Selama tiga hari aku ikut sebuah workshop jurnalisme di Eden Nature Garden, sebuah tempat peristirahatan, masih berhutan, banyak burung berkicau, pakis raksasa, serta permukaan tanah dengan lumut tebal, sekitar satu jam naik mobil dari Davao City.
Aku tiba di Davao City Jumat siang, sesudah transit semalam di Singapura. Di airport Changi, bertemu dengan rekan-rekan lama, Prangtip Daorueng (Kuala Lumpur), Anil Netto (Penang) dan Teh Gek Lan (Penang). Mereka terbang dari Malaysia, aku dari Jakarta.
Kami terbang dengan Silk Air, sekitar dua jam lebih. Kami dijemput di airport Davao City, Pulau Mindanao. Udara panas. Makan siang di tengah jalan. Lalu menempuh perjalanan satu jam menuju Eden Resort, daerah Toril. Udara sejuk. Ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut.
Acaranya, Sensitivities and Challenges in Covering Conflict: A Seminar-Workshop for Mindanao Media Practitioners. Kami baru mulai Sabtu pagi.
Ini kesempatan belajar tentang pergolakan di Mindanao. Dari Moro National Liberation Front pimpinan Nur Misuari hingga Moro Islamic Liberation Front, yang berbendera Islam. Rufa Cagoco-Guiam, profesor dari Mindanao State University, adalah organizer acara ini. Dia cerita banyak soal bagaimana media Manila sering memakai istilah dan frasa yang keliru soal pergolakan ini.
Ada juga Carol Arguillas, editor Minda News, memaparkan soal capeknya wartawan di Mindanao dengan segala acara yang berbendera "jurnalisme damai." Ada banyak yang rumit, yang tak bisa diterangkan hanya dengan memakai slogan tersebut.
Glenda M. Gloria dari Newsbreak juga bicara soal bagaimana media Manila mencitrakan kalangan minoritas di Mindanao. Di Mindanao ada beberapa kelompok etnik: Tausug, Maguidanao, Sama dan lainnya. Orang-orang ini kebanyakan beragama Islam. Dulu, mereka dikuasai oleh kesultanan Sulu dan Maguidanao hingga Spanyol datang.
Sejak 1898, Amerika Serikat yang mengalahkan Spanyol, mengambil alih koloni Spanyol ini. Mereka mendorong orang-orang Kristen datang ke Mindanao. Kebanyakan pendatang ini datang dari pulau-pulau Luzon dan Visayas. Mereka diberi tanah. Mereka didorong untuk tinggal di Mindanao. Inilah cikal bakal pertikaian hari ini. Ada diskriminasi. Ada sengketa lahan.
Aku ikut sebuah diskusi kelompok tentang apa yang bisa dikerjakan wartawan dan akademisi Mindanao guna meningkatkan mutu jurnalisme disini. Mereka tertarik untuk belajar tentang narrative reporting yang diadakan Yayasan Pantau di Jakarta dan Banda Aceh. Kami bicara tentang kemungkinan membawa beberapa instruktur Pantau ke Davao City.
Ada sekitar 20an peserta. Diskusi-diskusinya menarik sekali. Eden Garden menyediakan kamar-kamar yang sejuk. Malam hari sangat gelap. Kami makan dari kebun organik. Ada rusa dan buruk merak dipelihara bebas. Ini sangat mendukung acara diskusi. Tempat yang ideal untuk belajar dan menulis.
Resort ini praktis ada di dalam hutan. Aku tidur di sebuah cottage, terletak di atas sungai, airnya deras. Kamarnya standar. Ada double bed, meja, televisi, rak baju dan kamar mandi. Ada air panasnya. Namun indahnya, kamar ini terletak di atas tebing sungai. Tingginya dari sungai sekitar 15 meter.
Acaranya, Sensitivities and Challenges in Covering Conflict: A Seminar-Workshop for Mindanao Media Practitioners. Kami baru mulai Sabtu pagi.
Ini kesempatan belajar tentang pergolakan di Mindanao. Dari Moro National Liberation Front pimpinan Nur Misuari hingga Moro Islamic Liberation Front, yang berbendera Islam. Rufa Cagoco-Guiam, profesor dari Mindanao State University, adalah organizer acara ini. Dia cerita banyak soal bagaimana media Manila sering memakai istilah dan frasa yang keliru soal pergolakan ini.
Ada juga Carol Arguillas, editor Minda News, memaparkan soal capeknya wartawan di Mindanao dengan segala acara yang berbendera "jurnalisme damai." Ada banyak yang rumit, yang tak bisa diterangkan hanya dengan memakai slogan tersebut.
Glenda M. Gloria dari Newsbreak juga bicara soal bagaimana media Manila mencitrakan kalangan minoritas di Mindanao. Di Mindanao ada beberapa kelompok etnik: Tausug, Maguidanao, Sama dan lainnya. Orang-orang ini kebanyakan beragama Islam. Dulu, mereka dikuasai oleh kesultanan Sulu dan Maguidanao hingga Spanyol datang.
Sejak 1898, Amerika Serikat yang mengalahkan Spanyol, mengambil alih koloni Spanyol ini. Mereka mendorong orang-orang Kristen datang ke Mindanao. Kebanyakan pendatang ini datang dari pulau-pulau Luzon dan Visayas. Mereka diberi tanah. Mereka didorong untuk tinggal di Mindanao. Inilah cikal bakal pertikaian hari ini. Ada diskriminasi. Ada sengketa lahan.
Aku ikut sebuah diskusi kelompok tentang apa yang bisa dikerjakan wartawan dan akademisi Mindanao guna meningkatkan mutu jurnalisme disini. Mereka tertarik untuk belajar tentang narrative reporting yang diadakan Yayasan Pantau di Jakarta dan Banda Aceh. Kami bicara tentang kemungkinan membawa beberapa instruktur Pantau ke Davao City.
Ada sekitar 20an peserta. Diskusi-diskusinya menarik sekali. Eden Garden menyediakan kamar-kamar yang sejuk. Malam hari sangat gelap. Kami makan dari kebun organik. Ada rusa dan buruk merak dipelihara bebas. Ini sangat mendukung acara diskusi. Tempat yang ideal untuk belajar dan menulis.
Resort ini praktis ada di dalam hutan. Aku tidur di sebuah cottage, terletak di atas sungai, airnya deras. Kamarnya standar. Ada double bed, meja, televisi, rak baju dan kamar mandi. Ada air panasnya. Namun indahnya, kamar ini terletak di atas tebing sungai. Tingginya dari sungai sekitar 15 meter.
Tempat workshop sekitar 1 kilometer dari cottage. Saking gelap dan luasnya, aku kesasar beberapa kali, pagi maupun malam.
Sinyal telepon jelek. Kadang ada, kadang tidak. Kalau agak tinggi, bisa dapat sinyal. Tapi di cottage, tak ada sinyal. Namun pihak resort menyediakan wi-fi di ruang workshop dan lobby mereka. Aku tinggal bawa laptop dan internet sambung.
Sinyal telepon jelek. Kadang ada, kadang tidak. Kalau agak tinggi, bisa dapat sinyal. Tapi di cottage, tak ada sinyal. Namun pihak resort menyediakan wi-fi di ruang workshop dan lobby mereka. Aku tinggal bawa laptop dan internet sambung.
Malam hari langit gelap, bisa melihat bintang. Ini sebuah kebiasaan masa kecil aku, yang tentu saja, tak bisa dilakukan lagi di langit Jakarta, yang penuh polusi cahaya lampu.
4 comments:
The workshop at Eden Nature Park leaves many questions that were not raised during the session.
Sadly, the workshop only focused on the armed Moro conflict in Mindanao and the Abu Sayyaf Group threat.
The Moro problems, MILF and Abu Sayyaf included, are not the only pressing conflicts in Mindanao.
Anyway, is there an English translation of your blog?
Dear Edwin,
I am not familiar with the Mindanao history. Would you please tell me what are the other pressing issues in Mindanao?
I will write a separate posting in English. This posting was written in Malay when I was still in Davao City. Just a brief remark about the experiences there.
Dear Andreas,
There is ongoing aggressive corporate incursions in to Mindanao after the demise of logging industry in the '60s.
Mining development in the island is threatening to add up to the armed conflict. There is a series of news and feature articles on the Tampakan Copper and Gold Project in Central Mindanao, reputed to be the largest in Southeast Asia and the Western Pacific Region, that are still posted in mindanews.com. Virtually all potential elements for large-scale political, economic, socio-cultural and armed conflicts are now rooted on the ground. This should be an interesting issue for narrative reporting.
And of course, there is the communist-led armed struggle that is prsent in majority of the provinces in Mindanao.
There is also the diaspora of Filipino Muslims who fled the island during the height of the 70's Moro war who are still in many parts of Sabah and Indonesia. And the fishing ground issue between the Philippines and Indonesia.
One book will not be enough to cover all these.
Edwin
mas bisa minta emailnya?
Post a Comment