Friday, November 30, 2007
Perkembangan Saga Norman
Selasa, 13 November 2007
Norman hari ini memutuskan tidur di Senayan. Alasannya, Retno mengatakan kepada Norman bahwa Retno hendak pergi ke luar kota. Siangnya, ketika aku jemput Norman di sekolah, Retno mengatakan rencana itu batal. Dia minta Norman pergi ke Bintaro. Norman tak mau. Dia ingin tidur di Senayan.
Aku kira biar saja Norman tinggal di Senayan. Mengapa anak harus dihalang-halangi untuk memilih tinggal? Dengan papa atau mamanya? Ternyata Retno tidak terima. Dia mengancam hendak membawa polisi sekali lagi untuk menjemput Norman dari Senayan.
Norman mengatakan langsung kepada mamanya bahwa dia mau di Senayan. Sri Maryani, pengasuh Norman, juga menyaksikan Norman tak mau menerima telepon mamanya. Norman mengunci diri di kamarnya ketika Retno menelepon. Aku beritahu ini kepada Rudy Parasdio dari Komisi Anak. Parasdio usul nomor telepon dia ditinggalkan di pintu rumah kami agar Retno terpaksa menghubunginya.
Kuatir dijemput dengan polisi, Norman minta ikut aku. Seharusnya, sore ini aku ada undangan makan malam di rumah Dutabesar Amerika Serikat Cameron Hume di Menteng. Malamnya, aku juga harus mengajar kursus narasi di Yayasan Pantau. Aku batalkan untuk pergi ke Menteng.
Aku datang ke Yayasan Pantau lebih awal. Ternyata Retno benar-benar datang ke Senayan, tanpa polisi, dan menelepon aku berulang-ulang. "Mana Norman? Mana Norman? Mana Norman? Mana Norman? Mana Norman?" teriaknya.
Aku terangkan berkali-kali bahwa Norman menolak bicara dengannya. Aku menyerahkan telepon ke rekan kantor, Siti Nurrofiqoh, karena kelas sudah mulai pukul 19:00.
Nurrofiqoh, ketika ditelepon Retno, menerangkan bahwa Norman ada bersama papanya di kantor. Retno langsung datang ke kantor Pantau bersama Sri Maryani. Ketika tahu mamanya datang ke kantor, Norman yang lagi main komputer di sekretariat, langsung lari masuk ke kelas. Dia berteriak, "Pa, Mama is coming." Dia tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.
Aku terpaksa keluar kelas untuk menemui Retno. Di hadapan Eva Danayanti dan aku, dia mengajak Norman kembali ke Bintaro. Norman tak mau. Retno mengulang-ulang permintaan itu. Norman tetap menolak. Retno lalu minta Norman mengganti malam ini, bila tinggal dengan aku, dengan jatah dia tinggal dengan aku hari Kamis. Norman terpaksa bilang "ya."
Norman merasa tak enak dengan para peserta kursus. Dia tak mau aku meninggalkan kelas terlalu lama. Para peserta kursus tentu menunggu. Norman juga tak ingin Retno mengganggu pelajaran di Pantau.
Ketika malam ini kami pulang ke Senayan, Norman bilang dia menyesal bilang "ya" kepada Retno. Dia merasa dipaksa mamanya sendiri. Dia merasa Retno tak mau memahami perasaan Norman. Dia merasa mamanya menganggap dia "benda mati."
Minggu, 18 November 2007
Taufik Wijaya, seorang wartawan Palembang, mendatangi rumah Laksito Rukmi di Baturaja. Tujuannya, minta tolong diberikan nomor telepon rumah Rukmi agar aku bisa menelepon M. Th. Koesmiharti, ibunya Retno. Koesmiharti berlibur di Baturaja sejak Lebaran lalu. Rukmi adalah kakak kandung Retno.
Aku sudah mencoba menghubungi Koesmiharti sejak Oktober. Sebelumnya juga sempat minta waktu bertemu namun ditolak ketika masih di Jakarta. Koesmiharti beralasan dia tak mau ikut campur urusan anaknya. Sesudah Retno menolak berkali-kali panggilan Komisi Perlindungan Anak, sedang Norman terus mengeluh karena tinggal di Bintaro, aku minta tolong Taufik mencari rumah Rukmi di Baturaja. Tujuannya, agar aku bisa bicara via telepon.
Aku minta tolong orang-orang di rumah Retno di Bintaro untuk memberi nomor telepon Rukmi. Tak ada satu pun yang berani memberi nomor telepon ini. Aku terpaksa minta tolong Taufik untuk datang langsung ke Baturaja sesudah lewat nomor 108 tak bisa mendapat nomor mereka. Aku hanya tahu Rukmi membuka sebuah toko kecil dekat kantor kejaksaan Baturaja. Maka Taufik pun berangkat ke Baturaja.
Menurut Taufik, Koesmiharti tak menemuinya. Hanya Rukmi bertemu dengan Taufik di toko mereka. Rukmi bilang dia tak mau ibunya mengetahui soal pengasuhan Norman. Ibunya akan segera ke Jakarta. Rukmi akan membelikan tiket bus. Hari Kamis Koesmiharti pasti sudah ada di Jakarta. Rukmi minta pada Taufik agar suaminya, Indra Rujadi, sebaiknya tidak tahu soal panggilan terhadap Retno ini.
Menurut Taufik, dia ada di rumah Rukmi sekitar 45 menit. Taufik langsung menelepon aku sesudah keluar dari rumah Rukmi. Dia menyampaikan salam dari Indra kepada aku. Dia naik bus kembali ke Palembang.
Selasa, 20 November 2007
Retno menemui Rudy Parasdio dari Komisi Anak. Retno juga menawari es teh kepada aku saat sore hari mengantar Norman. Dia juga menemui guru kelas Norman di Gandhi School. Ini termasuk aneh mengingat dia menolak bertemu KPAI sejak Agustus. Dia juga belum pernah menemui guru Norman semester ini.
Aku sudah ratusan kali mengantar Norman ke rumah Retno, sejak perceraian Desember 2003, namun tidak pernah sekali pun Retno menegur aku, apalagi mempersilahkan masuk dan menawarkan minum.
Sri Maryani, pengasuh Norman, bahkan takut mengizinkan aku untuk kencing atau cuci tangan bila kadang-kadang aku kebelet kencing atau ingin cuci tangan. Harap maklum! Aku setir mobil bisa 2.5 hingga empat jam. Mulai dari berangkat dari kantor ke sekolah lalu dari sekolah ke Bintaro. Jaraknya jauh sekali. Wajar bila tiba-tiba ingin buang air kecil. Cuci tangan juga perlu kalau di jalan kami makan atau minum. Norman sering membelikan aku minuman teh hijau dalam botol. Kami minum sama-sama dalam mobil. Terkadang tangan jadi lengket bila ada tetesan teh tumpah.
Ini perubahan yang aneh. Retno tiba-tiba menemui Rudy Parasdio serta menawari aku minum?
Rabu, 21 November 2007
Norman menemui psikolog Kristi Poerwandari dari Yayasan Pulih. Aku membawanya ke psikolog sesuai permintaan dari Komisi Perlindungan Anak. Susilahati dari Komisi Anak minta agar Norman diperiksa oleh seorang psikolog. Poerwandari mula-mula bicara dengan Sapariah dan aku. Kami menerangkan permintaan Komisi Anak bahwa Norman perlu diperiksa seorang psikolog. Janti Wignjopranoto membantu kami berhubungan dengan Pulih.
Lalu Poerwandari minta kami menunggu di ruang tamu. Dia hanya bicara berdua dengan Norman. Pertemuan inti adalah pertemuan dengan Norman sendiri. Menurut Poerwandari, percakapan dilakukan dalam bahasa Inggris karena Norman tampaknya jauh lebih lancar berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Selain itu, Norman juga bertugas menyelesaikan kalimat dan menggambar bebas.
"Norman dengan langsung memberikan jawaban yang mengena terhadap masalah, hampir tidak pernah memberikan jawaban yang berputar, menghindar atau berbelit-belit/tidak jelas. Jadi dapat disimpulkan bahwa ia sangat terbuka, sangat asertif menyatakan perasaannya, mampu mengutarakan pikiran dan argumentasinya dengan sangat jelas," tulis Poerwandari belakangan.
Sabtu, 24 November 2007
M. Th. Koesmiharti belum tiba di Jakarta. Aku kira Laksito Rukmi tak memenuhi janji untuk mengizinkan aku bicara atau bertemu dengan ibunya. Malam ini, Sapariah dan aku antar Norman ke Bintaro. Macet total gara-gara Jl. Deplu Raya ditutup. Ada empat jam aku tempuh untuk pergi-pulang Senayan Bintaro.
Senin, 26 November 2007
Norman menjalani tes psikologi di Yayasan Pulih. Kami pergi ke Bintaro sesudahnya dan terjebak kemacetan. Ada demonstrasi warga karena ganti rugi tanah belum beres. Lalu makan soto di Jl. RC Veteran. Norman merasa tenang dengan psikolog di Yayasan Pulih. Dia merasa mereka mau mendengar pikiran-pikirannya.
Selasa, 27 November 2007
Kami mampir di sebuah factory outlet di Bintaro, sekedar lihat-lihat. Norman membeli sebuah kaos polo warna hitam-merah serta sebuah bola kecil. Dia mendorong aku beli sesuatu tapi aku tak mau. Aku merasa sudah punya pakaian serta sepatu banyak. Kami juga mampir ATM BCA untuk ambil uang Rp 300,000 guna membayar uang pelajaran tambahan Norman di sekolah.
Rabu, 28 November 2007
Pagi ini, ketika aku jemput, Norman langsung cerita bagaimana Retno hendak memakai uang Rp 300,000 yang ada di dompet Norman guna beli bensin. Retno beralasan dia lagi tak pegang uang kontan dan harus harus beli bensin. Norman menolak meminjamkan uang sekolahnya. Dia bilang ini untuk bayaran sekolah. Kalau mogok, Retno mengatakan, artinya Norman harus bertanggungjawab. Norman menangis dalam mobil aku. Aku bisa merasakan kesedihan dia.
Norman tak pernah keberatan untuk membayari makanan atau minuman aku. Namun dia keberatan meminjamkan uang ke Retno. Aku kira ini disebabkan pengalaman buruk Norman dengan kebiasaan Retno memeriksa isi dompet Norman serta meminjam uang tanpa bilang.
Kami makan siang soto di Jl. RC Veteran. Kini sudah mulai jadi kebiasaan, bila pulang agak awal, Norman minta diantar makan atau belanja sesuatu. Ini kami lakukan sejak Retno membawa polisi untuk menjemput Norman dari apartemen kami. Norman merasa ingin bersama aku lebih lama, tak langsung pulang ke rumah dimana mereka menumpang di Bintaro.
Malamnya, Rudy Parasdio bangga cerita via telepon bagaimana Retno sudah membalas surat Komisi Anak. Rudy bilang Retno menawarkan "kompromi" dimana Retno bersedia menjemput Norman dari sekolah setiap siang. Ini untuk meringankan beban aku. Retno juga usul sekolah Norman dipindahkan dari Kemayoran ke sebuah sekolah nasional di Bintaro.
Rudy juga mengatakan Retno keberatan aku minta Taufik Wijaya "membohongi" ibunya di Baturaja. Retno bilang Taufik mengatakan Komisi Anak memanggil M.Th. Koesmiharti tiga kali.
Aku bilang sama Rudy apakah dia sudah membaca surat aku ke Komisi Anak? Disana sudah ada tawaran Retno agar dia yang menjemput Norman asal aku bersedia membayar bensin, tol dan parkir. Ujung-ujungnya duit juga. Bedanya, dulu Retno juga minta aku membiayai sopir untuk bekerja di tempat dia. Soal pindah sekolah, aku kira, Rudy perlu mendengar dari Norman dulu. Katanya, Komisi Anak harus melihat the best interesto of the children. Kenapa tak tanya anak dulu? Apakah cocok anak di tengah semester dipindah sekolahnya? Lantas siapa yang membayar uang pangkal dan uang sekolah Norman?
Sesudah bicara dengan Rudy Parasdio selama dua minggu, aku mulai merasa capek. Aku sudah mengadukan soal Norman kepada Komisi Anak sejak 20 Agustus. Sudah tiga bulan lebih, mereka belum menunjukkan kemajuan pekerjaan mereka untuk melindungi Norman. Mereka juga belum melakukan kunjungan rumah. Norman masih setiap hari mengeluh soal jarak Bintaro-Kemayoran.
Kamis, 29 November 2007
Norman senang sekali pagi ini karena siangnya akan tidur di Senayan. Sri Maryani mengirim SMS dan bilang dia hendak mundur dari pekerjaan mengasuh Norman. Dia merasa tidak nyaman lagi kerja di Bintaro. Aku minta dia bertahan lebih dulu. Ini sudah kesekian kalinya Yani hendak mundur dalam dua tahun terakhir. Aku kira Norman akan terpukul bila Yani keluar dari pekerjaannya. Aku bisa mengerti kesulitan gadis ini. Dia terjepit di tengah dua orang tua, sekaligus majikan, yang berantem terus. Aku bilang bila dia tak bisa bertahan, ya aku akan menyediakan uang pesangon sesuai hukum.
No comments:
Post a Comment