Friday, May 22, 2009
Ruang Kerja dan Rak Buku
Pada 20 Meil 2009, kami memasang rak buku untuk menampung hampir 1000 buku-buku milik Sapariah dan aku. Senang juga bisa sortir buku. Aku membaginya secara geografis. Misalnya, Jawa, Sumatra, Celebes, Kalimantan, Sunda Kecil (termasuk Timor Leste), Asia Tenggara dan lain-lain. Ternyata koleksi buku aku paling banyak ada pada isu media dan jurnalisme. Ada sekitar 200 buku soal media dan jurnalisme.
Secara geografis, koleksi aku paling banyak pada Pulau Jawa. Ini tak mengagetkan karena kebanyakan literatur soal Indonesia, sebenar-benarnya hanya dalam scope Pulau Jawa. Aku juga baru sadar bahwa koleksi aku soal Papua ternyata lebih banyak daripada Minahasa atau Sunda Kecil. Cendekiawan Papua ternyata cukup banyak yang menulis buku.
Kalau dalam rak Sunda Kecil, pulau-pulau yang membentang dari Pulau Bali hingga Pulau Timor, maka Bali dan Timor Leste paling banyak. Buku soal Kupang, Flores, Sumba dan Rote hampir tak terdengar walau cukup banyak orang Flores dan Rote yang menulis buku. Literatur soal overseas Chinese juga cukup banyak. Sejak dulu, aku sudah duga bahwa akan banyak buku yang ditulis soal orang Tionghoa.
Aku merasa memahami Papua adalah bagian paling sulit dari proses penulisan From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Memahami Acheh perlu waktu tiga tahun pengendapan. Dulu rasanya janggal membaca Hasan di Tiro menulis "bangsa Indonesia" sebagai "nama samaran bangsa Jawa." Namun memahami Papua ternyata perlu waktu, setidaknya, pengendapan enam tahun. Papua jauh berbeda, secara sejarah, secara kebudayaan, politik, pergerakan, botani, zoologi dan sebagainya, dari Aceh maupun Jawa.
Aku punya beberapa buku koleksi langka yang aku beli di luar Indonesia atau ... pasar loak di Jakarta. Ada juga buku-buku terbitan Cornell University Press atau KITLV yang juga relatif sulit ditemukan.
Kini aku merasa punya ruang kerja. Sudah hampir 10 tahun aku bekerja hanya memanfaatkan sebuah meja dan komputer. Dokumen bertumpukan di meja, kamar tamu, kamar makan dan lain-lain. Kebanyakan buku disimpan di kotak-kotak dalam kamar tidur. Aku sering kesulitan mencari buku bila sedang menulis. Pada 2001, saking banyaknya buku dan tak punya tempat, aku sumbangkan sekitar 800 judul buku ke Perpustakaan Utan Kayu.
Sapariah berjasa dengan mendorong aku untuk lebih berhemat serta menabung untuk memesan rak buku. Ia memberikan satu sudut apartemen kecil kami untuk dijadikan ruang kerja. Norman dan Sri Maryani membantu aku menyusun buku, membuatkan label serta membeli kotak-kotak dokumen.
Perlu waktu lima hari untuk melakukan sortir. Maryani, saat hari pertama, minta aku berhenti kerja, naik dan turun kursi menyusun buku, karena dia sendiri sudah kecapekan. Sudah pukul 21:00. "Mandi dulu Pak!" teriaknya.
Kini aku bekerja memakai laptop Lenovo X61. Ia sangat ringan. Sistem pengamanannya pakai finger print. Hardisk laptop ini dilengkapi program PGP Shredder. Aku berharap ruang kerja ini akan menemani aku berkarya lebih produktif. Aku juga berharap tak perlu pindah tempat lagi.
3 comments:
Congratulation pak AH,
Senang rasanya mendengar pak Andreas mendapat spirit baru.
Tetap semangat pak.
belajar bisnis
belajar bisnis saya juga punya koleksi buku, tapi tidak sebanyak itu. masih ada keinginan untuk membuat perpustakaan pribadi
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.