Thursday, April 29, 2010
Empat Model Media
Saya baru pulang dari media conference selama empat hari, oleh Hong Kong University bekerja sama dengan East West Center, dimana mereka bikin puluhan panel soal media, ekonomi, politik dan jurnalisme. Saya tertarik pada workshop tentang social media dari Thomas Crampton.
Crampton adalah director Asia Pacific dari 360 Digital Influence for Ogilvy Public Relations Worldwide. Mereka membantu berbagai perusahaan merancang, membangun dan menjalankan strategi dalam Social Media a.l. Facebook, Twitter, You Tube dan sebagainya. Crampton membagi media, untuk keperluan organisasi non-media, dalam empat model pada era internet ini.
Paid Media
Ini adalah media dimana orang membayar guna menyampaikan pesan. Kata lain adalah advertising atau iklan. Jadi, sebuah organisasi, entah perusahaan komersial atau organisasi nirlaba, memasang iklan di televisi, suratkabar, majalah atau dotcom. Ia bisa langsung bikin sendiri atau dibikinkan perusahaan iklan. Ia adalah model paling konservatif.
Earned Media
Ini adalah media dimana orang mengeluarkan press release atau ide berita, lantas ada wartawan menulis atau menyiarkan. Ia tak selalu harus dalam bentuk press release. Ia bisa juga berupa kunjungan kepada wartawan atau pengadaan press conference. Kegiatan ini lantas berbuah pada pesan lewat media dimana kemauan dan pernyataan si pengunjung tersalurkan. Wartawan suka dengan model kerja begini karena ia mudah dan resiko rendah. Sering kali perusahaan membayar perjalanan si wartawan, termasuk ke tempat jauh, agar bisa menulis pesan si perusahaan.
Media Platform
Ini adalah media milik perusahaan atau organisasi dimana mereka mengatur dan mengembangkan pesan yang mereka hendak sampaikan kepada publik. Umumnya, ia berupa situs web dimana semua siaran pers, gambar, mungkin juga audio dan video, di-upload agar publik bisa langsung akses. Banyak perusahaan sudah punya situs web canggih. Beberapa organisasi nirlaba, misalnya Human Rights Watch, juga punya situs web dengan kedalaman tinggi.
Conversational Media
Ini adalah fenomena baru dimana perusahaan, mau tak mau, harus ikutan mengingat ia sudah jadi trend, terutama pada generasi internet. Crampton menganggap generasi internet adalah semua orang kelahiran 1984 ke atas. Orang macam saya, kelahiran 1960an, dikategorikan "internet migrant" karena kami baru memasuki wilayah internet sesudah kami dewasa. Kami adalah "pendatang" --bukan "penduduk asli" kawasan internet.
Social media ini termasuk Facebook, You Tube, Twitter, Linkedin, blog dan dsb. Conversational Media punya audiensi yang sangat focused tapi sekaligus bisa jadi luas tanpa batas jelas. Internet membuat baatas-batas wilayah jadi berubah. Sekali seseorang menulis di Twitter, audience dia bisa puluhan juta orang di seluruh dunia, bila memang menarik. Namun follower dia sangat focused karena mereka segelintir orang yang memang tertarik mengikuti kegiatan atau pikiran si empunya Twitter.
Crampton membeberkan data-data perang antar blogger di Tiongkok dan di Amerika Serikat. Dia bicara dalam sesi "Sustainable Media Models in the Internet Age" dimana kebanyakan blogger Tiongkok, yang berpikiran sempit, menganggap blogger dari Amerika, yang mempermasalahkan kebebaran pers, kebebasan berpendapat atau hak asasi manusia, diperangi sengit oleh blogger dari Tiongkok. Pendapat para blogger Tiongkok tersebut ikut membentuk kebijakan luar negeri Beijing.
Bayangkan diplomasi internasional ditentukan para blogger!
Crampton memang mencurahkan banyak waktu untuk mengamati internet di Tiongkok. Saya kira, di Pulau Jawa, banyak organisasi --pemerintah, bisnis maupun organisasi nirlaba-- sudah biasa dengan bentuk paid media dan earned media. Namun belum terbiasa dengan conversational media.
Menurut Crampton, para CEO kini sebaiknya juga punya Twitter agar bila ada isu besar, yang mendadak menghampiri perusahaan mereka, secara cepat pula mereka bisa antisipasi. Dia kasih beberapa contoh dimana perusahaan besar, termasuk United Airlines dan Unilever, menderita kerugian financial besar gara-gara tak punya pemahaman untuk conversational media.
Dia menunjukkan situs You Tube dimana Dave Carrol, seorang penumpang United Airlines, protes United gara-gara gitar dia patah dalam bagasi United. Carrol menciptakan lagu dan video berjudul "United Breaks Guitars." Crampton bedakan antara Facebook (untuk orang2 yang kita kenal) serta Twitter (untuk orang2 yang ingin mengenal kita). Wall dari Facebook, menurutnya, ibarat ruang tamu kita. Tamu tak diharapkan mengucapkan kata-kata tak sedap di ruang tamu kita bukan?
Related Links
Apakah Wartawan Perlu Dipidanakan?
Sexism, Racism and Sectarianism
Menulis Butuh Tahu dan Berani
Kursus Jurnalisme Sastrawi
Tuesday, April 20, 2010
Pelayanan Gerbang Tol Buruk
Gerbang tol Semanggi, menuju Slipi, sering menyebabkan kemacetan karena petugas PT Jasa Marga hanya membuka dua dari empat loket. Alasannya, petugas sedang sholat atau istirahat!
© 2010 Sapariah Saturi-Harsono
Ini salah satu kejengkelan saya terhadap pelayanan Jalan Tol Dalam Kota Jakarta. Petugas tol PT Jasa Marga, yang melayani ruas jalan ini, sering seenaknya menutup loket masuk tol dan menciptakan kemacetan lalu lintas sekitar gerbang mereka.
Saya sering melihat loket tol ditutup justru saat jam sibuk. Tambah macet bukan? Ada tiga gerbang yang sering saya pakai: Semanggi, Slipi dan Kemayoran. Ini untuk keperluan antar jemput anak sekolah. Kami sekeluarga tinggal di Senayan dan anak saya sekolah di Kemayoran. Pagi hari, tentu saja, tak ada masalah karena sepi. Namun siang hari, ketika kesibukan lalu lintas tinggi, gerbang-gerbang ini bermasalah.
Bila dalam seminggu saya lewat ketiga gerbang tersebut, katakanlah 20 kali, saya kira, minimal sepuluh kali dilayani dengan buruk. Gerbang-gerbang tol ndak keruan ini dikelola oleh PT Jasa Marga.
Kamis, 15 April sekitar pukul 15:30
Antrian gerbang tol Kemayoran macet sekitar satu km. Saya telepon Traffic Information Center Jasa Marga pada 021-80880123. Jawabnya, dua dari empat jalur terpaksa ditutup karena tak ada aliran listrik. Jasa Marga mengatakan perlu 1.5 jam guna memperbaiki aliran listrik.
Jumat, 16 April sekitar pukul 15:00
Antrian gerbang tol Semanggi macet, dampaknya hingga Kuningan. Dari lingkaran Semanggi menuju gerbang tol perlu 20 menit. Ternyata hanya dua loket buka. Saya telepon call center. Jawabnya, petugas sedang sholat!
Jumat, 16 April sekitar pukul 18:15
Antrian gerbang tol Kemayoran macet, lebih panjang dari kemarin. Saya lihat loket masih ditutup. Saya memutuskan pakai gerbang tol Ancol. Pelayanan baik tapi kemacetan alamak! Dari Ancol hingga Senayan dua jam.
Dari situs web Jasa Marga, saya mengetahui bahwa call center tersebut meraih “good service performance" dalam penganugerahan Call Center Award 2010 oleh Carre dan majalah Marketing Maret lalu. Mungkin benar bahwa mereka punya kinerja baik dalam call center. Namun substansi pelayanan gerbang tol, saya kira, kinerja buruk.
Menurut Jasa Marga, kinerja operasional jalan tol diukur dengan lima kriteria:
- Kecepatan transaksi (detik);
- Tingkat kecelakaan;
- Korban meninggal;
- Ketidakrataan permukaan jalan (m/km);
- Kekesatan permukaan jalan (µm).
Nah, setiap dua tahun, tarif tol dinaikkan dan setiap dua tahun pula, PT Jasa Marga berjanji memperbaiki pelayanan tol. Kalau saya google nama direktur utama PT Jasa Marga "Frans Sunito" serta kata-kata "tarif" dan "pelayanan" dan "meningkatkan" dan "jalan tol" maka saya menemukan lebih dari 700 link.
Tapi janji tinggal janji. Hasilnya, ya macet begini ini. Petugas sholat atau makan pun tak dipikirkan bagaimana agar dia tak bikin macet di Semanggi. Saya kira setiap karyawan berhak untuk berdoa, makan dan istirahat, tapi PT Jasa Marga harus mengatur agar keperluan ini tak menciptakan kemacetan massal.
Kalau pelayanan tidak bisa diperbaiki, saya kira, saya hendak meminjam ungkapan Batak, "Tahi kebo macam apa pula ini?"
Monday, April 19, 2010
Keputusan MK Kemunduran bagi Kebebasan Beragama
Pasal Penodaan Agama Bikin Minoritas Agama dalam Risiko
(Jakarta) - Mahkamah Konstitusi menyudutkan kebebasan beragama di Indonesia dengan menolak seluruhnya permohonan uji materi terhadap pasal kontroversial yang melarang "penodaan agama", kata Human Rights Watch hari ini. Organisasi ini mendesak pemerintah Indonesia mencabut pasal ini serta sejumlah peraturan lain yang melanggar hak beragama, berkeyakinan, dan hati nurani.
Mahkamah Konstitusi, dalam keputusan 8-banding-1 pada 19 April 2010, memutuskan bahwa pasal penodaan agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menjatuhkan sanksi pidana bagi siapa pun yang mengeluarkan perasaan bersifat “permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan” terhadap agama yang dianut di Indonesia. Ini merupakan pembatasan hukum pada kebebasan beragama di Indonesia agar tak terjadi main hakim sendiri.
"Keputusan Mahkamah Konstitusi atas pasal penodaan agama adalah ancaman nyata bagi kalangan minoritas agama di Indonesia," kata Elaine Pearson, Wakil Direktur Asia di Human Rights Watch. "Jika Presiden Yudhoyono serius bicara soal demokrasi dan pluralisme di Indonesia, ia harus berusaha agar pasal ini, dan sejumlah peraturan serupa lain, dihilangkan dari sistem hukum di Indonesia."
Dalam pembukaan acara World Movement for Democracy di Jakarta pada 12 April, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pidato, dalam bahasa Inggris, mengenai kemajuan demokrasi Indonesia, “… Indonesia have shown, by example, that Islam, democracy, and modernity can grow together. We are a living example that there is no conflict between a Muslim’s spiritual obligation to Allah, his civic responsibility as a citizen in a pluralist society, and his capacity to succeed in the modern world.”
Permohonan terhadap pasal penodaan agama diajukan pada Oktober 2009 oleh empat warga negara Indonesia –Abdurahman Wahid, Dawam Rahardjo, Maman Immanul Haq, dan Musdah Mulia—serta tujuh organisasi masyarakat sipil: Imparsial, Elsam, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Demos, Setara Institute, Desantara, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Wahid adalah tokoh paling senior dari para pemohon. Dia mantan presiden Indonesia dan tokoh Nahdlatul Ulama, serta sejak 1980an menulis persoalan keagamaan dan toleransi. Para pemohon berpendapat pasal tersebut melanggar Undang-undang Dasar 1945, yang menjamin kebebasan beragama serta kesetaraan semua warga Indonesia, serta mengingkari kewajiban Indonesia terhadap berbagai perjanjian hak asasi manusia internasional.
Pasal penodaan agama tersebut dibuat oleh Presiden Soekarno dengan keputusan Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965. Ia juga meyebutkan ada enam agama yang dilindungi di Indonesia: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Keputusan Soekarno tersebut dimasukkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan nomor 156a. Ia mengancam hukuman penjara lima tahun pada siapa pun yang dinilai menodai enam agama tersebut.
Dalih penodaan agama acapkali digunakan untuk menyudutkan, mengadili dan memenjarakan anggota kelompok agama minoritas. Pada 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum tiga pemimpin gerakan spiritual Komunitas Eden - Lia Eden, M. Abdul Rachman, dan Wahyu Andito Putro Wibisono - dengan hukuman penjara dua sampai tiga tahun karena pasal penodaan agama. Korban lain termasuk anggota dari banyak agama tradisional di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan sejumlah daerah lain di Indonesia.
"Pasal penodaan agama adalah pasal karet, punya potensi besar buat kriminalisasi penyampaian pendapat secara damai dari kalangan minoritas," kata Pearson. "Ia seperti 'Pedang Damocles' yang menggantung di atas banyak kepala kaum minoritas, entah dari kelima agama non-Islam di Indonesia, maupun orang-orang dari aliran kepercayaan serta agama tradisional."
Aturan penodaan agama tersebut juga jadi dasar hukum bagi sejumlah peraturan yang diskriminatif, termasuk Surat Keputusan Bersama anti-Ahmadiyah pada Juni 2008, yang memerintahkan warga Ahmadiyah menghentikan semua kegiatan dakwah keagamaan di muka umum, dengan alasan mereka menyimpang dari ajaran Islam, dan mengancam para pelaku penyimpangan dengan hukuman hingga lima tahun penjara. SKB tersebut diterbitkan pemerintahan Yudhoyono setelah serangan pada 1 Juni 2008 terhadap sekelompok peserta aksi damai pendukung kebebasan agama, termasuk Wahid. Lebih dari 60 peserta dipukul, dikeroyok, dan dilukai oleh militan Islamis. Beberapa warga Ahmadiyah dilarikan ke rumah sakit. Wahid tak sempat mencapai lapangan sehingga terhindar dari penyerangan.
Dalam sidang-sidang Mahkamah Konstitusi, sejumlah militan Islamis termasuk Front Pembela Islam, ikut mendengar. Beberapa dari mereka diduga melakukan intimidasi dan pelecehan terhadap para pengacara pihak pemohon maupun saksi.
Saat sebagian besar negara di dunia mengatakan bahwa agama adalah urusan pribadi dimana negara seharusnya tak ikut campur, keputusan Mahkamah Konstitusi ini menguatkan campur tangan negara Indonesia dalam urusan agama. Ia makin melanggar hak beragama warga minoritas. Mereka rentan menjadi sasaran kekerasan yang dilakukan oleh orang yang intoleran, yang tidak cukup terdidik, untuk mendukung toleransi dan kebebasan beragama.
Dua anggota kabinet Yudhoyono yang menjadi saksi dalam persidangan, Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, mendukung keabsahan pasal penodaan agama. Mereka mengatakan bahwa jika pasal itu dibatalkan, bila ummat Islam marah, bisa langsung menyerang kelompok minoritas agama.
Hakim Maria Farida Indrati menjadi satu-satunya anggota Mahkamah Konstitusi yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Ia beralasan pasal itu harus dinyatakan inkonstitusional karena secara tersurat mendiskriminasi agama minoritas dan dapat memaksa orang-orang untuk meninggalkan kepercayaan tradisional dan minoritas yang bertentangan dengan kehendak mereka.
"Hukum Indonesia harus melindungi mereka yang secara damai mengekspresikan pandangan agamanya dan menghukum mereka yang mengancam orang lain dengan kekerasan, bukan sebaliknya," kata Pearson. "Jika ingin mencegah kekerasan, pemerintah seharusnya mengirim pesan dengan cara menghukum tindak kekerasan."
UUD 1945 secara tersurat menjamin kebebasan beragama di pasal 28 (E). Di bawah Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia pada 2005, negara harus menghormati kebebasan beragama. Ia mencakup “kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.” Anggota kelompok agama “tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain … untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.” Pembatasan hak kebebasan beragama untuk melindungi keamanan atau ketertiban umum harus dilakukan bila benar-benar diperlukan dan proporsional dengan tujuan yang diminta.
Court Ruling a Setback for Religious Freedom
Blasphemy Law Puts Religious Minorities at Risk
(Jakarta) - Indonesia's Constitutional Court dealt a severe blow to religious freedom by upholding a controversial law prohibiting "blasphemy," Human Rights Watch said today. Human Rights Watch urged the Indonesian government to revoke this and other laws that infringe upon the rights to freedom of religion, belief, and conscience.
The court, in an 8-1 decision on April 19, 2010, ruled that the blasphemy law, which provides criminal penalties for those who express religious beliefs that deviate from the central tenets of the six officially recognized religions, is a lawful restriction of minority religious beliefs because it allows for the maintenance of public order.
"The Constitutional Court's decision on the blasphemy law poses a real threat to the beliefs of Indonesia's religious minorities," said Elaine Pearson, deputy Asia director at Human Rights Watch. "If President Yudhoyono is serious about promoting religious pluralism in Indonesia, he should work to have this law and others like it taken off the books."
At the opening of the Sixth Assembly of the World Movement for Democracy on April 12, President Susilo Bambang Yudhoyono spoke with pride about Indonesia's democratic development, proclaiming: "We in Indonesia have shown, by example, that Islam, democracy, and modernity can grow together. We are a living example that there is no conflict between a Muslim's spiritual obligation to Allah SWT [and] his civic responsibility as a citizen in a pluralist society."
The constitutional challenge to the blasphemy law was filed in October 2009 by a group of Indonesian nongovernmental organizations and individuals led by former president Abdurrahman Wahid, a longtime Muslim supporter of religious freedom and tolerance. The petitioners argued that the law violated the constitutional right to freedom of expression and Indonesia's obligations under international human rights treaties.
Indonesia's blasphemy law, article 156a of the Indonesian criminal code, punishes deviations from the central tenets of the six officially recognized religions with up to five years in prison. It is based on a 1965 government regulation, issued by then-President Sukarno, which declared that six religions were officially recognized in Indonesia: Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism, Buddhism and Confucianism.
The blasphemy law has been used to prosecute and imprison members of religious minorities and of traditional religions. In 2006, a Jakarta court sentenced three leaders of a spiritual movement called the Eden Community - Lia Eden, M. Abdul Rachman, and Wahyu Andito Putro Wibisono - to prison terms of two to three years for violating the blasphemy law. Others prosecuted under the law include members of the many traditional religions practiced in Java, Sumatra, Borneo, Sulawesi, and other parts of Indonesia.
"The blasphemy law criminalizes the peaceful expression of certain religious beliefs," Pearson said. "It hangs like a ‘Sword of Damocles' over the heads of religious minorities and those who practice traditional religions."
The blasphemy law also serves as the legal basis for a number of government regulations that facilitate official discrimination on the basis of religion. These include a June 2008 government decree that ordered members of the Ahmadiyah religious community to cease all public religious activities on the grounds that they deviated from the principal teachings of Islam and threatened violators with up to five years in prison. The decree was issued in the aftermath of a violent attack on June 1, 2008, by more than 500 Islamist militants on a group of peaceful demonstrators supporting religious pluralism. More than 60 demonstrators were wounded by the group, who called themselves the Islam Troop Command, and several Ahmadiyah members were hospitalized.
Members of Islamist groups including the Islamic Defenders Front (FPI) attended the Constitutional Court's weekly hearings on the law. The group's members are alleged to have led a violent attack on lawyers for the petitioners at the Constitutional Court building following the last court hearing on March 24.
While the court majority said that religion is a private matter with which the state should not interfere, it upheld the blasphemy law's restrictions, finding that religious minorities could become targets of violence by intolerant members of the public who were not sufficiently educated to support religious pluralism. Top government officials who served as witnesses in the court's examination, Suryadharma Ali, minister of religious affairs, and Patrialis Akbar, minister for law and human rights, both argued in favor of the constitutionality of the law, saying that if it were overturned, violent mobs would probably attack religious minorities.
Judge Maria Farida Indrati issued the sole dissenting opinion, arguing that the law should be found unconstitutional because it explicitly discriminated against religious minorities and would force individuals to abandon traditional and minority beliefs against their will.
"Indonesia's laws should protect those who peacefully express religious views and punish those who threaten to use violence against others, not the other way around," Pearson said. "If the government wants to prevent violence, it should send a message by punishing violent behavior."
Indonesia's 1945 constitution explicitly guarantees freedom of religion in article 28(E). Under the International Covenant on Civil and Political Rights, which Indonesia ratified in 2005, states are to respect the right to freedom of religion. This right includes "freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching." Members of religious minorities "shall not be denied the right, in community with other members of their group, ... to profess and practice their own religion." Restrictions on the right to freedom of religion to protect public safety or order must be strictly necessary and proportional to the purpose being sought.
Sunday, April 18, 2010
Tiga Hari Terakhir Gus Dur
Awal Januari 2010, ketika saya berada di New York, Sapariah menelepon dan bilang ada orang dari Pensil-324 memberitahu bahwa buku saya, Hari-hari Terakhir Gus Dur di Istana Rakyat, sudah terbit. Mereka juga menelepon Yayasan Pantau namun tak bisa hubungi saya.
Saya bingung. Sejak kapan saya menulis buku soal Gus Dur? Coba mengingat-ingat, akhirnya sadar bahwa Adi Sulistiono dari Pensil-324 memang pernah kirim email dan minta izin menerbitkan naskah dari majalah Pantau. Judulnya, "Kecepatan, Ketepatan, Perdebatan." Ia diterbitkan Pantau pada edisi September 2001. Isinya, rekaman tentang perilaku beberapa media di Jakarta --termasuk Metro TV, RCTI, Kompas, Forum-- dalam meliput tiga hari terakhir kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid pada 20-23 Juli 2001. Saya mengizinkannya.
Saya kira ia salah satu liputan terbaik yang pernah dikerjakan oleh Pantau. Ia dikerjakan sebuah tim yang terdiri dari Agus Sudibyo, Andreas Harsono, Coen Husain Pontoh, Dyah Listyorini, Elis N. Hart, dan Eriyanto. Desain polling dan monitoring televisi dikerjakan Eriyanto. Saya kebetulan yang menuliskan semua laporan tersebut sehingga byline dicetak Andreas Harsono et al.
Persoalannya, Pensil-324 tak pernah konsultasi penerbitan naskah tersebut dengan saya. Judul mereka ganti juga tanpa memberitahu saya. Setiba di Jakarta, saya disodori sebuah kontrak dimana Pensil-324 menulis ia dicetak 5,000 eksemplar karya tersebut. Saya enggan tandatangan kontrak karena Pensil-324 bekerja tanpa prosedur benar. Namun saya juga tak mau ribut. Saya percaya pada copy left dimana suatu karya interlektual, sesudah ia terbit, menjadi milik masyarakat --bukan copyright dimana karya dilindungi selama beberapa dekade.
Beberapa kawan juga memberi ucapan selamat karena buku tersebut sudah terbit. Ada yang lihat ia dijual di Gramedia tapi juga di muktamar Nadlatul Ulama di Makassar bulan Maret. Saya sih oke saja.
Saya jawab, "Saya sendiri belum lihat buku tersebut." Mereka gantian kaget.
Saya pikir minimal orang-orang bisa memiliki bacaan soal bagaimana media meliput upaya impeachment terhadap Gus Dur. Pensil-324 mungkin juga mengambil momentum Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009. Kepergian Gus Dur membuat banyak orang terkenang pada kebaikan dan perjuangan Gus Dur dalam menegakkan kemanusiaan. Pensil-324 hanya perlu dua minggu guna menerbitkan naskah tersebut. Saya kagum juga dengan kecepatan mereka.
Minggu ini, secara tak sengaja saya lihat buku tersebut di toko buku Gunung Agung, Senayan City. Harganya Rp 25,000. Saya beli satu eksemplar. Disain kulit muka baik. Sekilas disain dalam juga baik.
Sampai rumah, saya perhatikan ternyata setiap kali saya menulis waktu, mereka menambahkan kata "WIB" alias Waktu Indonesia Barat. Misalnya pada kalimat, ".... Mereka bergegas meliput langsung acara itu pukul 17.30 WIB dari Istana Negara ...."
Secara konsisten, kata WIB selalu dicantumkan pada setiap keterangan waktu. Impeachment terhadap Gus Dur ini terjadi di Jakarta, selama tiga hari, dari jam ke jam. Apa artinya, setiap kali menulis waktu diberi tanda WIB. Bukankah orang sudah tahu semuanya terjadi di Jakarta dan Jakarta masuk zona Waktu Indonesia Barat. Tanpa perlu diberi keterangan WIB, WIB, WIB, WIB, WIB ....
Saya kecewa sekali. Saya biasa mengajar orang menulis dan selalu mengatakan agar mereka tak mencantumkan keterangan zona waktu bila kejadian suatu event terjadi pada zona sama.
Ini soal style. Saya biasa memperlakukan semua media setara. Artinya, saya biasa mengetik nama Tempo, bukan TEMPO, seperti kebiasaan majalah itu bila mengacu diri sendiri. Artinya, saya juga mengetik Forum, Kompas, Suara Pembaruan dan sebagainya. Pensil-324 mengubahnya jadi TEMPO. Namun nama media lain tak dibuat konsisten.
Murizal Hamzah, seorang wartawan dari Banda Aceh, juga kirim SMS. Dia menemukan inakurasi dimana Metro TV disebutkan mulai operasi pada Desember 2000 --namun di alinea lain disebut Desember 2001. Saya kira ini kekeliruan dari majalah Pantau. Naskah tersebut terbit September 2001. Mana mungkin Metro TV mulai siaran pada Desember 2001?
Mungkin ketidakrapian ini bisa dicegah bila Pensil-324 mau sedikit sabar dan memberi kesempatan pada saya memeriksa naskah, merancang disain dan proof reading. Tapi ya sudahlah. Penting bahwa naskah ini menjadi buku dan bisa dibaca khalayak ramai.
Related Link
Kecepatan, Ketepatan, Perdebatan
Gus Dur Foundation Bantu BIN Lobby Washington