Friday, December 12, 2008
In Memoriam Ali Alatas
Suatu malam beberapa tahun lalu, saya bertemu dengan Menteri Ali Alatas di rumah pasangan wartawan The New York Times, Jane Perlez dan Raymond Bonner, di daerah Menteng. Rumah besar. Ada gazebo untuk mobil masuk dan menurunkan penumpang, persis depan pintu ruang tamu. Saya ingat juga ada Sidney Jones dari International Crisis Group.
Ali Alatas sedang menunggu mobil. Sidney memperkenalkan saya kepada Pak Ali. Saya bilang dari majalah Pantau. Wajahnya sumringah. Dia bilang dia sangat enjoy membaca Pantau. Dia bilang dia merasa cocok dengan gaya penulisan panjang, analitis dan sebagainya. Sayang majalah itu sudah tidak terbit lagi. Saya senang mengetahui Ali Alatas ternyata berlangganan majalah Pantau. Kami jadi sering mengobrol bila bertemu di pesta atau seminar.
Agustus lalu, ketika kami lagi mengobrol di seminar Center for Strategic and International Studies, Frans Tshai, seorang dokter asal Singkawang, minta kami menoleh ke kameranya. Sama-sama tersenyum. Kami sedang bicara soal Islamisasi di beberapa tempat di Indonesia. Saya tahu Pak Ali senantiasa terbuka terhadap wartawan. Banyak wartawan minta background information dari Pak Ali.
Saya punya perasaan campur aduk bila bicara soal Ali Alatas. Pada satu sisi, saya sangat menghargai kemampuannya dalam diplomasi. Jose Ramos-Horta dari National Congress for Timorese Reconstruction pernah mengatakan pada saya, ketika Timor Leste masih diduduki Indonesia, bahwa Ali Alatas adalah lawan tangguh dalam dunia diplomasi. Ini pujian yang jujur dari sesama diplomat. Ramos-Horta juga lawan tangguh Ali Alatas. Saya juga kagum pada background Arab, sebuah kelompok minoritas di Pulau Jawa, pada diri Pak Ali. Namun saya juga sadar Pak Ali bekerja untuk sebuah negara, termasuk untuk rezim Orde Baru, yang banyak menindas bangsa-bangsa kecil dalam negara Indonesia. Dia adalah "wajah manis" dari penindasan brutal Indonesia terhadap bangsa Timor Leste. Dia terkenal dengan ungkapan Timor Leste sebagai "kerikil dalam sepatu" untuk Indonesia. Bukunya berjudul The Pebble in the Shoe: The Diplomatic Struggle for East Timor. Dia pernah mengeluh soal sulitnya membuat tentara Indonesia bekerja profesional.
Kemarin Pak Ali meninggal dunia di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura, pada usia 76 tahun. Pak Ali kena serangan jantung. Saya kehilangan sosoknya dalam seminar dan diskusi masalah internasional. Saya mengambil waktu untuk mengheningkan diri guna mengenang Pak Ali. Semoga keluarga yang ditinggalkan tetap tabah. Inna lillahi wainna ilaihi rojiun.
Related Links
Alatas, Sudwikatmono, Dita Sari - The Great River
A Book About East Timor Jabs Indonesia’s Conscience
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.