Monday, January 14, 2008
Pak Harto atau Soeharto?
KETIKA lagi seru-serunya liputan sakitnya Soeharto, saya menerima SMS dari seorang wartawan, "Mas Andreas, aku mau bilang aja, di metro tv ada instruksi harus menyebut suharto dgn pak harto. Dan tdk boleh juga sebut tersangka korupsi."
"Kemaren aku coba tulis mantan presiden yg juga tersangka korupsi jend suharto. Gerah sudah. Dan katanya semua tv begitu."
Saya jawab bahwa istilah "Pak Harto" dan "Soeharto" adalah pilihan bebas masing-masing wartawan. Sejak zaman Soeharto berkuasa ada permintaan agar dia tak boleh disebut namanya saja. Harus "Presiden Soeharto" atau "Pak Harto." Maksudnya, ini penghormatan kepada orang tua atau orang berkuasa.
Permintaan itu bahkan berubah jadi larangan walau tak ada aturannya. Pada 1980an atau 1990an, tak ada satu media pun yang berani menulis nama "Soeharto" tanpa embel-embel. Bisa kena bredel!
Semuanya! Dari Sinar Harapan hingga Kompas, dari Pedoman hingga Tempo. Tak ada satu pun media berani menulis nama "Soeharto" tanpa embel-embel "Pak" atau "Presiden" atau "Bapak."
Ketika Soeharto mundur pada Mei 1998, permintaan dari keluarga Soeharto masih bergaung di berbagai televisi dan suratkabar, terutama yang sahamnya terkait keluarga Cendana. Halimah, isterinya Bambang Trihatmodjo, saya tahu, beberapa kali minta televisi-televisi Cendana memakai istilah "Pak Harto."
Kalau hari ini, policy macam Metro TV itu muncul lagi, dan saya kira juga pada media lain, saya kira kita mengambil langkah mundur dalam dalam menjaga mutu jurnalisme kita.
Ini kebijakan salah besar. Wartawan harus bebas memilih istilah apa. Saya tak keberatan istilah "Pak Harto" namun saya tak setuju bila istilah itu dijadikan kewajiban. Saya menilai ini feodalisme.
Dalam menulis, terkadang kita bisa informal, terkadang harus formal. Ini tergantung kebutuhan. "Soekarno" bisa diubah "Bung Karno" atau "Presiden Soekarno." Semua sumber pada galibnya harus diperlakukan sama.
Kalau Soeharto dapat perlakuan khusus, bagaimana pula dengan Sukardal si tukang becak? Tidakkah kita harus panggil dia "Bang Kardal" atau "Pak Kardal"?
Rupanya argumentasi lewat mailing list itu memancing pendapat orang. Saya dapat satu SMS dari Chrys Kelana, mantan wartawan Kompas dan pejabat redaksi RCTI di Jakarta. Saya kenal orangnya sopan dan santun.
Pesannya, "Mas Andreas, kalau saya menyebut pak Harto hanya krn rasa hormat ... reformasi dan demokrasi tdk harus menghilangkan rasa hormat. Masyarakat kita sdh terlalu bebs, lbh bebas dari negara maju yg pernah saya kunjungi spt jepang, uk dan usa. Wartawan disana msh respect kpd yg senior, inilah membuat negara kita tak maju. Bgmn komentar mas?"
Saya menjawab dengan dua argumentasi. Pertama, menyebut Presiden Soeharto dengan "Soeharto" --tanpa wajib menulis "Pak Harto"-- tak berarti kita tak hormat pada sumber kita. Wartawan wajib memberlakukan sumbernya dengan hormat dan dengan setara. Frasa "Soeharto" setara dengan Sukardal (tukang becak di Bandung yang mati gantung diri), George W. Bush, Osama bin Laden atau ribuan sumber lain.
Kedua, saya kira wartawan perlu diberi kebebasan untuk memilih referensi kedua. Entah "Pak Harto" atau "Jenderal Soeharto" atau "Soeharto" dan sebagainya. Ini tergantung pada banyak pemikiran si wartawan.
Mungkin dia menulis dengan suasana informal dan cocok dengan istilah "Pak Harto." Wartawan Robert Fisk dari harian The Independent, ketika menulis wawancaranya dengan Osama bin Laden, terkadang menulisnya "Sheikh Osama" --sebutan orang-orang Arab yang berjuang di Afghanistan terhadap pemimpin mereka itu-- tapi juga dengan formal "Bin Laden."
Kebebasan memilih inilah yang terasa tak perlu untuk policy Metro TV maupun media lain di Jakarta. Saya kuatir suasana ini akan menjalar ke zaman ini. Artinya, ini langkah mundur untuk perjuangan kita memperluas ruang kebebasan pers di negeri ini.
Saya tahu ada media di Jakarta yang sekarang sudah melarang wartawannya menulis "Yudhoyono" atau "SBY" --harus ditulis "Presiden SBY" atau "Presiden Yudhoyono." Ini Majapahit banget!
Chrys Kelana lantas menjawab, "Itulah mungkin perbedaan saya dgn mas harsono. Mungkin saya terlalu sopan, tidak tepat utk reformasi, atau mungkin saya org jawa yg msh orde baru ya, walaupun saya tdk dpt kenikmatan orde baru. Selain itu, policy metro juga hrs kita hormati, jangan dipanas panasi utk berontak/protes. Suka tdk suka wartawan berontak."
Saya bukan memanas-manasi wartawan Metro TV. Saya hanya mengingatkan semua wartawan yang meliput sakitnya Soeharto, serta para redaktur mereka, untuk berpikir ulang soal policy "Pak Harto" ini! Pembungkaman terhadap pers tidak pernah terjadi semalam. Sejarah membuktikan ia merambat perlahan-lahan dan tanpa kita sadari. Tahu-tahu ia sudah mencekik dan mematikan. Eufemisme selalu bagian awal dari sensor.
No comments:
Post a Comment