Tuesday, March 25, 2008
Norman Menemui Hakim Silalahi
PAGI INI Norman menemui hakim Artha Theresia Silalahi di ruang kerjanya di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Heppy Sebayang, kuasa hukum aku, serta aku menemani Norman. Hakim Silalahi minta Sebayang maupun aku tidak bicara.
Dalam bahasa Inggris campur Melayu, Norman menyampaikan keinginannya tinggal di Senayan, bersama aku. Dia bilang jarak sekolah ke Senayan masuk akal buat ditempuhnya. Namun dia kelelahan bila setiap hari harus pergi ke tempat ibunya, Retno Wardani, di Bintaro.
Dia bilang dia punya sakit asma. Kalau bernafas sering macam seruling. Ibunya tak percaya dia asma. Treatment asma lebih baik di Senayan. Norman bilang dia lebih kurang suka dengan Retno karena sering dipaksa.
Hakim Silalahi banyak bertanya, juga dalam bahasa Inggris diselingi Melayu, serta mengingatkan Norman bahwa dia tak boleh membenci ibunya sendiri. Dia bilang Norman terlalu keras kepala.
Isteriku, Sapariah, dan Sri Maryani, pengasuh Norman, ikut menyaksikan pembicaraan ini. Beberapa hakim lain, yang tertarik mendengar Silalahi dan Norman berbincang-bincang dalam bahasa Inggris, juga ikut mendengarkan.
Norman cerita pengalaman di sekolah kemarin ketika Retno minta Norman pergi ke Bintaro. Norman merasa kuatir bertemu Retno di sekolah.
Sesudah pertemuan, Norman, Yani, Sapariah dan aku pergi ke ruang tunggu belakang. Sebayang bicara sendiri dengan hakim Silalahi. Yani bilang dia lihat Retno duduk di ruang tunggu. Mungkin sedang menunggu sidang pengadilan.
Belakangan, Sebayang menemui kami dan usul agar materi "permohonan" pengasuhan Norman, yang dibuat berdasarkan UU Perlindungan Anak, diganti dengan gugatan perdata. Usulan ini dibuat sesudah konsultasi dengan Silalahi. Aku setuju.
Siangnya, Sebayang menyampaikan dalam sidang bahwa kami mencabut "permohonan" pengasuhan Norman. Rombongan kami kembali dulu ke Senayan sambil mampir di toko buku Aksara guna membeli beberapa buku bacaan Norman serta makan siang di restoran fast food McDonald di daerah Kemang. Norman banyak menggerutu soal lamanya proses peradilan. Namun hatinya senang dengan buku-buku baru serta makan empat paha ayam!
Monday, March 24, 2008
Norman Memutuskan Tinggal di Senayan
SIANG INI aku lagi makan siang dengan pengusaha Christianto Wibisono, serta putrinya Astrid, ketika Norman tiba-tiba menelepon. Dia teriak, "Pa where are you?" Norman minta aku segera menjemputnya, "Now now now!" Nadanya panik.
Aku minta pengertian Wibisono. Kebetulan kami makan siang di NAM Center, dekat Gandhi Memorial International School. Hanya 10 menit, aku masuk ke halaman parkir sekolah Norman. Telepon Norman berdering sekitar empat atau lima kali. Dia terus tanya aku sudah sampai mana?
Ketika masuk halaman dalam sekolah, aku lari dan lihat Norman menangis dan bingung dekat meja resepsionis sekolah. Aku teriak, "Normaaaaaannnn." Norman lari menghampiri aku. Sepatunya lepas satu. Dia menangis tersedu-sedu dan merangkul aku. "Mama wants to pick me up. I told you to pick me up earlier! Norman menunjuk seorang perempuan di kejauhan. Ternyata Retno Wardani, ibu kandung Norman, ada dekat resepsionis.
Aku minta Norman tenang. Dia sudah hampir seminggu tinggal di apartemen Senayan, menolak pergi ke tempat tinggal ibunya sejak Selasa lalu.
Retno menghampiri kami. Dia bilang sedang menjemput Norman. Sudah seminggu Norman tak ke tempatnya. Dia sudah lapor ke wakil sekolah sekolah Anju Raju. Dia membawa segepok dokumen serta minta aku menemui Raju. Kami bertemu di kantor Raju. Aku minta Norman minta tissue di sekretariat.
Intinya, Retno bilang dia akan menjemput Norman dari sekolah sesuai "jatah" Retno. Dia menelepon "Pak Denny" --mungkin Denny Kailimang, kuasa hukumnya dalam gugatan di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Aku tunjukkan surat Norman kepada hakim Artha Silalahi dimana Norman memutuskan tinggal di Senayan. Anju bingung juga. Suasana ruwet. Aku katakan kasus ini masih ditangani pengadilan.
Saraswathi Suresh, guru kelas Norman, tiba-tiba memanggil aku keluar dari ruangan Anju. Suresh tanya soal undangan buat pertunjukan drama murid-murid kelas enam. Mereka hendak pertunjukan di Gedung Kesenian Jakarta. Aku bantu membuatkan undangan. Norman menghampiri Suresh dan aku. Norman bilang dia ingin pulang.
Aku tak tega lihat Norman histeris. Dia berlinang air mata. Dia kelihatan takut melihat Retno. Aku putuskan kirim SMS ke pengacara kami, Heppy Sebayang dan Fredi Simanungkalit. Aku bilang aku back up Norman. Mereka menjawab kalau itu memang keinginan Norman, tak ada pelanggaran hukum. Aku papanya Norman.
Maka kami memutuskan pulang. Sekolah juga sudah bubaran. Retno minta security sekolah mencegah aku membawa Norman. Beberapa petugas keamanan mendekati kami. Aku bilang ini perkara perdata, bukan pidana. Norman memilih ikut aku. Norman memegangi tanganku.
Para petugas itu, yang kebanyakan memang kenal aku namun kurang kenal Retno, mempersilahkan kami pergi. Maka Norman dan aku pergi dari halaman sekolah. Sri Maryani, gadis yang selama enam tahun mendampingi Norman, menjemput kami di kantin sekolah.
Norman baru tenang sesudah kami masuk mobil. Dia minta dibelikan buku serial Dragon Slayers' Academy karya Kate McMullan di Plasa Senayan. Kami segera menuju Plasa Senayan. Aku minta dia makan steak kebab kegemarannya. Lalu beli buku. Malamnya, dia tidur pulas sekali.
Saturday, March 22, 2008
Di Apartemen Andreas
Oleh Hasan Aspahani
IA melihat tiga pasang sandal rumah,
seperti sapaan ramah mempersilakan singgah.
Lalu mereka berkisah, dengan volume suara rendah,
dan mengudap kacang tanah dari Pasar Palmerah.
"Aku perlu Apartemen Mewah. Ah, tidak,"
ia lekas membantah. Kalimat itu tentu tidak pernah
ia ucapkan kepada si Abang gagah yang datang
dengan 3 ajudan dan jas mewah.
*
IA mengukur jauh jarak pandang si Tuan Rumah,
jalan tempuh ke sekolah, tebal buku tentang negeri
yang lelah menjaga remah tanah, keping wilayah.
"Sudahkah engkau baca sajak yang marah?
Penyair berambut panjang yang berteriak gagah,
mengajak menarik parang, menebas arah yang salah."
Di mana-mana orang menyimpan parang. Kenapa, ya?
Ia tahu, mereka berdua tak tahu. Tapi, juga
tak ingin berkata, "Ah, sudahlah. Sudahlah."
*
MUNGKIN nanti ia akan membaca kisah tentang
negeri yang terancam pecah, di sebuah majalah
yang memuat artikel tentang seribu masalah, sejarah
yang bertubuh penuh luka, dengan bahasa yang mudah.
"Seperti dulu, aku membaca negeri kecil
di Timur, daerah yang dijajah, di Rolling Stone, ya, itu
nama majalah, bukan kelompok rock and roll dengan
biduan yang gemar menjulurkan lidah, di mulut cawah."
*
Tapi, musik adalah politik, katanya pada
tamunya, "Kau ingatkah? Lelaki yang menyanyikan lagu
di negeri di wilayah Barat, mengobarkan semangat, para
lelaki yang menyimpan parang yang lain, agar tidak
berkarat, sebab di matanya, merah, belum kering darah."
Hasan Aspahani seorang penyair kelahiran Sei Raden, Kutai Kertanegara, Kalimantan, pada 1971, kini tinggal di Pulau Batam. Puuisinya menang di Lomba Penulisan Puisi 100 Tahun Bung Hatta dan Krakatau Award 2006.
Friday, March 21, 2008
Nonton Horton Hears a Who!
NORMAN pergi ikut misa paskah di gereja Kristus Salvator, Slipi, sore ini. Norman memenuhi janji kepada ibunya bahwa dia akan pergi ke gereja. Aku mengantar Norman. Gereja padat sekali. Kami sengaja naik Mikrolet. Gereja ini halaman parkir sangat sempit.
Petangnya, kami pergi nonton film Horton Hears a Who! di Cilandak Town Square. Norman sangat ingin lihat film ini. The New York Times memuji film ini, "Saving Who-Ville Is a Big Production." Ternyata kami tertinggal pertunjukan hingga harus menunggu hampir dua jam. Makan ice cream kegemaran Sapariah. Mencoba burger di sebuah cafe. Norman dan aku. Jalan-jalan ke toko buku Aksara.
Aku lihat judul-judul baru. Ada satu buku soal disain suratkabar. Menarik sekali. Sapariah melihat disain rumah makan dan resep masakan --Itali dan Jepang. Norman tertarik pada buku Hot Dog and Bob karangan Lissa Rovetch. Kami lama membaca dan melihat buku.
Norman minta dibelikan seri pertama Hot Dog and Bob and the Seriously Scary Attack of the Evil Alien Pizza Person. Dia serius baca buku. Aku senang lihat Norman lebih jarang nonton televisi. Dia bilang mulai bosan nonton televisi.
Filmnya bagus sekali. Ini karya klasik dari buku karangan Dr. Seuss pada 1954. Kisahnya, Horton, seekor gajah, suatu hari mendengar teriakan minta tolong dari sebutir debu! Horton mengejar debu itu. Dia menduga ada orang-orang tinggal dalam debu. Ternyata Horton benar. Dia berhasil menyelamatkan orang-orang yang tinggal dalam debu. Horton disuarakan oleh Jim Carrey. Kami puas nonton film ini. Norman banyak bicara soal pesan-pesan Dr. Seuss.
Thursday, March 20, 2008
Dana Untuk Jurnalisme
Sejak munculnya internet, perlahan tapi pasti, suratkabar mulai terdesak. Sejak 1990an, suratkabar mulai mengurangi anggaran ruang redaksi mereka. Tak ada suratkabar yang naik sirkulasinya. Kebanyakan mandeg atau malah banyak yang turun. Penghasilan mereka digerogoti oleh situs web maupun berbagai macam program macam Craig’s List, yang menawarkan iklan baris gratis. Ada ramalan suratkabar akan berakhir beberapa dasawarsa lagi.
Padahal suratkabar adalah tulang belakang dari kebanyakan liputan yang bermutu. Mulai dari Ida Tarbell, yang menulis serial The History of the Standard Oil Company untuk majalah McClure’s, hingga duet Bob Woodward-Carl Bernstein dalam skandal Watergate. Ini mendorong beberapa wartawan dan pemikir media mencari model bisnis baru untuk tetap mempertahankan jurnalisme bermutu.
Paul E. Steiger, mantan redaktur pelaksana Wall Street Journal, mendirikan majalah nirlaba ProPublica di New York. Majalah ini didanai oleh sumbangan perusahaan-perusahaan besar yang membutuhkan jurnalisme bermutu agar bisnis dan kapitalisme tetap ada yang mengontrol. Charles Lewis, mantan wartawan CBS, mendirikan sebuah organisasi nirlaba, Center for Public Integrity, khusus bikin investigasi kejahatan kerah putih. Lewis memperkenalkan istilah “non-profit journalism.”
Kapitalisme maupun demokrasi membutuhkan jurnalisme. Jurnalisme lahir bersama demokrasi. Demokrasi juga akan runtuh bersama jurnalisme. Beberapa yayasan di Amerika Serikat mendirikan dana khusus untuk membiayai jurnalisme bermutu. Intinya, mereka memberikan beasiswa kepada wartawan dengan reputasi baik, yang hendak mengambil break dan bikin liputan panjang. Bisa investigasi, bisa narasi, bisa pula buku. Ada juga yang break untuk mengajar. Ada Alicia Patterson Foundation (enam bulan hingga setahun, maksimal $35,000), ada Center for Investigative Reporting (hibah untuk biaya transportasi wartawan freelance), Fund for Investigative Reporting (hibah hingga $10,000 untuk non-media besar), The Nation Institute, The Pulitzer Center on Crisis Reporting dan sebagainya.
TUJUAN
- Meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia dengan cara memberi hibah kepada wartawan atau penulis yang hendak menulis serius;
- Membantu masyarakat di Indonesia untuk mendapatkan informasi bermutu lewat penerbitan karya-karya mereka, baik di media mereka sendiri atau lewat situs web.
KEGIATAN
Upaya ini bisa dilakukan secara mandiri, lewat organisasi sendiri, atau bisa juga ditempelkan di organisasi lain, tergantung siapa yang bersedia mendanainya. Saya usul kegiatannya nirlaba.
Kalau dari pengalaman saya meliput, serta mendapatkan hibah, saya kira ia bisa memberikan hibah antara Rp 10 juta, untuk sebuah liputan panjang dengan tenggang waktu sebulan, hingga Rp 300 juta, untuk penulisan buku, untuk setahun hingga 18 bulan. Saya pernah dapat hibah Rp 280 dari Ford Foundation untuk menulis buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism untuk 18 bulan.
Wartawan akan melamar hibah dengan mengisi formulir dan bikin proposal. Ada panitia seleksi yang bekerja independen. Kalau pelamar banyak, mungkin bisa dibuat dua tingkat. Panitia akan rapat setiap empat atau enam bulan sekali. Mungkin bisa disediakan tempat, semacam villa, yang dilengkapi ruang seminar, perpustakaan dan kamar menginap, buat para wartawan dan penulis ini menulis draft final karya-karya mereka.
STRUKTUR YAYASAN
Kalau disetujui dibentuk secara mandiri, saya usul dibikin yayasan, dengan nama Yayasan Tjamboek Berduri untuk Jurnalisme. Tjamboek Berduri adalah nama samaran dari Kwee Thiam Tjing, seorang wartawan Tionghoa di Malang, yang menulis buku Indonesia Dalam Bara dan Api pada masa revolusi 1944-1946. Ini periode yang sulit, penuh gejolak, di Pulau Jawa.
Benedict Anderson dari Universitas Cornell menyebutnya sebagai “... djagoan proza bahasa Melaju jang terheibat sesudah Pramoedya Ananta Toer." Anderson menghabiskan waktu selama hampir 30 tahun untuk mencari tahu siapa nama sebenarnya dari Tjamboek Berdoeri. Ada sebuah blog khusus mencantumkan karya Kwee: http://tjamboek28.multiply.com/
Menurut hukum Republik Indonesia, sebuah yayasan harus memiliki Dewan Pembina, Dewan Pengawas dan Dewan Pengurus. Saya usul struktur ini diikuti. Mungkin mereka yang bersedia memberikan dukungan finansial diberikan tempat di Dewan Pembina. Mereka yang memberikan wibawa di Dewan Pengawas. Sedang yang mengerjakan manajemen ada di Dewan Pengurus. Karyawan dipimpin oleh seorang direktur.
Operasinya sebaiknya kecil. Saya perkirakan kalau bisa mulai dengan dana Rp 3 milyar, pada tahun pertama, yayasan ini bisa berjalan cukup baik. Biaya operasi sekitar 25 persen dari dana yang dipakai untuk hibah. Namun sambil berjalan, kalau baik, bisa ditingkatkan lebih tinggi.
Tuesday, March 18, 2008
Mediasi Tak Menemui Sepakat
Pagi ini, mediasi memasuki pertemuan terakhir. Kedua belah pihak datang ke kantor Hakim Suharto. Dia bertanya apa ada “tawaran menarik” yang bisa diterima Pemohon? Desmayani Setianingsih, pengacara Retno Wardani, menyerahkan proposal tiga halaman. Suharto membaca dan menyimpulkan proposal itu intinya kembali kepada keputusan 2003 dimana Norman tinggal lima hari dengan Retno, dua hari dengan aku, serta semua pembiayaan ditanggung aku (pendidikan, kesehatan, pemeliharaan).
Fredi Simanungkalit, pengacara dari pihak aku selaku Pemohon, mengatakan posisi kami adalah pengasuhan diubah. Simanungkalit sudah menyerahkan proposal kami seminggu sebelumnya. Simanungkalit menekankan Norman sendiri memilih tinggal dengan papanya.
Suharto menyimpulkan mediasi tak bisa membuat kedua belah pihak akur. Kasus ini dikembalikan ke Hakim Artha Theresia Silalahi.
Kami pindah meja dan menunggu sejenak. Panitra Dimyati mengatur posisi duduk. Hakim Silalahi menerima kami di mejanya. Dia usul agar kasus ini dijadikan gugatan perdata. Namun dia menekankan kalau tetap mau permohonan, pengadilan juga tak bisa menolak.
Silalahi berpendapat disini ada sengketa. “Ada perbedaan pendapat kan?” tanyanya. Heppy Sebayang, pengacara pihak aku, mengatakan "permohonan" sesuai dengan UU Perlindungan Anak. Silalahi mempersilahkan kami berpikir dulu. Sidang akan dilanjutkan Selasa depan.
Ketika pulang dari pengadilan, aku lagi bekerja di apartemen ketika Norman menelepon aku dan bilang ada titipan dari Ms. Saraswathi Suresh, guru kelasnya. Suresh minta tolong aku mengerjakan undangan buat pertunjukan kelas enam Gandhi Memorial International School di Gedung Kesenian Jakarta. Aku bilang titip saja pada sopir Ardian Huzaeni. Norman langsung saja ke Bintaro.
Norman tidak mau. Dia bilang mau ke apartemen. Dia mau ikut mengerjakan pencetakan materi undangan. Aku kira Norman lagi sebel dengan Retno. Aku membaca buku buat persiapan bikin silabus baru di Yayasan Pantau.
Sesampainya di apartemen, Norman ternyata langsung tidur. Dia pasti kecapekan. Padahal Ardian masih menunggu di halaman parkir buat mengantar Norman ke Bintaro. Aduh, bakal ramai pula nih! Aku tahu setiap kali Norman pergi ke apartemen, Retno selalu menjadikannya masalah besar. Aku segera kirim SMS ke pengacara Simanungkalit maupun Sebayang serta Desmayani.
Dugaan aku benar. Sekitar pukul 17:00, Retno Wardani menelepon dan tanya kenapa Norman tidak diantar ke Bintaro? Aku bilang ada pekerjaan sekolah. Retno mengumpat dan minta bicara dengan Norman, “Jangan seenaknya sendiri ya.” Sri Maryani, pengasuh Norman, mendengar umpatan itu. Aku bilang Norman masih tidur. Aku minta Retno bicara dengan Desmayani atau Simanungkalit.
Norman baru bangun pukul 18:00. Kami segera menuju toko percetakan Subur di Jl. Wolter Monginsidi. Ternyata Subur tak bisa membuka USB bawaan Norman. Kami pindah ke Snapy. Disini bisa dicetak dengan program Word Publisher. Norman senang melihat hasilnya. Ada gambar Robin Hood serta undangan ukuran folio.
Ada beberapa bahan kerajinan tangan yang juga masih harus dibeli. Kami pergi ke Senayan City dan beli kartun, isolasi dan sebagainya. Kami sempat bertemu Ria Latifah, seorang pengacara anak, yang kebetulan tetangga kami. Dia tanya bagaimana perkembangan Norman? Kami bicara sebentar. Kami tiba di apartemen pukul 21:30. Terlalu larut bagi Norman untuk pergi ke Bintaro. Dia tinggal disini.
Monday, March 17, 2008
Sidang Mediasi Ditunda, Retno Bredel Rahasia
Jakarta-Semarang-Salatiga, Senin 10 Maret 2008
Sri Maryani, pengasuh Norman, mulai bekerja di apartemen kami di Senayan. Yani keluar dari tempat Retno Wardani seminggu lalu. Dia tak tahan lagi menghadapi Retno.
Ketika tahu Yani keluar, Norman langsung minta aku agar mempekerjakan Yani di apartemen. Yani bersedia kerja di apartemen. Dia memilih tidur di rumah kakaknya, di dekat Mal Pondok Indah. Setiap pagi, dia akan aku jemput dan ikut mengantar Norman ke sekolah. Sorenya, aku antar dia pulang.
Seminggu kemarin, Yani pulang ke kampungnya di desa Pampung, Tawangmangu. Dia butuh break sesudah keluar dari tempat Retno.
Subuh ini, aku pergi ke Semarang untuk ceramah di Universitas Negeri Semarang. Ardian Huzaeni, sopir freelance di apartemen, sebagaimana biasa, mengambil alih pekerjaan rutin aku antar-jemput Norman sekolah. Ardian biasa menggantikan aku bila berhalangan menjemput Norman.
Salatiga, Selasa 11 Maret 2008
Fredi Simanungkalit, kuasa hukum aku, memberitahu aku via telepon bahwa sidang mediasi hari ini tak jadi berlangsung. Hakim Suharto, yang jadi mediator, berhalangan kerja. Mediasi akan dilanjutkan hari Kamis. Aku mendengar kabar ini di Salatiga dimana aku sedang melatih sekelompok mahasiswa menulis.
Tjondro Prasodjo, seorang pengusaha Salatiga, cerita bahwa dia sudah menelepon Retno di Jakarta. Prasodjo menyatakan prihatin bahwa masalah pengasuhan Norman berbuntut dengan gugatan di pengadilan. Prasodjo dulu salah satu dari saksi pernikahan Retno dan aku di Salatiga, Januari 1995. Saksi satunya adalah George J. Aditjondro. Aku bilang aku sudah berjanji pada Retno untuk tak menceritakan alasan aku menceraikannya pada Desember 2003. Aku hanya tekankan Retno adalah orang berkepribadian ganda. Mungkin bahkan berlapis-lapis.
Salatiga, Rabu 12 Maret 2008
Pagi hari, aku manfaatkan waktu dua jam sebelum mengajar untuk menyunting naskah buat mediasi Kamis. Fredi Simanungkalit sebelumnya sudah siap dengan suratnya. Namun penundaan dua hari mendorong aku bantu menyunting isi proposal. Aku segera kirim via email ke Simanungkalit.
Heppy Sebayang lagi ke Medan, menunggui prosesi pemakaman ibunya. Rehngenana br Tarigan meninggal pada usia 73 tahun. Sebayang anak keenam dari sembilan bersaudara. Beliau dimakamkan di desa mereka, Gunung Tigabinanga, sekitar 120 KM dari Brastagi. Menurut Sebayang, Rehngenana artinya “semakin cantik.” May she rests in peace!
Salatiga-Semarang-Jakarta, Kamis 13 Maret 2008
Fredi Simanungkalit memberitahu via telepon bahwa hakim Suharto sudah menerima “konsep” penyelesaian masalah pengasuhan Norman. Namun pihak Retno mengatakan belum selesai dengan konsep mereka. Mediasi dilanjutkan Selasa depan.
Aku tiba dari Semarang malam hari. Norman, yang lagi giliran tinggal di apartemen, langsung menerkam dan merangkulku ketika masuk pintu. Sapariah dan Sri Maryani menemani Norman menunggu aku tiba dari airport Cengkareng. Seharusnya, aku langsung menemui Adnan Buyung Nasution, seorang pengacara hak asasi manusia, di Hotel Mahakam. Namun aku terjebak macet di Slipi. Jakarta hujan deras. Pertemuan dibatalkan.
Jakarta, Jumat 14 Maret 2008
Bertemu Adnan Buyung Nasution di Hotel Mahakam. Dia minta masukan soal draft undang-undang memperoleh informasi. Nasution adalah pendiri Adnan Buyung Nasution & Partners, sebuah law firm di Jakarta. Dia juga anggota sebuah dewan penasehat presiden bersama Ali Alatas, Emil Salim dan lain-lain. Namun aku bilang sebelumnya bahwa aku mau bertemu Nasution sebagai individu, bukan sebagai seorang penasehat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pekerjaan sebagai wartawan membuat aku tak bisa memberikan masukan kepada pemerintah.
Norman rencananya mau ikutan. Dia tertarik untuk bertemu Nasution, yang gambar dan ceritanya pernah dia dengar. Namun sebuah serial kartun di Disney Channel lebih menarik perhatiannya.
Jakarta, Sabtu 15 Maret 2008
Retno Wardani mulai bersikap kaku lagi. Dia mengirim SMS, “ANTAR PULANG SESUAI WAKTU, OBAT MATA DAN PAKAIAN DALAM NORMAN DI BAWAKAN (11:41).” Sorenya, ketika kami dalam perjalanan mengantar Norman dari Senayan ke Bintaro, Retno menelepon, tanpa basa-basi, berteriak, “Mana Norman? Mana Norman?”
Aku jawab Norman di samping aku. Nadanya kasar sekali. Aku tak mau Norman menghadapi abuse Retno. Aku bilang Norman ada di sisi aku. Telepon aku matikan. Norman, Yani dan Sapariah bisa mendengar langsung teriakan Retno lewat telepon. Dia menelepon hingga empat kali. Aku berikan ke Norman pada nada keempat. Suaranya tiba-tiba penuh rayuan. Dia bilang tak bisa menyelesaikan puzzle tanpa Norman. Norman bilang dia ada di perempatan Jl. Camar –sekitar 150 meter dari tempat Retno. “I love you, sayang!” kata Retno. Aku geli mendengar perubahan mendadak nada bicara Retno. Dari sangat kasar, mengerikan, tiba-tiba jadi penuh rayuan.
Jakarta, Minggu 16 Maret 2008
Pagi, siang dan malam, bila ada kesempatan bicara bebas, Norman minta aku meneleponnya. Dia cerita apa saja kegiatannya di Bintaro. Pagi diajak ke gereja. Siang, Norman tidur siang. Malam, Retno pergi keluar rumah, dan Norman bicara panjang lebar. Dia bilang Retno memaksanya memakai gelang karet warna hitam pemberian Retno. Dia bilang tidak suka gelang itu. Retno bilang Norman harus menghargai pemberian ibunya. Gelang itu dilepas dan ditaruh Norman di mobil aku.
Norman bilang Retno mengatakan mulai sekarang tidak boleh ada rahasia antara Norman dan ibunya. Ibu dan anak harus terbuka. Tanpa ada rahasia apapun! Norman bilang kalau Retno menemui Norman merahasiakan sesuatu darinya, maka Norman akan dilarang untuk setiap kali menerima telepon dari aku, seperti biasanya, di luar rumah.
Aku risau sekali mendengar cerita Norman. Dia menangis di telepon. Aku bicara sebentar dengan Sri Pramesthi, kakak kandung Retno, yang lagi menjaga Norman di Bintaro, untuk menghibur Norman. Aku minta tolong Sapariah, lagi tugas di kantor, serta Sri Maryani, lagi di rumah kakaknya, untuk menghibur Norman lewat telepon. Sapariah minta Norman kuat. Aku kirim SMS ke beberapa kenalan.
Aku risau dengan proses keadilan yang begitu lama di Majapahit ini. Sejak Agustus lalu, aku mengadukan soal Norman ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Proses ini berjalan hingga Desember dan mereka tak berbuat banyak guna melindungi Norman. Aku juga kecewa dengan cara kerja KPAI. Mereka tak membuat notulensi. Mereka bekerja lamban. Mereka mengganti Maya Nur Elisa, orang yang menangani pengaduan ini, tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Maya tahu dia diganti justru dari aku. Sejak Januari, aku gugat Retno ke pengadilan dan ini sudah bulan Maret.
Aku bilang bahwa setiap orang punya hak untuk menjaga rahasia. Aku bilang perbuatan yang tidak aku anjurkan adalah berbohong. Tapi siapa bisa melarang kita menjaga rahasia? Retno tak boleh bersikap ibarat seorang interogator terhadap anaknya sendiri. Apalagi mengancam dilarang keluar rumah buat terima telepon.
Jakarta, Senin 17 Maret 2008
Aku bangun subuh. Cek internet dan baca perkembangan Barack Obama dan Hillary Clinton. Lalu berangkat jemput Sri Maryani lantas Norman. Norman mengoceh di mobil, sepanjang perjalanan ke sekolah. Dia cerita perdebatannya dengan Retno. Kami sarapan bakmi ayam di sekolah. Sapariah menyediakan buah rambutan kesukaan Norman namun Norman menolak makan rambutan. Perutnya lagi kurang enak.
Saturday, March 15, 2008
Kembali ke Salatiga
Para peserta bergaya di Kampoeng Percik. Berdiri kiri ke kanan: Aqirana Adjani Tarupay, Bagus Ferry Permana, Satria Anandita Nonoputra, Yosia Nugrahaningsih serta Geritz Febrianto Rindang Bataragoa (kaos putih, duduk). Bawah kiri ke kanan: Septhyan Widyanto, Muhammad Yogi Nasution, Parlindungan Joy Sagala, Bambang Triyono dan Indra Adhi Kurniawan.
Selama seminggu aku berada di Salatiga, melatih sebuah kelompok kecil mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana belajar menulis. Pelatihan diadakan setiap hari dua sesi, Senin hingga Kamis, di sebuah pendopo kecil milik organisasi Percik di daerah Turusan.
Para peserta berasal dari majalah kampus Scientiarum serta majalah Imbas dari jurusan elektro. Aku sendiri alumnus Universitas Kristen Satya Wacana. Aku bergabung dengan Imbas antara 1985 dan 1990.
Aku minta kepada Bagus Ferry Permana, yang menghubungi aku, agar pelatihan tidak diadakan dalam kampus serta tak memakai logo Universitas Kristen Satya Wacana. Aku tak mau terlibat dengan lembaga kampus ini selama mereka belum mengupayakan penulisan sejarah terhadap pemecatan Arief Budiman serta kawan-kawannya sejak Oktober 1994. Budiman seorang Ph.D dari Universitas Harvard. Dia juga salah satu cendekiawan terkemuka di Jawa, yang memperkenalkan "teori ketergantungan," pada 1980an. Dia juga dikenal karena menulis buku Pembagian Kerja Secara Seksual. Dia dosen di Satya Wacana sejak awal 1981.
Sesudah dipecat 1994, Arief Budiman menggugat, dan menang, terhadap manajemen Satya Wacana, dari pengadilan tingkat lokal hingga Mahkamah Agung. Namun Satya Wacana tak mau menerima keputusan pengadilan. Satya Wacana tak mau minta maaf. Dampaknya, banyak alumni tak mau menginjakkan kaki di kampus. Sejak 1997, Budiman bekerja sebagai profesor di Universitas Melbourne. Aku berprinsip bersedia berhubungan dengan mahasiswa Satya Wacana. Namun tidak buat manajemen kampus.
Singkatnya, Ferry mengupayakan pelatihan diadakan di Kampoeng Percik. Ini sebuah organisasi swadaya masyarakat, yang didirikan oleh mantan dosen-dosen Satya Wacana, yang tidak setuju dengan sikap anti-demokrasi dari manajemen Satya Wacana. Mereka percaya kebijakan manajemen menggerus idealisme kampus. Orang-orang ini termasuk Pradjarta Dirdjosanjoto, I Made Samiana, Nico L. Kana, Setyo Handoyo, Budi Lazarusli, Nick Tunggul Wiratmoko, Halomoan Pulungan dan sebagainya.
Aku senang mendapatkan suasana tempoe doeloe di kampoeng Percik. Aku sempat mengobrol dengan I Made Samiana. Dia cerita bagaimana orang-orang lama, termasuk Arief Budiman maupun mantan rektor Sutarno dan Willi Toisuta, sering datang ke Percik. Organisasi ini bergerak di bidang advokasi dan penelitian sosial. Seorang sais dokar bilang Percik sering membantu masalah perburuhan.
Di Salatiga, aku juga menemui rekan-rekan Persatuan Sais Dokar. Mengobrol lama dengan sekretaris PSD Sukardi --"Mas Sukar" panggilannya. Pada 1990, aku membantu 30an sais dokar mendirikan PSD. Aku menginap di rumah Tjondro Prasodjo, suami seorang pengusaha Salatiga. Prasodjo punya concern pada masalah perkotaan. Tak lupa, aku pergi mencicipi makanan-makanan khas Salatiga. Wedang ronde Yu Pari, roti toko Tegal, soto Kesambi dan lain-lain. Aku juga pergi ke panti sosial Bina Kasih di Tegalrejo.
Empat hari berjalan cepat. Ada peserta warga negara Timor Leste dari Dili bernama Maria de Jesus Nunes. Seorang pamannya dulu adik angkatan aku di jurusan elektro. Kini dia direktur perusahaan telekomunikasi di Timor Leste. Peserta lain, Satria Anandita Nonoputra, ternyata anak sulung dari seorang teman kuliahku pada 1980an. Kembali ke Salatiga membangkitkan banyak kenangan namun juga bikin aku sadar usia makin tinggi.
Links
Kurcaci Jangan Investigasi oleh Geritz Febrianto
Pelatihan Jurnalisme Tak Berspanduk oleh Satria A. Nonoputra
Hari Terakhir Pelatihan Jurnalistik weblog Geritz F. Bataragoa
Meningkatkan Mutu Jurnalisme oleh Satria Anandita
Ralat
Ada salah ketik nama Yosia Nugrahaningsih, mulanya kurang huruf "in" pada nama keduanya. Ralat pada 15 Maret 2008 petang sesudah ada comment dari Satria.
Wednesday, March 12, 2008
Perlukah Wartawan Dipidanakan?
Seminar Kebebasan Pers
Semarang, Suara Merdeka
ERA kini boleh saja bernama era kebebasan pers, tapi bukan berarti ada jaminan pers bebas mengungkap apa saja. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyediakan tak kurang dari 60 pasal, yang bisa menyeret seorang wartawan ke penjara.
Boleh percaya boleh tidak, KUHP yang kita miliki sekarang mempunyai pasal ’’penjerat’’ wartawan, jauh lebih banyak ketimbang perangkat hukum dari era sebelumnya. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie—kitab hukum buatan pemerintah kolonial Hindia Belanda—cuma memiliki 35 pasal yang bisa mengekang kebebasan berpendapat.
’’Apakah itu berarti, hukum pada zaman kolonial lebih berpihak pada kebebasan pers dibandingkan sekarang?’’ kata Andreas Harsono, jurnalis dari Pantau.
Itu disampaikan Andreas, ketika berbicara dalam seminar ’’Hukum dan Kebebasan Pers’’ di Gedung C7 Unnes, kampus Sekaran, Gunungpati, baru-baru ini. Selain dia, seminar yang digelar Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes itu juga menghadirkan guru besar hukum pidana Undip Prof Dr Nyoman Serikat Putra Jaya.
Sedikitnya pasal pengekang kebebasan berpendapat itu, kata Andreas, mutu jurnalisme pada zaman kolonial relatif bagus. Pada masa Hindia Belanda, mengutip Benedict Anderson dari Cornell University, ’’Pada awal abad XX koran mulai tumbuh di hampir setiap kota yang berarti, mirip cendawan di musim hujan. Timbullah jagoan2 media massa pertama di Hindia Belanda.’’
Semakin Bertambah
Ironisnya, kata Andreas, dari zaman ke zaman jumlah pasal pengekang kebebasan berpendapat semakin bertambah.
Pada masa Orde Baru berkuasa, pasal itu naik dari 35 menjadi 42. Hukuman maksimalnya pun meningkat, dari tujuh tahun menjadi seumur hidup. Setelah Soeharto turun pada 1998, ketika Yusril Ihza Mahendra menjadi Menteri Hukum dan HAM, pasal kebebasan berpendapat direvisi.
Celakanya, jumlahnya kian bertambah, menjadi 49 pasal dengan hukuman maksimal 20 tahun. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jumlah pasal itu naik lagi menjadi 60-an.
’’Seharusnya, menurut saya, wartawan tak perlu dipidanakan. Sebab, kalau wartawan dipenjara, masyarakat yang rugi karena tidak memperoleh informasi yang berkualitas. Banyak teoritikus mengatakan, makin bermutu jurnalisme dalam suatu masyarakat, makin bermutu pula masyarakat itu,’’ tandas alumnus Harvard University itu.
Nyoman Serikat Putra Jaya punya pendapat lain. Menurut dia, hukum pidana tetap bisa diberlakukan untuk kasus-kasus pers, mengingat UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak memuat ketentuan hukum mengenai tata cara tindakan hukum bagi insan pers yang disangka melakukan perbuatan yang bernuansa hukum pidana. Hal itu, seringkali menimbulkan perdebatan bagi aparat hukum yang menanganinya.
’’Kalau tidak mau dipidanakan, ya UU No 40 Tahun 1999 harus diamandemen, dengan menerapkan aturan khusus bagi wartawan lengkap dengan sanksinya.’’ (Achiar M Permana-41)
Tuesday, March 11, 2008
Proposal Mediasi Soal Norman Harsono
Jakarta, 11 Maret 2008
Kepada Yth.
Hakim Mediasi
Dalam Perkara Perdata
No.382/Pdt/P/2007/PN.Jak.Sel
Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Jalan Ampera Raya No. 133
Jakarta Selatan
Perihal: Tanggapan Pemohon
Dengan hormat,
Merujuk kepada mediasi pada tanggal 05 Maret 2008, maka bersama ini kami sampaikan tanggapan sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon, mohon kepada Hakim Mediasi untuk memberikan hak pengasuhan atas anaknya, Norman Harsono, kepada Pemohon. Dasarnya, Norman sendiri ingin pengasuhan penuh ada pada Pemohon. Norman berhak mengunjungi Termohon kapan pun Norman mau. Pemohon tidak ingin konsep joint custody diteruskan, seperti pada perjanjian Desember 2003, karena Termohon sering melanggar kesepakatan itu dan kaku dalam penerapannya;
2. Bahwa berdasarkan keinginan tersebut, Pemohon mohon bila Norman ingin berkunjung ke rumah Termohon, Norman ingin Pemohon yang mengantar Norman ke rumah Termohon dan sebaliknya, Norman juga ingin Pemohon, yang menjemput Norman dari tempat Termohon. "You can be trusted," kata Norman;
3. Bahwa hal ini timbul karena kekakuan Termohon dalam menerapkan perjanjian 2003 tersebut, sehingga joint custody itu justru membuat anak tidak mendapatkan kenyamanan, keamanan, kesenangan, serta terjaga kesehatan dan kebahagiaannya. Termohon menghitung begitu ketat dalam hal pergantian waktu dan tempat bagi Norman, sehingga karena terlambat satu atau dua jam, Termohon bisa menggunakan kata-kata kasar dan pernah menggunakan jasa polisi untuk membawa Norman kembali ke tempat Termohon ketika Norman ingin memperpanjang semalam. Jika Norman terlambat datang ke tempat Termohon, Norman dan Pemohon dianggap melanggar perjanjian dan tidak disiplin. Artinya Termohon telah sangat salah dalam mengartikan “disiplin” untuk anak yang berakibat tidak baik agi perkembangan jiwa dan atau tumbuh kembang Norman ke depannya dan oleh karenanya Pemohon mohon kepada Hakim Mediasi dapat mengesampingkan perjanjian tersebut;
4. Bahwa perihal pemikiran Hakim Mediasi, yang pada pokoknya menyatakan agar memberikan kebebasan kepada Norman untuk memilih lebih lama tinggal dimana, Pemohon sepakat dengan pendapat Hakim tersebut akan tetapi Pemohon mohon agar hak pengasuhan sepenuhnya dapat diberikan kepada Pemohon. Pertimbangannya, sejak perjanjian 2003, Norman tinggal menelepon Pemohon guna memberitahu bila Norman ingin tinggal di tempat Termohon lebih lama. Pemohon selalu terbuka terhadap permintaan Norman dan tidak pernah tidak menyetujui permintaan Norman;
5. Bahwa perihal pernyataan–pernyataan Termohon yang disampaikan kepada Hakim Mediasi pada proses Mediasi tertanggal 05 Maret 2008, Pemohon mohon kepada Hakim Mediasi untuk dapat mengesampingkannya karena hal itu telah dipertimbangkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.488/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel. Namun Pemohon merasa perlu menyampaikan sekali lagi demi pertimbangan Hakim Mediasi hal–hal sebagai berikut:
➢ Perihal kekakuan Termohon memberlakukan pergantian jam pindah. Pada hari Sabtu, 27 Oktober 2007, Norman beberapa kali mengatakan kepada Termohon via telepon bahwa Norman ingin tinggal bersama Pemohon semalam lebih lama. Norman bilang, sesuai janji pertukaran waktu tinggal selama liburan, Norman bisa tinggal di apartemen Senayan, bersama Pemohon, hingga Minggu siang. Liburan Lebaran kemarin, Norman tinggal bersama Termohon terus-menerus. Termohon bersikeras Norman pergi ke tempatnya di Bintaro. Norman tetap mengatakan tidak mau. Ada beberapa rekan kerja Pemohon menyaksikan bagaimana Norman akhirnya menolak menerima telepon Termohon mengingat perintah dilakukan termohon terus-menerus.
Malamnya, ketika Norman pergi makan malam bersama Pemohon, Termohon datang ke Senayan, dan ditemui oleh Sapariah Saturi, isteri Pemohon, serta ibunya, yang kebetulan sedang berkunjung dari Pontianak. Sapariah mempersilahkan Termohon duduk. Termohon lantas menelepon Pemohon dan minta Norman dibawa ke Senayan. Suaranya kasar sekali. Ketika Norman mendengar permintaan itu, Norman mengatakan, “Papa, she gets on my nerves.” Norman menangis dan tetap menolak menemui Termohon. Termohon menelepon Pemohon, “Kalau kamu nggak bawa Norman ke sini, aku panggil polisi. Ini keputusan pengadilan. Kamu jangan serakah. Kamu pakai otakmu!”
Sapariah menyaksikan Termohon meninggalkan apartemen dan kembali bersama seorang polisi. Di depan polisi, Termohon menelepon Pemohon dan minta Pemohon membawa Norman ke Senayan “sekarang juga.” Di gedung Sarinah, ketika mendengar Termohon membawa polisi, Norman menangis dan lari ke lantai bawah, guna menghindar dari kemungkinan Pemohon memberikan telepon kepadanya. Jelas Norman merasa tertekan. Sesudah dibujuk, akhirnya Norman mengatakan sendiri kepada si polisi, via telepon, dia tak mau menemui Termohon.
Polisi mengatakan pada Sapariah bahwa dia menemani Termohon sebagai tindakan “pengamanan” saja. Pemohon menelepon Susilahati dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia soal didatangkannya polisi oleh Termohon. Susilahati memberi nomor telepon Ajun Komisaris Besar Ahmad Rivai, Kepala Satuan Remaja, Anak dan Wanita Kepolisian Jakarta. Singkatnya, Susilahati dan Rivai mengatakan polisi tak berhak membantu penjemputan anak dalam sengketa begini.
Bahwa Termohon membawa polisi dengan alasan “demi keamanan” Termohon bukan alasan yang tepat. Pemohon tidak ada di apartemen. Buat siapakah “keamanan” itu disediakan? Buat Sapariah? Tidak ada alasan Termohon takut Pemohon melakukan kekerasan. Pemohon justru menemani Norman menghindar dari Termohon. Dibawanya polisi justru menciptakan ketakutan terhadap diri Norman. Pemohon melihat sendiri bagaimana Norman menangis, lari dan merasa takut.
➢ Perihal alasan Termohon bahwa Pemohon pernah memukulnya di Cambridge, Amerika Serikat, Pemohon mohon Hakim Mediasi mempelajari berkas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.488/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel serta membaca kliping harian Harvard Crimson, 12 Januari 2000, berjudul “Dunster Evicts Tutor.” Dunster adalah sebuah gedung asrama di Universitas Harvard dimana Pemohon bertugas sebagai seorang tutor ketika belajar jurnalisme di Harvard.
Saat kejadian, Pemohon sendiri yang menelepon polisi dan minta ditangkap. Pemohon ditahan semalam dan mengakui kesalahannya melakukan kekerasan rumah tangga. Pemohon dihukum hukuman percobaan enam bulan oleh pengadilan Cambridge. Bill Kovach, kurator Nieman Foundation dari Universitas Harvard, yang mengampu Pemohon, mengatakan kepada Harvard Crimson, “If you had to pick out one type of person, you'd never think Andreas. We feel pretty confident that this was an isolated incident." Pemohon bukan tipe orang yang suka melakukan kekerasan. Kovach juga bukan orang sembarangan. Kovach pernah jadi kepala biro harian The New York Times di Washington DC. Kovach dikenal sebagai orang yang punya integritas utuh. Goenawan Mohamad dari majalah Tempo mengatakan Kovach “susah dicari kesalahannya.” Kovach sering disebut sebagai "hati nurani" jurnalisme di Amerika Serikat. Dia juga orang yang tak segan mengeluarkan Pemohon dari Harvard bila Pemohon dinilainya cenderung mengulangi kesalahan itu. Kovach dan Pengadilan Cambridge menganggap masalah itu sudah selesai dengan Pemohon dihukum enam bulan percobaan.
Perihal penjualan rumah Pondok Indah dimana Termohon bilang hasilnya sudah dibagi persis 50:50 berdasarkan "harga NGOP." Ini juga akrobat fakta yang dilakukan oleh Termohon. Dalam perjanjian penyerahan rumah, dengan akte notaris, tersurat dinyatakan bahwa Pemohon telah menjual rumah tersebut dengan “harga di bawah pasar." Dahulu Termohon mengatakan bahwa Pemohon adalah lelaki yang baik sekali karena menyerahkan rumah kepada Termohon. Kini Termohon mengatakan rumah itu dibagi 50:50;
Berdasarkan hal tersebut, maka Pemohon menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon tetap pada gugatannya;
2. Bahwa Pemohon menyatakan agar Hak Pengasuhan sepenuhnya diberikan kepada Pemohon dengan tidak mengurangi kekebasan Norman untuk menentukan setiap saat dimana Norman lebih lama untuk tinggal sehari-harinya;
3. Bahwa Pemohon tidak yakin Termohon dapat menjalankan joint custody tersebut dengan sebenar-benarnya karena Termohon sangat kaku dalam melakukan penerapannya;
Demikian pendapat ini kami sampaikan, atas perhatian dan perkenannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Kuasa Hukum Pemohon tsb.
Heppy Sebayang, SH. Fredi K. Simanungkalit, SH.
Heppy Sebayang, SH. Fredi K. Simanungkalit, SH.
Monday, March 10, 2008
Apakah Wartawan Perlu Dipidanakan?
Oleh Andreas Harsono
Naskah untuk ceramah “Hukum dan Kebebasan Pers” di Universitas Negeri Semarang, 10 Maret 2008, dengan panelis Nyoman Sarekat Putra Jaya, guru besar hukum Universitas Diponegoro, diadakan dalam acara “Pekan Jurnalistik Nasional 2008.”
Naskah untuk ceramah “Hukum dan Kebebasan Pers” di Universitas Negeri Semarang, 10 Maret 2008, dengan panelis Nyoman Sarekat Putra Jaya, guru besar hukum Universitas Diponegoro, diadakan dalam acara “Pekan Jurnalistik Nasional 2008.”
BEBERAPA waktu lalu, Bonnie Triyana, seorang sejarahwan-cum-wartawan, alumnus Universitas Diponegoro kelahiran Banten, mengirim email kepada saya. Isinya singkat. “Mas, aku ingin tanya, apakah penulisan opini itu jadi tanggung jawab penulisnya atau pemimpin redaksi?”
Triyana sedang memberi kesaksian dalam sidang pengadilan Depok terhadap Bersihar Lubis, satu wartawan yang didakwa melakukan “pencemaran nama baik” Kejaksaan Agung di halaman Koran Tempo. Lubis menggunakan kata “jaksa dungu.” Alasannya, membakar buku-buku pelajaran sejarah.
Jawaban saya agak panjang. Saya kira tanggung jawab suatu naskah secara intelektual berada pada orang yang punya byline –nama pengarang dalam naskah. Bila seseorang menulis sesuatu, maka dia mendapat pujian (bila bagus) atau cercaan (bila jelek). Bagus atau jeleknya naskah jatuh ke si pemegang byline. Sisi lainnya, seorang wartawan atau kolumnis bisa minta byline dihilangkan bila isi berita atau isi kolom diganti sehingga tak sesuai dengan temuan si empunya byline.
Lantas dimana tanggung jawab pemimpin redaksi?
Secara intelektual, dia ikut bertanggungjawab terhadap naskah yang dimuat medianya. Logikanya, naskah tadi terbit dengan persetujuannya. Naskah juga tidak terbit tanpa persetujuan si editor. Jadi, editor kepala ikut bertanggungjawab. Editor yang baik akan menerbitkan naskah, yang dikerjakan dengan prosedur benar, walau ia belum tentu setuju dengan analisis.
Semua tadi adalah jawaban ideal.
Kini persoalannya, banyak media Indopahit , membuat jawaban tadi kabur karena mereka tak memasang byline. Coba Anda perhatikan suratkabar di Semarang? Suratkabar mana saja yang memasang byline? Bandingkan misalnya dengan International Herald Tribune? Atau majalah Atlantic Monthly, Time, Newsweek, The New Yorker?
Wartawan Indopahit juga jarang menulis dengan tersusun. Bahasanya porak-poranda. Logikanya akrobat. Isinya, kebanyakan propaganda atau hasil suapan para humas. Penyuntingan sering terpaksa “dalam sekali.” Maka, tanggung jawab jatuh pada si editor. Bukan si penulis.
Bagaimana kalau kekaburan ini dibawa ke wilayah hukum?
Namanya orang bikin tulisan. Tidak perlu kaget kalau muncul kegeraman. Bersihar Lubis tampaknya menyinggung emosi banyak jaksa. Jaksa-jaksa Indopahit sebenarnya tak semua dungu. Lubis mengatakan kolom sebaiknya dibalas dengan kolom. Saya setuju posisi Lubis. Kolom dibalas kolom.
Kalau tak bisa menulis? Di Amerika Serikat, maksimal kegeraman ini dijadikan perkara perdata. Silahkan menggugat!
Siapa tergugatnya? Ya tergantung si penggugat mau menggugat siapa! Saya sendiri belajar jurnalisme di Cambridge, dekat Boston. Di Amerika Serikat, urusan jurnalisme tak ada dalam Criminal Code. Karya jurnalisme hanya masuk wilayah perdata.
Di Indopahit, perkara ini jadi super runyam karena ada Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang bisa dipakai menghukum dan mengirim wartawan masuk penjara . Maka Bersihar Lubis pun berhadapan dengan KUHP pasal 207 soal menghina lembaga negara.
Bonnie Triyana dan banyak wartawan dari Aliansi Jurnalis Independen, Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi dan Kelompok Kerja Wartawan Depok, melakukan advokasi terhadap Lubis. Mereka datang ke sidang. Mereka bawa poster. Namun tiga orang hakim Depok --Suwidya, Budi Prasetyo dan Ronald—menyatakan naskah dengan byline melulu tanggung jawab empunya nama. Bukan pemimpin redaksi. Mereka menyatakan Lubis bersalah pada 20 Februari 2008. Dia dinyatakan melanggar pasal 207. Dia dihukum penjara sebulan dengan tiga bulan percobaan.
“Kemerdekaan berbicara saya dipasung," kata Lubis.
ATMAKUSUMAH Astraatmadja seorang wartawan yang hangat. Rambutnya tipis. Kalau tertawa, suaranya menggelegar. Saya kenal “Pak Atma” sejak awal 1990an. Kami sering diskusi bersama. Terkadang jalan ke luar negeri bersama. Kami juga pernah makan malam dan melihat show musik di sebuah hotel di Bangkok. Atmakusumah tampaknya terbawa suasana romantis. Musik enak. Minuman mengalir. Dia tiba-tiba bilang, “Kalau Sri ada, saya akan mengajaknya berdansa!”
Sri Rumiati adalah isteri Atmakusumah. Alamak romantis!
Sejak muda, Atmakusumah jadi wartawan Indonesia Raya hingga Orde Baru membredel harian ini pada 1974. Atmakusumah, waktu itu sudah redaktur pelaksana, susah cari kerja dan kerja di US Information Service, Jakarta. Saya mengenalnya sebagai instruktur di Lembaga Pers Dr. Soetomo. Tugasnya, mengajar hukum dan etika pers. Sesudah Presiden Soeharto mundur pada Mei 1998, Atmakusumah jadi ketua Dewan Pers (2000—2003). Dia mendapat Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature and Creative Communication Arts pada 2000. Ini penghargaan sering disebut hadiah Nobel versi Asia.
Atmakusumah mengatakan pada saya bahwa melihat hukum pers harus dimulai dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indies tahun 1918. Nama itu artinya, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk Hindia Belanda.”
Dalam kitab itu ada 35 pasal, yang bisa dipakai untuk mengekang kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Hukumannya, maksimal penjara tujuh tahun. “Pokoknya yang bersangkutan dengan pers, diskusi, demonstrasi, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi,” kata Atmakusumah. Korbannya, ada wartawan, penceramah, demonstran dan lain-lain.
Pada 1949, ketika negara Indopahit menggantikan Hindia Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indies menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia. Isinya sama, tanpa perubahan.
Baru pada zaman Presiden Soeharto, KUHP direvisi, tapi belum pernah dikirimkan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibicarakan dan disetujui. Jadi, gagasan baru dalam revisi-revisi ini semata-mata berasal dari para penguasa eksekutif. Ironisnya, pasal-pasal soal kebebasan berpendapat, dinaikkan dari 35 pasal menjadi 42 pasal. Hukuman maksimal naik menjadi seumur hidup. Ada pasal-pasal menimbulkan keonaran, anti Pancasila, Marxisme dan Leninisme.
Perubahan lain, pembuktian harus ada bukti material. “Walau ada material, itu omong kosong!” kata Atmakusumah.
“Malari dulu siapa yang membakar?”
Soeharto turun Mei 1998. Perubahan muncul lagi ketika Yusril Ihza Mahendra, mantan penulis pidato Soeharto, menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal kebebasan berpendapat direvisi. Hukumannya, turun dari seumur hidup jadi 20 tahun. Pasalnya tambah dari 42 jadi 49 pasal.
“Ada pasal tambahan. ‘Anda bisa dicabut dari profesi Anda,’” kata Atmakusumah. Ini mirip pengalaman Ali Sadikin, mantan gubernur Jakarta, yang sering mengkritik Soeharto dengan organisasi Petisi 50. Sadikin dan kawan-kawan mengalami apa yang disebut “kematian perdata.”
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono jadi presiden, dia mengangkat Hamid Awaluddin, seorang sarjana hukum asal Makassar, menggantikan Mahendra. Awaluddin pernah jadi koresponden majalah Gatra. Kali ini KUHP direvisi lagi. Pasal-pasal kebebasan berpendapat, yang bisa dipakai menjerat wartawan macam Bersihar Lubis, ternyata naik lagi.
“Saya belum menghitung sendiri. Dalam diskusi-diskusi sering disebut 60-an,” kata Atmakusumah.
“Bagaimana para pemimpin kita, makin kesini kok makin mengerikan? Makin tidak berorientasi pada rakyat?”
“Kalau saya omong-omong dengan ahli hukum, nggak pernah dapat jawaban.”
“Di kalangan wartawan senior juga pecah. Wina Armada, anggota Dewan Pers, sama saja pendapatnya dengan banyak ahli hukum. ‘Emangnya wartawan nggak boleh dipenjara?’” kata Atmakusumah, menirukan Wina Armada.
“Saya bilang kalau karya jurnalistik, jangan dipenjara.”
“Kalau masih ada penjara, antara pemimpin redaksi dan wartawan, saling dorong-mendorong. Siapa yang maju ke pengadilan?”
“Saya lebih suka kalau dikeluarkan dari pidana. Nggak ada dalam pidana itu, kasus jurnalistik.”
Atmakusumah mengirim sejumlah naskah kepada saya. Ada satu naskah berisi bermacam-macam nama negara –Honduras, Argentina, Costa Rica, Paraguay, Peru, Guatemala, Ghana, Uganda, Jordania dan lainnya-- yang sudah mengeluarkan soal pidana wartawan, dari kitab hukum mereka. Bahkan Timor Leste, bekas koloni Indopahit, punya aturan yang menghapus pasal penghinaan terhadap kepala negara. Mereka lebih maju dari bekas penjajahnya. Negara-negara ini menyusul sikap non-kriminalisasi orang berpendapat di Amerika Serikat.
SAYA tak bisa menghindar dari pikiran bahwa zaman Hindia Belanda hanya ada 35 pasal. Zaman Soeharto, naik 42 pasal. Yusril Ihza Mahendra membuatnya jadi 49 pasal. Hamid Awaluddin naik lagi jadi 60-an.
Benedict Anderson dari Universitas Cornell, dalam pengantar buku Indonesia Dalem Bara dan Api, menulis bahwa pada awal abad XX, "Koran mulai tumbuh di ampir setiap kota jang berarti, mirip tjendawan dimusim hudjan.” Mutu jurnalisme zaman itu lebih bagus dari apa yang diledeknya sebagai generasi “Tempe, Kempes, Sirna Harapan dan Jawa Pes.” Maksudnya, Tempo, Kompas, Sinar Harapan dan Jawa Pos.
Masih ingat polemik kebudayaan? Pada 1930an, pemikir macam Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Soewardi Soerjaningrat dan sebagainya menulis esai-esai bermutu, yang belum ada tandingannya hingga hari ini.
Banyak teoritisi media mengatakan makin bermutu jurnalisme dalam suatu masyarakat, maka makin bermutu pula masyarakat itu. International Center for Journalists punya semboyan, “Better journalism, better lives!”
Kalau mutu jurnalisme zaman Hindia Belanda lebih baik dari zaman Indopahit, jangan-jangan sistem pemerintahan Hindia Belanda juga lebih bermutu dari Indopahit? Jangan-jangan Indonesia bergerak mundur ke zaman Majapahit?
Wednesday, March 05, 2008
Seragam Lusuh dan Daki Hitam
Rabu pagi ini, ketika menjemput Norman untuk sekolah di pertigaan Pondok Indah, aku melihat pakaian seragamnya lusuh. Krahnya memperlihatkan bercak-bercak daki hitam. Dia bilang bajunya memang kotor. Baju bersih belum dicuci. Dia terpaksa mengambil baju kotor dari tempat menumpuk cucian.
Aku bilang dia tak baik pergi sekolah dengan baju lusuh dan kotor. Kami mampir dulu ke apartemen buat mengganti baju dan celana Norman dengan setelan bersih. Aku menyeterika pakaian putih seragam Gandhi Memorial International School. Perjalanan ke sekolah Norman memang melewati apartemen kami.
Sejak pengasuhnya, Sri Maryani, mundur kerja dari rumah Bintaro Jumat lalu, tampaknya belum ada orang yang mengurus cucian Norman. Aku minta Norman agar membungkus semua pakaian kotornya ke apartemen.
Dulu Yani sering mengeluh betapa dia sering pulang dari sekolah Norman, kecapekan, tiba di rumah, ternyata Retno Wardani, ibunya Norman, belum juga membereskan ranjangnya sendiri. Padahal Retno seharian tinggal di rumah. Aku tak terkejut Retno juga kini tak mencuci seragam Norman. Ketika kami masih menikah dulu, bila lagi tak ada pembantu, urusan mencuci pakaian adalah pekerjaan aku. Tampaknya kebiasaan ini tak hilang juga walau untuk seragam anaknya sendiri.
Nisa, Pancake dan Es Pohon Aren
Nisa Rachmatika, seorang mahasiswi komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung, datang ke apartemenku Jumat lalu. Tujuannya, dia dan Diemas Kresna Duta, sesama mahasiswa Padjadjaran, minta agar aku bicara dalam suatu acara mereka di Bandung. Goenawan Mohamad juga setuju datang ke Bandung. Sayang sekali, minggu depan aku sudah janji datang ke Semarang dan Salatiga.
Namun Nisa mengirim SMS dan belakangan menulis pertemuan tersebut dalam blognya bungkusterasi.wordpress.com. Aku ambil beberapa alinea buat membantu menggambarkan --dari pandangan orang ketiga-- tentang hubungan Norman dan aku. Agak tersipu ketika tahu mereka memergoki kami, di pinggir jalan, dekat stadion Senayan, sedang minum segelas es air legen dari pohon aren.
Malam itu Andreas asyik memasak pancake untuk anaknya, ketika aku dan seorang kawan memutuskan untuk bertandang dari Bandung. Di apartemennya, Andreas menyambut kami dengan sangat ramah, walau kedua tangannya tak henti menyiapkan ini dan itu. Anak semata wayangnya yang asyik menonton televisi datang mengambil pancake hangat yang sengaja Andreas buat. Andreas tersenyum senang.
Dua orang yang dikenal malas mandi, malas mendengarkan dosen, dan malas mengerjakan tugas, tiba-tiba saja dengan semangat menggebu ingin bertemu dengan orang-orang yang namanya hanya sering disebut di buku. Bandung – Senayan - Utan Kayu – Senayan - Bandung, rasanya seperti berangkat dari kamar kosan ke kampus.
Kini Andreas duduk di hadapanku. Kaus putihnya senada dengan parasnya yang selalu menimbulkan respek. Sikapnya yang antusias membuat kami merasa sangat diperhatikan. Sorot matanya sangat ramah. Tapi di panasnya malam Jakarta, Andreas malah bercerita tentang keluarganya.
Kecintaan pada anak semata wayangnya, Norman, yang tak bisa ia sembunyikan, mantan istri pertamanya yang tak kunjung ia mengerti, hingga baby sitter Norman yang ternyata dipecat mantan istrinya pagi tadi. “She is the only light, the only candle in the darkness…” Seingatku, itu yang dituliskan Norman pada Komisi Perlindungan Anak tentang baby sitter itu. Dan kini ia telah pergi.
Saat mengungkapkan semuanya, tiba-tiba dalam sorot matanya yang ramah, kulihat ada kepedihan…
Tapi aku memang tak bisa berkata apa-apa. Aku mengutuk diriku karena tak mampu melakukan apapun untuknya. Apa yang mampu kulakukan hanya satu, mengirimkan beberapa pesan singkat ketika aku berada dalam bus, yang mungkin tak akan mengubah apapun baginya.
Sebelum malam itu aku dan kawanku tersenyum simpul. Sebabnya, siang hari sebelum kami mendatangi apartemen Andreas, secara tak sengaja kami berpapasan dengannya. Kulihat ia berjalan sambil mengapit lengan putranya, Norman. Dua orang itu kemudian berhenti di pinggir jalan sambil menikmati es tebu. Sungguh pemandangan yang semakin sulit didapatkan di pinggiran kota Jakarta. Ah, andai saja kami membawa kamera…
Tuesday, March 04, 2008
Retno Akhirnya Muncul di Pengadilan
Selasa pagi ini, sesudah menunda selama enam bulan, Retno Wardani akhirnya datang juga untuk menyelesaikan masalah pengasuhan anak kami, Norman Harsono, di pengadilan negeri Jakarta Selatan.
Retno didampingi kuasa hukum Desmayani Setianingsih dari kantor advokat Kailimang & Ponto. Aku didampingi pengacara Fredy Simanungkalit serta isteriku, Sapariah. Kami melakukan perundingan dengan moderator Suharto, seorang hakim, di pengadilan ini.
Suharto membuka perundingan ini dengan mengatakan apakah bisa dicari win-win solution. “Yang penting anak ini happy. Asal-usul itu tak bisa dihapus oleh manusia. Dia akan besar, akan tumbuh dewasa. Dia akan mencari orangtuanya,” kata Suharto.
Hakim ini puitis. Dia mengutip penyair kelahiran Lebanon Kahlil Gibran “Sang Nabi.” Dia tak mengutip penuh namun kira-kira berbunyi:
“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir melalui engkau, tapi bukan darimu.
Meskipun mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan milikmu.
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh, bukan jiwa mereka. Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi.”
Kami lantas menerangkan kesepakatan pengasuhan Norman pada Desember 2003 dengan prinsip joint custody atau “pengasuhan bersama.” Kami membagi minggu sekolah, lima hari untuk Retno, dua hari untuk aku. Liburan sekolah, dibagi separuh-separuh. Liburan nasional dibuat giliran. Sedangkan rumah dan mobil disepakati dijual dan hasilnya dibagi dua.
Aku mengatakan perjanjian itu ternyata tak memenuhi harapan agar Norman bisa tumbuh dengan sehat. Aku ceritakan soal rumah, yang “dibeli” Retno dengan harga di bawah pasar. Retno beralasan rumah itu diperlukan Norman. Aku rela melepaskannya.
Namun pada Agustus 2007, tanpa berunding dengan Norman maupun aku, Retno menyewakan rumah Pondok Indah itu kepada orang lain serta memindahkan Norman ke rumah neneknya di Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah lebih dari 120 km pergi pulang. Retno kaku mengikuti perjanjian itu. Dia melakukan verbal abuse --atas nama “disiplin” anak—bila aku tak mengantar Norman ke tempatnya tepat waktu. Padahal Norman memang lebih suka tinggal di apartemen kami. Norman sendiri menulis surat kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dia menyatakan ingin tinggal dengan papanya. Retno bahkan pernah membawa polisi untuk menjemput Norman di apartemen.
Retno mengatakan dia membawa polisi ke apartemen aku untuk menjaga keamanannya. Dengan berlinang air mata, Retno bilang dia punya bukti-bukti aku pernah memukulnya di Cambridge. Polisi hanya untuk pengamanan. Bukan untuk menakut-nakuti Norman. “Andreas ditahan polisi. Saya yang bail out Andreas,” katanya. Dia mengatakan Norman lebih suka tinggal di apartemen karena "bebas" serta disiplin rendah.
Pemukulan terjadi delapan tahun silam. Aku sendiri menelepon polisi, ditahan semalam serta dihukum percobaan enam bulan. Ketika Retno membawa polisi ke apartemen Oktober lalu, dia sudah tahu Norman menolak pulang. Norman berkali-kali bilang tak mau ke Bintaro. Norman dan aku juga sama-sama tak ada di apartemen. Hanya ada Sapariah dan ibu mertua aku. Bagaimana aku bisa memukul Retno bila aku tak ada di tempat? Berapa puluh kali Retno datang ke apartemen untuk jemput Norman dan tak terjadi apa-apa? Sapariah bisa bersaksi bagaimana Retno teriak-teriak di rumah orang. Retno memanfaatkan polisi dan isu "pengamanan" guna melakukan intimidasi. Bukan sekali dua, Retno menggunakan kata "bawa polisi" bila Norman berlama-lama di apartemen.
Mediasi ini makin meruncing. Retno minta perjanjian joint custody tidak diubah. Hakim Suharto minta kedua pihak menyiapkan konsep penyelesaian masalah ini. Suharto mengatakan perkara perdata idealnya diselesaikan lewat "perdamaian" dengan kesepakatan kedua pihak. Mediasi akan dilanjutkan Selasa depan. Kalau tak bisa ditemukan "perdamaian" maka sidang permohonan dilanjutkan.
Monday, March 03, 2008
Latihan Jurnalisme Imbas dan Scientiarum
Salatiga, 10-13 Maret 2008
Pramoedya Ananta Toer mengatakan, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Latihan ini dirancang untuk mahasiswa, seng kritis serta berani, buat belajar menulis. Secara singkat, ia akan memperkenalkan peserta pada dasar-dasar jurnalisme, metode riset, wawancara plus struktur feature dan piramida terbalik. Ia dibatasi untuk 15 mahasiswa agar ada kesempatan memeriksa pekerjaan rumah.
INSTRUKTUR
Andreas Harsono, alumnus Fakultas Teknik Jurusan Elektro angkatan 1984. Ia pernah menulis untuk majalah mahasiswa Imbas di Universitas Kristen Satya Wacana. Sebagai wartawan, ia bekerja untuk harian The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur) dan Pantau (Jakarta). Ia mendapatkan Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard 1999-2000. Kini sedang menulis buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.
SILABUS
Senin, 10 Maret 2008 – 16:00-18:00
Perkenalan serta diskusi soal sembilan elemen jurnalisme. Bacaan: ”Sembilan Elemen Jurnalisme” (resensi buku oleh Andreas Harsono)
Selasa, 11 Maret 2008
8:00-10:00 – Riset dan Interview
Teknik wawancara dengan melihat teknik-teknik yang dikembangkan oleh International Center for Journalists. Peserta melakukan praktik wawancara di depan kelas. Bacaan: ”Ten Tips For Better Interview” (www.ijnet.org) dan ”The Art of the Interview” oleh Eric Nalder.
Pekerjaan rumah: Amati suatu percakapan di lingkungan Anda. Perhatikan detailnya. Buka mata, telinga, hidung dan rasa. Tangkap dialog yang menarik. Lantas buatlah deskripsi adegan tersebut. Panjang sekitar 500 kata saja.
11:00-13:00 – Deskripsi dan Monolog
Bagaimana bikin deskripsi? Bagaimana memilih sumber? Cara mengutip bagaimana? Pilihan monolog yang sexy itu apa? Bacaan: “Ritual L.E. Manuhua” dalam majalah Pantau edisi Maret 2002 atau ”Republik Indonesia Kilometer Nol” edisi Desember 2003.
Rabu, 12 Maret 2008
8:00-10:00 – Feature dan Piramida Terbalik
Bawalah satu harian, Kompas, Suara Merdeka, International Herald Tribune atau lainnya. Bawa pula majalah. Entah Tempo, Time, Newsweek dan sebagainya. Perhatikan berita piramida terbalik dan bandingkan dengan feature? Apa bedanya? Kapan struktur ini ditemukan orang?
11:00-13:00 – Analisis
Bagaimana pula dengan analisis? Apa makna “news” serta “news analysis”? Buku-buku apa yang harus dikuasai? Tekniknya macam apa pula? Bacaan: “The 'Kemusuk Thug' Is Finally Dead,” Inter Press Service, 28 January 2008
Pekerjaan rumah: Bikin satu pengamatan! Mungkin satu tempat, mungkin satu adegan, mungkin keduanya. Pakai analisis Anda untuk menerangkan pengamatan itu! Gunakan kata saya dengan relevan.
Kamis, 13 Maret 2008
8:00-10:00 - Penutupan
Links
Kembali ke Salatiga oleh Andreas Harsono
Kurcaci Jangan Investigasi oleh Geritz Febrianto
Pelatihan Jurnalisme Tak Berspanduk oleh Satria A. Nonoputra
Hari Terakhir Pelatihan Jurnalistik weblog Geritz F. Bataragoa
Meningkatkan Mutu Jurnalisme oleh Satria Anandita
Subscribe to:
Posts (Atom)