(Jakarta) - Mahkamah Konstitusi menyudutkan kebebasan beragama di Indonesia dengan menolak seluruhnya permohonan uji materi terhadap pasal kontroversial yang melarang "penodaan agama", kata Human Rights Watch hari ini. Organisasi ini mendesak pemerintah Indonesia mencabut pasal ini serta sejumlah peraturan lain yang melanggar hak beragama, berkeyakinan, dan hati nurani.
Mahkamah Konstitusi, dalam keputusan 8-banding-1 pada 19 April 2010, memutuskan bahwa pasal penodaan agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menjatuhkan sanksi pidana bagi siapa pun yang mengeluarkan perasaan bersifat “permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan” terhadap agama yang dianut di Indonesia. Ini merupakan pembatasan hukum pada kebebasan beragama di Indonesia agar tak terjadi main hakim sendiri.
"Keputusan Mahkamah Konstitusi atas pasal penodaan agama adalah ancaman nyata bagi kalangan minoritas agama di Indonesia," kata Elaine Pearson, Wakil Direktur Asia di Human Rights Watch. "Jika Presiden Yudhoyono serius bicara soal demokrasi dan pluralisme di Indonesia, ia harus berusaha agar pasal ini, dan sejumlah peraturan serupa lain, dihilangkan dari sistem hukum di Indonesia."
Dalam pembukaan acara World Movement for Democracy di Jakarta pada 12 April, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pidato, dalam bahasa Inggris, mengenai kemajuan demokrasi Indonesia, “… Indonesia have shown, by example, that Islam, democracy, and modernity can grow together. We are a living example that there is no conflict between a Muslim’s spiritual obligation to Allah, his civic responsibility as a citizen in a pluralist society, and his capacity to succeed in the modern world.”
Permohonan terhadap pasal penodaan agama diajukan pada Oktober 2009 oleh empat warga negara Indonesia –Abdurahman Wahid, Dawam Rahardjo, Maman Immanul Haq, dan Musdah Mulia—serta tujuh organisasi masyarakat sipil: Imparsial, Elsam, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Demos, Setara Institute, Desantara, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Wahid adalah tokoh paling senior dari para pemohon. Dia mantan presiden Indonesia dan tokoh Nahdlatul Ulama, serta sejak 1980an menulis persoalan keagamaan dan toleransi. Para pemohon berpendapat pasal tersebut melanggar Undang-undang Dasar 1945, yang menjamin kebebasan beragama serta kesetaraan semua warga Indonesia, serta mengingkari kewajiban Indonesia terhadap berbagai perjanjian hak asasi manusia internasional.
Pasal penodaan agama tersebut dibuat oleh Presiden Soekarno dengan keputusan Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965. Ia juga meyebutkan ada enam agama yang dilindungi di Indonesia: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Keputusan Soekarno tersebut dimasukkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan nomor 156a. Ia mengancam hukuman penjara lima tahun pada siapa pun yang dinilai menodai enam agama tersebut.
Dalih penodaan agama acapkali digunakan untuk menyudutkan, mengadili dan memenjarakan anggota kelompok agama minoritas. Pada 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum tiga pemimpin gerakan spiritual Komunitas Eden - Lia Eden, M. Abdul Rachman, dan Wahyu Andito Putro Wibisono - dengan hukuman penjara dua sampai tiga tahun karena pasal penodaan agama. Korban lain termasuk anggota dari banyak agama tradisional di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan sejumlah daerah lain di Indonesia.
"Pasal penodaan agama adalah pasal karet, punya potensi besar buat kriminalisasi penyampaian pendapat secara damai dari kalangan minoritas," kata Pearson. "Ia seperti 'Pedang Damocles' yang menggantung di atas banyak kepala kaum minoritas, entah dari kelima agama non-Islam di Indonesia, maupun orang-orang dari aliran kepercayaan serta agama tradisional."
Aturan penodaan agama tersebut juga jadi dasar hukum bagi sejumlah peraturan yang diskriminatif, termasuk Surat Keputusan Bersama anti-Ahmadiyah pada Juni 2008, yang memerintahkan warga Ahmadiyah menghentikan semua kegiatan dakwah keagamaan di muka umum, dengan alasan mereka menyimpang dari ajaran Islam, dan mengancam para pelaku penyimpangan dengan hukuman hingga lima tahun penjara. SKB tersebut diterbitkan pemerintahan Yudhoyono setelah serangan pada 1 Juni 2008 terhadap sekelompok peserta aksi damai pendukung kebebasan agama, termasuk Wahid. Lebih dari 60 peserta dipukul, dikeroyok, dan dilukai oleh militan Islamis. Beberapa warga Ahmadiyah dilarikan ke rumah sakit. Wahid tak sempat mencapai lapangan sehingga terhindar dari penyerangan.
Dalam sidang-sidang Mahkamah Konstitusi, sejumlah militan Islamis termasuk Front Pembela Islam, ikut mendengar. Beberapa dari mereka diduga melakukan intimidasi dan pelecehan terhadap para pengacara pihak pemohon maupun saksi.
Saat sebagian besar negara di dunia mengatakan bahwa agama adalah urusan pribadi dimana negara seharusnya tak ikut campur, keputusan Mahkamah Konstitusi ini menguatkan campur tangan negara Indonesia dalam urusan agama. Ia makin melanggar hak beragama warga minoritas. Mereka rentan menjadi sasaran kekerasan yang dilakukan oleh orang yang intoleran, yang tidak cukup terdidik, untuk mendukung toleransi dan kebebasan beragama.
Dua anggota kabinet Yudhoyono yang menjadi saksi dalam persidangan, Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, mendukung keabsahan pasal penodaan agama. Mereka mengatakan bahwa jika pasal itu dibatalkan, bila ummat Islam marah, bisa langsung menyerang kelompok minoritas agama.
Hakim Maria Farida Indrati menjadi satu-satunya anggota Mahkamah Konstitusi yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Ia beralasan pasal itu harus dinyatakan inkonstitusional karena secara tersurat mendiskriminasi agama minoritas dan dapat memaksa orang-orang untuk meninggalkan kepercayaan tradisional dan minoritas yang bertentangan dengan kehendak mereka.
"Hukum Indonesia harus melindungi mereka yang secara damai mengekspresikan pandangan agamanya dan menghukum mereka yang mengancam orang lain dengan kekerasan, bukan sebaliknya," kata Pearson. "Jika ingin mencegah kekerasan, pemerintah seharusnya mengirim pesan dengan cara menghukum tindak kekerasan."
UUD 1945 secara tersurat menjamin kebebasan beragama di pasal 28 (E). Di bawah Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia pada 2005, negara harus menghormati kebebasan beragama. Ia mencakup “kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.” Anggota kelompok agama “tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain … untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.” Pembatasan hak kebebasan beragama untuk melindungi keamanan atau ketertiban umum harus dilakukan bila benar-benar diperlukan dan proporsional dengan tujuan yang diminta.
No comments:
Post a Comment