Dalam sebulan terakhir ini, Yayasan Pantau mengundang tiga orang penulis untuk bicara soal pengalaman mereka dalam berkarya. Tiga pembicara ini bicara di tiga lokasi berbeda.
Daoed Joesoef, penulis buku Emak serta Dia dan Aku, bicara di rumahnya di kawasan Kemang. Satu kelas dipakai untuk menampung kedatangan rombongan kami. Sutradara Riri Riza, yang memimpin pembuatan film Gie serta Laskar Pelangi, datang ke kantor Pantau di bilangan Kebayoran Lama. Dia setir mobil sendiri, malam-malam. Samuel Mulia, kolumnis kolom Parodi di Kompas Minggu, bicara di lantai 39 gedung Wisma BII di Gondangdia, daerah mahal Jakarta.
Para peserta datang dari dua kelas berbeda. Satu kelas dari kursus Narasi setiap Selasa malam di Kebayoran Lama. Kelas satunya datang dari karyawan NGO yang ada kerja sama dengan Eka Tjipta Foundation. Saya mendapat macam-macam komentar dari para peserta kursus. Mereka rata-rata senang dengan para guest speaker.
Riri Riza cerita soal kesukaannya pada film Gie. Dia merasa mendapat kebebasan dalam mengubah buku Catatan Harian Soe Hok Gie ke layar lebar. Riset dan penulisan dua tahun. Ketika skenario selesai, Arief Budiman alias Soe Hok Djin, kakak kandung almarhum Gie, diminta membaca dulu. Arief, menurut Riri Riza, mengatakan skenario ini bukan cerminan sosok Hok Gie.
"'Tapi tidak apa-apa,' kata Pak Arief," ulang Riri.
"Pak Arief kan orang yang liberal."
Orang bikin film bisa punya sudut pandang sendiri. Ia mungkin mencerminkan pesan beda dari fakta.
Sesudah diskusi selesai, para peserta antri minta tanda tangan dari Daoed Joesoef. Sri Soelastri, isteri Daoed Joesoef, diminta suaminya ikut menemani. Diskusi diadakan dalam satu ruangan SD Kupu-kupu milik keluarga Joesoef pada 15 November. Stephanie Halim, Shanice Oen dan Elisa Yuniastuti ikut antri.
Selasa, 9 Desember, Riri Riza diserbu pertanyaan soal Laskar Pelangi. Ada saja peserta yang mempertanyakan mana fakta, mana fiksi. Riri Riza menegaskan novel maupun film Laskar Pelangi adalah fiksi. Dia bilang hanya sekali membaca novel Andrea Hirata tersebut.
Kiri-kanan: Maria Sari Estikarini, Riri Riza, Sri Dewi Susanty, Farah Sofa
.Kiri-kanan: Maria Sari Estikarini, Riri Riza, Sri Dewi Susanty, Farah Sofa
Sabtu, 13 Desember, Samuel Mulia mengundang tawa dan kesegaran dengan pembicaraannya soal gay maupun pandangannya soal kekristenan. Dia jadi "Kristen Lahir Baru" sejak operasi ginjal beberapa tahun lalu. Dia menekankan para peserta untuk menjadi diri mereka sendiri. Menulis adalah pekerjaan mencari jati diri.
Kiri-kanan: Diana Wahyuni, Maria Sari Estikarini, Siti Nurrofiqoh, Sheilla Agustin, Samuel Mulia, Sri Dewi Susanty, Juliarti Sianturi dan Enaliya Sudartama.
.Kiri-kanan: Diana Wahyuni, Maria Sari Estikarini, Siti Nurrofiqoh, Sheilla Agustin, Samuel Mulia, Sri Dewi Susanty, Juliarti Sianturi dan Enaliya Sudartama.
Saya punya kesan, dari gambar-gambar ini, seakan-akan semua peserta kursus menulis adalah perempuan. Faktanya, tentu saja, lelaki juga ada. Ini suatu kebetulan saja.
Pasangan Daoed Joesoef dan Sri Soelastri tampaknya banyak mengundang kekaguman karena kemesraan mereka. Umur sudah kepala delapan, namun mereka masih akrab, tertawa bersama. Daoed Joesoef mungkin lebih dikenal karena dia pernah jadi Menteri Pendidikan.
Samuel Mulia cerita beratnya deadline. Setiap Selasa, dia harus setor kolom ke Kompas. Mau operasi ginjal, dia harus setor naskah. Dia sekaligus setor tiga naskah untuk tiga Minggu.
Related links
Daoed Joesoef Bertutur oleh Mellyana Silalahi
Obrolan di Rumah Daoed Joesoef oleh Siti Nurrofiqoh
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.