 tahun" tersebut hanya "mitos politik belaka" yang tak bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah.
G.J. Resink menulis, "Implikasi dari mitos Belanda bercokol 350 tahun itu adalah bahwa begitu pelaut dan pedagang avonturir Cornelis de Houtman mendarat di Banten, dengan serta merta kepulauan Indonesia jatuh di bawah kekuasaannya." De Houtman mendarat di Banten pada 1596. Dia diperkirakan orang Eropa pertama yang mendaratkan kaki di Pulau Jawa. Kalau angka 1945 --proklamasi kemerdekaan Indonesia-- dikurangi 1596, hasilnya adalah 349 tahun (setahun kurang 350 tahun).
Tan Malaka termasuk orang yang sering memakai angka "350 tahun" tersebut. Saya pernah baca paper Tan Malaka terbitan 1920an sudah sebut angka 350.
Asvi Warman Adam dalam buku Seabad Kontroversi Sejarah menulis bahwa salah satu orang yang banyak menciptakan "sejarah yang bercorak nasional" alias propaganda adalah Muhammad Yamin.
Yamin seorang sarjana hukum kelahiran Sawah Lunto tahun 1903. Dia sekolah di Jogjakarta dan menikah dengan Sri Sundari, putri bangsawan Solo, pada 1937. Dia mengarang buku macam-macam, campuran antara fakta dan fiksi, termasuk 6000 Tahun Sang Merah-Putih maupun sandiwara Gadjah Mada serta Ken Arok dan Ken Dedes. Celakanya, Yamin juga jadi Menteri Pendidikan pada awal 1950an. Dia bikin macam-macam pembenaran soal "sejarah nasional." Cerita-cerita fiksi ini lantas masuk pelajaran sekolah.
Bayangkan 6,000 tahun! Artinya, Indonesia lebih tua dari kebudayaan Mesir.
Daoed Joesoef, menteri pendidikan pada 1970an, mengingatkan saya bahwa saking semangat Yamin bahkan membuat gambar Gadjah Mada berdasarkan "sebuah celengan" yang ditemukan dalam situs Majapahit di dekat Gunung Lawu. Celengan tersebut diklaim Yamin sebagai wajah Gadjah Mada. Belakangan ketika orang diminta menggambarkan wajah Gadjah Mada, tentu saja, celengan tersebut tak bisa dipakai. Maka dipakailah wajah pengarang sandiwara Gadjah Mada. "Celengan kan gendut. Pipi Yamin kan tembem," kata Daoed.
Benedict Anderson dalam buku klasik Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 menulis bahwa tak ada satu orang pun yang bisa mengontrol Yamin. Orang ini keras kepala, sembarangan, menjengkelkan dan dibiarkan saja semau sendiri. Zaman itu tak ada yang peduli soal campur aduk fakta dan fiksi. Ia dianggap tak sepenting soal revolusi melawan Belanda. Yamin menerbitkan sandiwara Gadjah Mada pada 1946.
Sejarahwan Jean Gelman Taylor menulis satu bab "Majapahit Visions: Sukarno and Suharto in the Indonesian Histories" dalam buku Indonesia: Peoples and Histories. Bab ini khusus membandingkan Majapahit versi arkeologi dan Majapahit versi propaganda. Dari sudut arkeologi, Taylor menerangkan bahwa Majapahit sebuah kerajaan kecil di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Rezim Sukarno dan Suharto berkepentingan membuat mitos Majapahit sebagai kerajaan besar guna mendukung agenda mereka masing-masing: nation building dan economic development. Mereka memakai apa yang diletakkan Yamin soal Gadjah Mada untuk kepentingan propaganda masing-masing rezim.
Hasilnya, macam-macam pikiran Yamin masuk dalam pelajaran sejarah di sekolah maupun berbagai propaganda lain. Indonesia dijajah Belanda 350 tahun. Ada patih Gadjah Mada dari kerajaan Majapahit bikin Sumpah Palapa. Nenek moyang selama 6,000 tahun. Saya sering geli baca macam-macam propaganda ini. Karya fiksi masuk dalam pelajaran sejarah.
Sayangnya, banyak warga negara Indonesia percaya. Artinya, kepercayaan terhadap makna negara Indonesia tak diletakkan pada fondasi kebenaran faktual. Dasar negara ini diletakkan pada tumpukan fiksi. Geli tapi juga sedih.