Richard Lloyd Parry mengatakan dia memerlukan empat tahun, bolak-balik dari Tokyo, kota kedudukannya, pergi ke Jakarta, Dili dan Pontianak, guna mengumpulkan bahan-bahan buku In the Time of Madness. Total dia ada sembilan bulan di lapangan. Dia memerlukan beberapa bulan lagi guna menulis dan buku terbit pada 2005. Ketika itu, Parry masih single, masih kuatir dianggap tidak berani, memandang nasionalisme Indonesia dengan pesimis, mengira bahwa Indonesia akan pecah macam Yugoslavia.
Sepuluh tahun berlalu, dia kembali ke Jakarta. Dia bilang dia senang melihat Jalan Gadjah Mada, kawasan Kota, yang macet lagi, yang hidup lagi. Bukan terbakar hitam, penuh ketakutan, macam Mei 1998 dimana dia menggambarkan penjarahan toko-toko milik orang Tionghoa dengan pesimisme mendalam terhadap Indonesia dalam In the Time of Madness.
Menurutnya, sepuluh tahun lalu, untuk Asia Tenggara, orang luar pesimis pada Indonesia dan optimis pada Thailand. Siapa sangka sekarang Thailand justru ribut terus? Antara pendukung Thaksin Sinawatra dan pemerintah Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. Indonesia justru mengalami "national rebirth." Parry berpendapat Indonesia justru menjadi nation-state yang lebih baik sesudah pembunuhan besar-besaran di Timor Leste, Aceh, Sambas, Jawa, Maluku maupun Poso, sesudah jatuhnya diktator Soeharto pada Mei 1998. Indonesia menjadi lebih baik tanpa Timor Leste.
Dia berpendapat pada akhir abad XX, sangat jarang ada kanibalisme, sangat jarang ada diktator jatuh, sangat jarang ada negara-bangsa baru muncul. Tiga hal tersebut ditemuinya di Indonesia. Kalimantan ada kanibalisme. Jawa ada diktator jatuh. Timor Leste jadi negara-bangsa baru. Itulah ramuan untuk In the Time of Madness.
Yayasan Pantau mengadakan diskusi kecil dengan Parry Sabtu kemarin di Cafe Batavia, kawasan Kota. Parry kebetulan datang ke Jakarta guna meliput kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama 23-26 Maret 2010. Namun Obama membatalkan kunjungan pada Kamis 18 Maret. Parry punya waktu luang dan saya minta dia bicara untuk khalayak Pantau. Kami kenalan lama sejak zaman Soeharto ketika masih sama-sama muda. Kini Parry sudah berkeluarga dan punya anak. Dia sekarang tak kuatir dibilang "coward."
Anugerah Perkasa, salah satu peserta diskusi, juga wartawan Bisnis Indonesia, mengatakan dalam Facebook, "Saya suka saat Richard bicara soal beban dia sebagai reporter kala menulis buku In the Time of Madness. Tetap menulis untuk harian" Parry adalah koresponden harian The Times (London) untuk biro Tokyo-- "tapi juga harus mencari waktu untuk bekerja sendiri demi bukunya. Waktu memang sesuatu yang mewah!"
Saya pribadi berpendapat buku In the Time of Madness adalah salah satu buku paling dahsyat menggambarkan chaos masa pasca Soeharto. Entah berapa halaman dipakai oleh Parry untuk mendeskripsikan pembunuhan di Sambas, Jawa maupun Timor Leste. Dia juga cerita adegan dimana dia ditawari makan sate daging manusia, yes, sate manusia di Sambas. Menariknya, Parry mengesankan saya sebagai English gentleman: sopan, rendah hati dan hati-hati dengan kata-katanya.
Saya pribadi berpendapat buku In the Time of Madness adalah salah satu buku paling dahsyat menggambarkan chaos masa pasca Soeharto. Entah berapa halaman dipakai oleh Parry untuk mendeskripsikan pembunuhan di Sambas, Jawa maupun Timor Leste. Dia juga cerita adegan dimana dia ditawari makan sate daging manusia, yes, sate manusia di Sambas. Menariknya, Parry mengesankan saya sebagai English gentleman: sopan, rendah hati dan hati-hati dengan kata-katanya.
Beberapa wartawan, termasuk Agus Srimudin, Anugerah Perkasa, Budi Setiyono, Fahri Salam, Imam Shofwan, Sapariah Saturi maupun aktivis Siti Maemunah dan Zeng Wei Jian, serta peserta kursus narasi Yayasan Pantau, ikut dalam diskusi buku Richard Lloyd Parry. Ada belasan peserta datang termasuk Arifuddin Patunru, Jeanny Hardono, FX Ridwan Handoyo, Ina Murwani. © 2010 Sapariah Saturi
Para peserta diskusi bergaya di tangga Cafe Batavia bersama Richard Lloyd Parry. Kami sengaja memilih kawasan Kota guna diskusi karena para peserta kursus Pantau diajak Budi Setiyono, salah satu instruktur kursus, bikin liputan di daerah Kota. Cafe Batavia juga tempat yang bisa mengingatkan orang pada zaman Hindia Belanda. © 2010 Ridwan Handoyo
In the Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos diterjemahkan ke bahasa Melayu Indonesia pada 2008 oleh Serambi dengan judul Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan. © 2010 Sapariah Saturi
4 comments:
Telat, saya baru merampungkannya td mlm. Jurnalis Indonesia kapan bisa bikin yg beginian yah...Salut Richard!
Mas, bagaimana caranya untuk ikut kursus narasi di Pantau? Terimakasih...
Dear Giras,
Paling mudah adalah menelepon Yayasan Pantau dan bicara dengan Siti Nurrofiqoh 021-7221031. Dia tahu kapan ada pembukaan kelas baru. Setiap tahun ada lima kelas. Jadi tergantung kapan Anda mau ikut. Terima kasih.
Penasaran, Mas. Buku itu mungkin bisa menjadi cerita agar kekerasan itu bisa diterima dengan lapang dada, untuk tidak mengulangi kesalahan serupa. Semoga.
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.