Seminar Kebebasan Pers
Semarang, Suara Merdeka
ERA kini boleh saja bernama era kebebasan pers, tapi bukan berarti ada jaminan pers bebas mengungkap apa saja. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyediakan tak kurang dari 60 pasal, yang bisa menyeret seorang wartawan ke penjara.
Boleh percaya boleh tidak, KUHP yang kita miliki sekarang mempunyai pasal ’’penjerat’’ wartawan, jauh lebih banyak ketimbang perangkat hukum dari era sebelumnya. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie—kitab hukum buatan pemerintah kolonial Hindia Belanda—cuma memiliki 35 pasal yang bisa mengekang kebebasan berpendapat.
’’Apakah itu berarti, hukum pada zaman kolonial lebih berpihak pada kebebasan pers dibandingkan sekarang?’’ kata Andreas Harsono, jurnalis dari Pantau.
Itu disampaikan Andreas, ketika berbicara dalam seminar ’’Hukum dan Kebebasan Pers’’ di Gedung C7 Unnes, kampus Sekaran, Gunungpati, baru-baru ini. Selain dia, seminar yang digelar Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes itu juga menghadirkan guru besar hukum pidana Undip Prof Dr Nyoman Serikat Putra Jaya.
Sedikitnya pasal pengekang kebebasan berpendapat itu, kata Andreas, mutu jurnalisme pada zaman kolonial relatif bagus. Pada masa Hindia Belanda, mengutip Benedict Anderson dari Cornell University, ’’Pada awal abad XX koran mulai tumbuh di hampir setiap kota yang berarti, mirip cendawan di musim hujan. Timbullah jagoan2 media massa pertama di Hindia Belanda.’’
Semakin Bertambah
Ironisnya, kata Andreas, dari zaman ke zaman jumlah pasal pengekang kebebasan berpendapat semakin bertambah.
Pada masa Orde Baru berkuasa, pasal itu naik dari 35 menjadi 42. Hukuman maksimalnya pun meningkat, dari tujuh tahun menjadi seumur hidup. Setelah Soeharto turun pada 1998, ketika Yusril Ihza Mahendra menjadi Menteri Hukum dan HAM, pasal kebebasan berpendapat direvisi.
Celakanya, jumlahnya kian bertambah, menjadi 49 pasal dengan hukuman maksimal 20 tahun. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jumlah pasal itu naik lagi menjadi 60-an.
’’Seharusnya, menurut saya, wartawan tak perlu dipidanakan. Sebab, kalau wartawan dipenjara, masyarakat yang rugi karena tidak memperoleh informasi yang berkualitas. Banyak teoritikus mengatakan, makin bermutu jurnalisme dalam suatu masyarakat, makin bermutu pula masyarakat itu,’’ tandas alumnus Harvard University itu.
Nyoman Serikat Putra Jaya punya pendapat lain. Menurut dia, hukum pidana tetap bisa diberlakukan untuk kasus-kasus pers, mengingat UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak memuat ketentuan hukum mengenai tata cara tindakan hukum bagi insan pers yang disangka melakukan perbuatan yang bernuansa hukum pidana. Hal itu, seringkali menimbulkan perdebatan bagi aparat hukum yang menanganinya.
’’Kalau tidak mau dipidanakan, ya UU No 40 Tahun 1999 harus diamandemen, dengan menerapkan aturan khusus bagi wartawan lengkap dengan sanksinya.’’ (Achiar M Permana-41)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.