Nur Iskandar (batik warna kuning) menjelaskan Seruan Pontianak kepada media dalam ruang pertemuan Polda Kalimantan Barat. Di sampingnya tampak Dwi Syafriyanti, Asriyadi Alexander Mering dan Abdullah HS. Kami duduk berjejer 13 orang sehingga sulit untuk menangkap semua penyeru dalam pertemuan pers ini.
Anda mungkin sudah membacanya di suratkabar Pontianak tadi pagi tapi saya kira ada beberapa hal yang belum ditampilkan penuh oleh media hari ini.
Alexander Mering, Nur Iskandar, W. Suwito dan saya seharian kemarin ditanya Polda Kalbar soal 'Seruan Pontianak.' Kami diundang oleh direktur intel Komisaris Besar Polisi Endaryoko. Direktur serse Komisaris Besar Rafli juga ikut dalam pertemuan di ruang pertemuan intel. Belakangan Kapolda Kalimantan Barat Brigadir Jenderal Polisi Erwin Tobing juga mengundang kami berempat dan Abdullah HS bicara di ruang kerjanya. Ada sekitar selusin polisi ikut dalam pertemuan di ruang pertemuan intel polisi.
Kami datang total 13 orang, menjelaskan soal biaya pemasangan iklan, sumber dana, asal mula diskusi Facebook soal ketegangan di Pontianak dan Singkawang. Sekitar pukul 15:00 polisi bikin pertemuan pers dan menyatakan tak menemukan tindak pidana dalam Seruan Pontianak.
Rombongan yang datang terdiri Abdullah HS (ketua Nahdlatul Ulama Kab. Kubu Raya, pengasuh pondok pesantren), Agustinus (ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat), Ahmad Shiddiq (anggota Komnas HAM), Asriyadi Alexander Mering (penyair, blogger, redaktur Borneo Tribune), pengacara Dwi Syafriyanti dan W. Suwito, Indah Lie (aktivis Madanika), Kristianus Atok (penulis buku 'Membangun Relasi Antar Etnik: Pelajaran dari beberapa kampung di Kalimantan Barat' dan kandidat PhD dari Universiti Kebangsaan Malaysia), Mohammad (ketua Lakspesdam NU Kalbar), Nur Iskandar (pemimpin redaksi Borneo Tribune), Syamsuddin (ketua Yayasan Kerusuhan Sosial Sambas), Subro (direktur Mitra Sekolah Masyarakat) dan saya sendiri.
Kemarin kami juga menunjukkan kuitansi dari iklan satu halaman tsb kepada polisi dan kepada wartawan. Semua diizinkan melihat. Disana tentu tercantum harga iklan. Berapa kita bayar ketiga harian tsb.
Kami tak etis untuk menyebut berapa harga dan discount tsb karena akan mempengaruhi nilai komersial iklan. Semua wartawan yang hadir, saya perhatikan juga tak ada yang menerbitkan angka dari iklan2 tsb. Namun ia menjawab spekulasi kalau Seruan Pontianak katanya pakai dana ratusan juta rupiah.
Total kami hanya membayar Rp 11 juta (termasuk pajak) untuk iklan tsb. Kami dapat discount besar karena ia termasuk iklan sosial --bukan iklan komersial. Angkanya kecil sekali sehingga masuk akal bila iklan dibayar dengan kontribusi individu-individu, masing-masing dari Rp 50 ribu, Rp 200 ribu namun paling banyak menyumbang Rp 500 ribu. Ada juga yang memberi Rp 2 juta. Ia tak bernilai ratusan juta rupiah seperti tuduhan sementara orang. Atau dananya dialirkan dari luar negeri.
Secara terpisah dari polisi, kami kemarin juga bikin pertemuan pers. Nur Iskandar, Alexander Mering, Kristianus Atok, Abdullah HS dan sebagainya angkat bicara. Sebagian beritanya sudah bisa Anda baca di Pontianak Post, Tribune Pontianak, Borneo Tribune, Berkat dsb.
Khusus penjelasan Kristianus Atok soal bagaimana Seruan Pontianak dibuat tampaknya tak dimuat satu media pun walau Pontianak Post memasang gambarnya besar-besar. Dia cerita soal bagaimana kami terlibat dengan kerja-kerja di grassroot antar berbagai kelompok etnik sejak delapan tahun lalu. Kris membawa leaflet dan buku-buku kecil produksi Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara pimpinannya: Pendidikan Anti Kekerasan Pada Anak dan Remaja (Konteks Kalimantan Barat) atau Membangun Komitmen, Meniti Hari, Merajut Masa Depan: Bahan Bacaan untuk Pengembangan Kepribadian dan Citra Diri Remaja. Kepada wartawan, dia juga menunjukkan buku Jamie Davidson From Rebellion to Riots: Collective Violence on Indonesian Borneo. Ini buku yang akan jadi klasik untuk studi Kalimantan Barat.
Polisi appreciate dengan kehadiran kami. Mereka menghargai saya langsung terbang dari Jakarta ke Pontianak ketika diundang oleh polisi. Mereka juga senang melihat kami datang dengan macam-macam background: Melayu, Dayak, Tionghoa, Jawa, Madura dan sebagainya. Ini memang mencerminkan semangat para penyeru yang datang dari macam-macam etnik, pekerjaan maupun agama.
Dalam pertemuan pers, Agustinus mengatakan masalah ini sudah bergeser menjadi perseteruan sesama media dan sesama wartawan saja. Kalau pembicaraan antar organisasi etnik, dia bilang, sudah terjadi dan aman-aman saja. Tough tapi oke. Agustinus bikin pertemuan di Rumah Betang. Nur Iskandar juga sudah bicara dengan tokoh-tokoh etnik Melayu. Agustinus bilang ini sudah bergeser menjadi perseteruan Equator dan Borneo Tribune.
Ada 23 karyawan harian Equator, termasuk Nur Iskandar, Alexander Mering, Hairul Mikrad, Yusriadi dan Tanto Yakobus, keluar dari Equator dan mendirikan Borneo Tribune pada 2007. Dendam lama ini ikut mewarnai pemberitaan Equator terhadap Seruan Pontianak.
Saya sempat jengkel lihat cara wartawan bertanya kemarin. Asumsi-asumsi terlihat konyol dari cara mereka bertanya maupun berpikir. Saya menguliahi mereka soal jurnalisme. Agak lucu, soal bagaimana kalau bertanya harus dimulai dari kata tanya 5W1H serta satu kalimat maximal 16 kata.
Malamnya, Syamsuddin, biasa kami panggil Pak Uddin, jatuh pingsan di rumahnya. Mungkin kecapekan ditambah kondisi badan sudah berumur dan sakit-sakitan. Bayangkan selama tujuh jam, Pak Uddin menemani rekan-rekannya menjalani pemeriksaan bersama polisi di Polda Kalimantan Barat. Hari ini sudah agak mendingan. Semua anaknya berkumpul, kuatir ada apa-apa terhadap orang tua mereka.
Saya sempat bicara lewat telepon untuk menanyakan kesehatannya. Kemarin saya perhatikan Pak Uddin memang pucat dan banyak diam. Ketika makan malam di Mega Mall, dia juga tak makan banyak. Namun Pak Uddin mengatakan dia "bahagia" bisa ikut acara kemarin.
1 comment:
pemeriksaan yang dilakukan memang harus dilakukan demi mencari solusi untuk tujuan kedamaian bersama ..peace man!!!
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.