Hal yang perlu diketahui dari keinginan orang-orang yang mengharapkan mengenal pribadi seorang Soemarsono dari kehidupan keluarganya.
Pengalaman saya sebagai salah satu anak dari seorang Soemarsono yang merupakan tokoh pelaku sejarah dalam buku
Revolusi Agustus, sungguh sangat membuat saya semakin menyadari akan nilai-nilai hidup; bahwa tak seorangpun manusia dapat bahkan sanggup mengerti dan memahami manusia lain, kecuali Tuhan yang Maha Tahu, Maha Pengasih dan Adil, dimana keadaan seperti ini Tuhan mengijinkan saya sebagai anak dari seorang Soemarsono akhirnya berani untuk menyatakan bagaimana perjalanan hidup keluarga, akibat perjuangan yang Ayah saya lakukan untuk bangsa ini.
Penderitaan kami sekeluarga saat itu, sepanjang hidup, menurut ibu saya tidak pernah senang. Sejak muda bapak berjuang, tidak pernah pulang. Lebih mementingkan perjuangannya daripada keluarganya, hidup sederhana, cukup untuk makan. Begitulah pola pemikiran seorang pejuang. Sepanjang perjalanan hidup keluarga, bapak dipenjara Belanda, Jepang, dan setelah merdeka, diasingkan selama 14 tahun di Sumatera, dan terakhir oleh Pak Harto. Praktis hidup seperti itu, bisa dibayangkan, bagaimana seorang istri, ibu dari 6 anak, harus berjuang untuk tetap hidup,
survive, apalagi keadaannya terlebih sejak peristiwa G30S, beban itu sungguh amat berat. Tak terbayangkan mengingat masa lalu kami, kami bisa hidup melewati masa-masa suram dan menyedihkan. Tapi luar biasa Tuhan itu, semua hanya karena kasih kemurahan Tuhan dan sungguh anugerah.
Salut hati saya mengingat jerih payah Ibu tercinta, praktis Ibu harus berjuang mengatasi masalah di keluarganya, membesarkan anak-anak, yah sebagai istri pejuang harus menerima konsekuensinya. Itulah sedikit bagian yang terbaca dari gambaran, ingatan anak yang juga harus menanggung akibat dari anak seseorang yang ingin berjuang untuk bangsa ini. Ya kalau diceritakan, keadaan dulu amat sangat berat. Sungguh, bukan hanya tekanan materiil saja, lebih-lebih moril, sangat tertekan untuk bisa diterima hidup dalam masyarakat. Jangankan masyarakat luar yang tak mengenal kami, saudara sendiripun tak bisa menerima atau layak mengakui, kami memaklumi dan memaafkan, karena mungkin begitu menakutkan sekali keberadaan kami sampai-sampai seperti orang yang tidak layak hidup.
Sempat terbersit, inikah hasil perjuangan Bapak, yang selalu menanamkan nilai-nilai pengorbanan sebagai orang yang berjuang?
Tetapi Ibu saya adalah orang yang baik dan terhormat, dia tak pernah meminta-minta pada siapapun, bahkan pada saudara sekalipun, Ibu memberikan teladan yang luar biasa, bagaimanapun Ia selalu bersyukur, punya kekuatan oleh karena punya Tuhan yang membuat kami sanggup melewati masa-masa sulit. Dan Ibu selalu mengatakan, penderitaan dan pengorbanannya sebagai istri merupakan pilihan Ibu sendiri, dan Bapak memang dikenal seutuhnya adalah orang yang baik dan betul berjuang untuk bangsa dan tanah air Indonesia. Saya secara pribadi sangat menghormati Ibu saya, sebagai wanita pejuang dalam keluarga, dan itu terlihat pada masa dimana Ibu meninggal, Tuhan memperlihatkan, nama-Nya / Tuhan saja yang layak dimuliakan. Ibu sangat dihormati, karena nilai-nilai yang ditanamnya semasa hidupnya.
Mengenai bapak saya, saya tidak pernah mengira saya dilahirkan oleh seorang sosok ayah yang begitu gigih berjuang, kalau saya tidak membaca buku
Revolusi Agustus. Saya terharu dan merasa bersalah terlebih karena kesulitan /penderitaan masa lalu yang memberikan
image keliru dalam pandangan saya sebagai anak tentang citra seorang ayah yang lebih mementingkan perjuangannya daripada keluarga.
Tentunya banyak, anak-anak dari keluarga lain yang pasti mengalami seperti yang saya alami sekeluarga. Anak-anak yang tidak tahu politik, kesalahan orangtuanya yang mungkin juga, bisa tidak salah karena berpolitik dan berjuang. Mereka korban dari ketidakadilan, yang tidak harus ditanggung /dipikulnya, karena anak tidak bisa atau tidak tahu dilahirkan dari seorang siapa, tapi karena keadaan orangtuanya yang belum tentu juga salah, kami-kami dan banyak orang seperti kami harus menanggung penderitaan yang tidak semestinya. Itu musti dipertimbangkan, siapakah yang pernah bisa memilih, saya mau lahir dari siapapun.
Sesungguhnya karena Bapak tidak pernah bercerita macam-macam, apalagi mengeluh tentang penderitaan dan kesulitannya, bahkan yang saya kenal, Bapak adalah seorang bapak yang baik, tegas, tapi lembut dan penuh toleransi. Bukan mudah juga memahami pikiran-pikirannya yang selalu menanamkan: humanisme, rohani, moral dan mental, serta akhlak yang baik yang menurut versinya Bapak, untuk menjalani itu semua orang harus mau berkorban, melayani, semua itu itu adalah hal-hal yang sulit dipahami, dijalani dalam hidup yang masyarakatnya sudah seperti sekarang ini, bahkan disuruh berani bersikap menyatakan kebenaran. Saya sering berpikir (dulu), tidak cukupkah kami sudah menderita, sulit dengan keadaan kami yang tidak dimengerti oleh Bapak, sementara Bapak didalam sana walaupun menderita juga, tetapi kami hidup di luar secara materiil, moril, dengan kondisi masyarakat seperti ini, bisa bertahan dan bisa tetap hidup sudah sangat bersyukur. Begitupun saya sangat menghormati beliau, karena nilai-nilai yang diajarkan Ibu; bahwa Ibu sampai mau ikut begitu sangat menderita adalah karena Bapak orang baik, dan sayapun menyadari, apa yang diajarkan bapak, nilai-nilai moral hidup itu sangat baik. Namun yang selalu jadi pertanyaan dalam benak saya, orang seperti ayah saya dituduh pemberontak? Bagaimana seorang bapak seperti Bapak mengajar anak-anaknya keras, untuk tahu nilai-nilai hidup, salah satunya apa yang beliau katakan, ajaran agama itu bukan untuk dilakukan secara ritual, adat, atau yang dilihat mata; sembahyangnya, tapi harus kongkrit perbuatannya karena ibadah itu perbuatan sehari-hari, tingkah lakunya yang bisa dilihat buahnya dari perbuatan yang didasari oleh moral akhlak, budi pekerti manusianya., dan itu tidak bisa lepas dari buah-buah perbuatan yang bisa dilihat, dirasakan oleh orang lain sebagai hal yang berguna atau menjadi berkat yang dapat memuliakan Tuhan penciptanya.
Sampai sekarang, terngiang di telinga saya, apa yang ditanamkannya tentang humanisme, rohani, mental, moral, akhlak manusia kongkrit dalam perbuatannya. Begitu saya membaca Revolusi Agustus, barulah saya mengerti apa artinya politik. Kami tidak tahu politik, bahwa yang ada trauma dalam politik. Kembali sebagai seorang anak, akhirnya tidak bisa dipungkiri nurani saya, saya bangga menjadi anak Bapak yang baru saya sadari dari apa yang saya baca; bahwa ayah saya bukan maling, perampok, koruptor. Pantas Ibu saya meneladani hidup menderita untuk pengorbanannya bagi seorang suami yang baik dalam pandangan sepanjang hidup yang dikenalnya.
Kebanggaan ternyata tidaklah cukup dengan pengalaman yang turut menderita pada masa lalu. Kebanggaan harus dinyatakan dalam perbuatan yang sekarang ini juga masih tersisa trauma masa lalu yang suram untuk membuka diri saya anak Soemarsono, saking begitu berat beban akibat stigma PKI. Saya dilahirkan bukan dari batu, atau anak maling, perampok, ataupun koruptor. Sebenarnya siapa kita, semua tidak pernah bisa memilih kita mau lahir dari siapa.
Sebagai seorang anak yang ingin hidup saleh dan berbakti pada orangtua selagi masih ada dan dia juga sudah cukup sangat menderita karena keadaannya (dalam pandangan saya sebagai anak yang tahu banyak hubunga dalam keluarga), walau sesungguhnya beban rasa takut, trauma dan sebagainya itu ada, namun nurani saya tidak dapat menghindar untuk menyumbangkan kesempatan ini sebagai rasa hormat dan bakti pada orangtua, bagaimanapun, saya dilahirkan dari seorang Soemarsono, yang sungguh pribadinya saya bangga punya bapak yang begitu kuat pendiriannya tentang nilai-nilai hidup sebagai orang perjuangan yang sampai mati dia katakan, tetap pada pendiriannya; Bapak akan tetap berjuang mengangkat harkat hidup rakyat, manusia yang tertindas lewat pikirannya yang humanisme, rohani, mental moral yang baik dan benar.
Kalau sekarang keadaannya lain, walau sudah banyak perubahan tentang keterbukaan, bukan maksudnya ingin menonjol atau ditonjolkan siapa Soemarsono, sebenarnya kesempatan ini adalah karena keinginan dari pihak yang ingin mengetahui tentang peranan Soemarsono juga di dalam keluarga. Sungguh kalau bukan karena beban moral yang harus saya emban untuk bisa berbuat bakti kepada orangtua atau ada sumbangsih pikiran untuk juga kepentingan bangsa ini supaya bisa belajar dari pengalaman apa yang dialami oleh orangtua – Bapak – tidak sedikitpun keinginan untuk ada kepentingan, lebih memilih untuk tidak dipublikasikan lebih baik, tetapi kalau keberadaan saya ini ada gunanya untuk hal-hal yang baik bagi banyak orang terutama untuk tujuan kemanusiaan juga, saya emban keterbukaan ini sebagai hormat dan kemuliaan bagi Tuhan saja.
1. Pengalaman saya dan keluarga sudah jelas. Mengenai bapak saya, jika sekarang terbuka, cukup sebagai pengalaman yang tak terlupakan. Pribadi dan karakternya bisa membuat teladan kami keturunannya. Apa yang diperjuangkannya selalu dia katakan ikhlas tanpa pamrih. Perjuangannya, penderitaannya dan pengurbanannya, murni karena pandangannya lebih memikirkan bangsa yang harus merdeka seratus persen, bebas secara utuh dari penindasan/penjajahan, kezaliman, dan itu ada bukti buku yang masih saya simpan, dimana Bapak berbicara tentang pikiran dan pendiriannya, merdeka untuk rakyat, dan merdeka atau mati adalah jalan perjuangannya.
Sampai sekarang dia katakan tidak pernah terbersitpun, di pikirannya ingin disebut pahlawan, walau banyak teman-teman Bapak baik yang di Indonesia maupun di luar negeri ada yang menyebut-nyebut bahwa beliau pantas menyandang itu. Bapak tidak pernah mau, sebab Ia bilang, pahlawan itu bukan perorangan kayak begitu, semua dulu berjuang sampai titik darah penghabisan, cuma kebetulan saya yang dipercaya memimpin pertempuran, dimana banyak orang-orang, yang mati di medan pertempuran hanya bermodalkan bambu runcing, kematiannya merobek dada mereka yang punya semangat merdeka. Tidak pantas saya mau jadi pahlawan.
Saya memang berjuang murni, tanpa pamrih, berjuang untuk rakyat dan bangsa Indonesia. Jadi jangan bangga/ sok karena anak Bapak dengar kata orang, sebab itu tunjukkan kalau anak Bapak punya moral, akhlak yang baik, dan hidup berguna, mulai berguna yang kecil, dari keluarga, saudara, masyarakat kalau bisa untuk bangsa dan negara.
2. Tentunya banyak anak-anak dari keluarga lain yang mengalami seperti yang kami alami sekeluarga. Anak yang tidak tahu politik, kesalahan orangtuanya, yang mungkin juga tidak salah karena berpolitik dan berjuang. Mereka korban dari ketidakadilan yang tidak harus dipikulnya, karena anak tidak bisa atau tidak tahu dilahirkan dari seorang siapa, artinya anak tidak bisa minta dilahirkan dari seseorang yang dia mau, tetapi karena keadaan orangtuanya yang belum tentu juga salah karena berpolitik, berjuang, harus menanggung penderitaan yang tidak semestinya. Apakah keadaan seperti ini terus menerus tidak ada solusinya, dan saya rasa ini juga tidak akan membaikkan untuk bangsa ini. Seorang hukuman yang berbuat salah saja ada batasnya, apalagi korban anak-anak yang tidak tahu menahu tentang politik sehingga kesempatan inipun bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah ataupun pemimpin bangsa ini untuk mempertimbangkan atau memikirkan pemulihan nama baik bagi suatu solusi rekonsiliasi agar semua orang tak terkecuali mendapatkan haknya sebagai warga negara yang ikut berperan dapat membangun bangsa ini.
3. Kesempatan ini juga dapat memotivasi anak-anak lain yang mengalami seperti kami ini untuk mempunyai pola pikir yang tidak terpaku pada keadaan masa lalu, tidak menyalahkan orangtua, keadaan, dan pemerintah. Semua sudah terjadi dan berlalu. Bagaimana justru anak-anak ini harus menunjukkan bahwa kita adalah dari anak/ keluarga baik-baik. Tidak kecewa, dendam, dan pemaaf yang harus dinyatakan dalam sikap yang konkrit, mandiri, tegar, dan mempunyai kemampuan membangun diri kita untuk dapat berguna didalam keluarga, masyarat dan bangsa ini.
Pengalaman yang baik juga saya pikir bisa membuat generasi muda bangsa ini apa yang dialami oleh bapak bisa menjadi suatu proses pembelajaran sejarah bangsa, terutama generasi muda dalam berpolitik.
Secara pribadi saya menilai apa yang tidak mengenakkan dalam perjalanan sejarah hidup kami sebagai manusia yang menderita karena opini masyarakat pada waktu itu akibat keadaan penguasa waktu itu baik untuk kami. Mengerti arti nilai-nilai hidup yang benar, membuat kami juga bergantung sepenuhnya kepada Tuhan ( belas kasihan Allah, bukan manusia ), tidak dendam, bahkan bagaimana bisa menunjukkan sikap hidup yang baik dan benar, dan akhirnya walau waktu begitu lama, semua ada akhirnya juga, yang kita lihat apa yang dikatakan orang itu kelihatannya baik, maju, hebat, tetapi tidak selalu yang demikian begitu itu juga benar. Kita juga harus menghargai semua yang dipercayakan Tuhan memimpin bangsa ini, tetapi jangan mengorbankan kebaikan, kebenaran, kepada rakyat yang tidak bersalah, harus menanggung yang tidak seharusnya ditanggungnya. Supaya bangsa ini juga keluar dari masalah dan dosa pemimpin yang hanya memikirkan kekuasaan, kekayaan, dan jabatan bagi kepentingan diri sendiri, kelompok, ataupun golongan. Dengan demikian kemerdekaan yang dicapai dan diusahakan oleh setiap mereka yang dahulunya sudah berkorban hendaknya tidak menjadi sia-sia bagi kepentingan rakyat Indonesia.