Saturday, September 15, 2007
Kota Abadi Pompeii
Bagaimana rasanya hidup dua ribu tahun silam? Bagaimana cara orang memasak saat itu? Apa jenis makanan mereka? Dan bagaimana mereka menyimpan makanan ketika belum ada lemari es? Penerangan, tentu saja, pakai obor atau lentera. Tapi minyaknya dari apa? Bagaimana cara mencuci pakaian ketika belum ditemukan amoniak?
Kami beruntung bisa berkunjung ke Pompeii, sebuah kota kecil, dekat Napoli, untuk melihat langsung cara orang hidup zaman itu. Pompeii dulu tertimbun tanah, setinggi 5-6 meter, akibat ledakan Gunung Vesuvius pada 25 Agustus 79 SM, atau lebih dari 2000 tahun lalu.
Ledakan tersebut membenamkan Pompeii dalam timbunan lapili --kerikil campur pasir. Baru pada abad 18, ketika mulai digali, kota ini ditemukan relatif utuh, dari arsitektur gedung-gedungnya hingga mozaik, dari kamar tidur hingga tempat penyimpanan anggur, air dan makanan. Kami bahkan menemukan tanda "awas anjing galak."
Pada 1594, seorang arsitek, Domenico Dorgana, sedang membangun sebuah kanal, ketika menemukan satu bagian kecil dari Pompeii. Dorgana mencatat penemuan itu namun tak ada kelanjutannya.
Baru pada 1748, atau 150 tahun kemudian, ketika Charles de Bourbon berkuasa di Napoli, penggalian serius mulai dilakukan. Orang ingin tahu bagaimana rupa Pompeii. Artinya, penggalian dilakukan 1,600 tahun sesudah ledakan Vesuvius. Hasilnya spektakular! Namun banyak barang bernilai justru dirampok dari situs seluas 66 hektar itu.
Giuseppe Fiorelli, yang mulai bekerja pada 1858, dianggap orang yang paling banyak menemukan Pompeii. Hingga hari ini, Pompeii masih belum sepenuhnya digali. Kami masih melihat banyak sekali penggalian atau bagian tertutup. Para anthropolog bekerja dengan sekop kecil dan kuas. Pagar-pagar besi masih bertebaran. Gunanya, mengatur lalu lintas pengunjung sekaligus menjaga situs ini dari penjarahan. Menurut buku Lonely Planet, ada 2.3 juta pengunjung setiap tahun ke Pompeii.
Kini orang yang berkunjung ke Pompeii, bisa melihat jalan-jalan kota ini. Kebudayaan Romawi membangunnya dari batu-batu besar dengan permukaan rata. Permukaan rumah dibangun sekitar 30 cm dari permukaan jalan. Jalan juga berguna sebagai saluran air. Di setiap persimpangan ada batu-batu besar untuk batu loncatan agar jubah orang tak basah bila menyeberangi jalan. Orang kebanyakan memakai kereta keledai. Orang kaya bisa memakai kuda.
Bangunan rumah dibuat dari bata dan batu. Menurut Antonio Campinelli, guide yang mengantar kami, rumah-rumah penduduk Pompeii terdiri sedikitnya dua tingkat. Setiap rumah punya halaman dalam dimana mereka menanam pohon zaitun dan anggur.
Gunanya, biji buah zaitun diperas, dijadikan minyak zaitun. Anggur, tentu saja, dijadikan minuman. Mutu zaitun terbaik dipakai untuk obat-obatan dan bahan makanan. Mutu terjelek dipakai untuk bahan bakar lampu. "Banyak terjadi kebakaran waktu itu karena penerangan dari lentera zaitun," kata Campinelli. Lantai dua atau tiga kebanyakan terbuat dari kayu. Budak-budak tidur di lantai kayu. Majikan tidur di lantai dasar. Budak-budak ini rentan meninggal kalau terjadi kebakaran.
Ketika Pompeii digali, juga ditemukan rumah dengan tubuh-tubuh korban membatu. Ada anak kecil. Ada perempuan. Ada lelaki. Ada yang tiduran. Ada juga yang berusaha bangkit. Ada juga anjing dan pepohonan. Menurut Campinelli, tubuh-tubuh itu ketika ditemukan sudah mirip kepompong. Selama 1,600 tahun, daging korban tentu sudah mengerut dan tinggal tulang-belulang. Giuseppe Fiorelli menyuntikkan sejenis plaster ke dalam bagian-bagian yang kosong tersebut. Kini tubuh-tubuh, manusia, hewan dan tanaman yang membatu tersebut diletakkan pada lokasi dimana mereka ditemukan.
Menurut buku Pompeii 2000 Years and Today karangan Alberto C. Carpiceci, Pompeii memiliki warga sekitar 20,000 orang. Di kota ini ada penginapan (hospitia), kandang kuda (stabula), rumah makan (cauponae), cafe (thermopolia) serta rumah model satu-keluarga (domus italica).
Makanan kebanyakan disimpan dalam kuali-kuali kecil dari tanah liat. Bahannya kebanyakan sayuran atau hewan kecil. Mereka belum terbiasa memakan hewan besar mengingat sulit mengawetkannya. Sapi atau kerbau lebih diambil susunya. Mereka membuat wine namun proses penyulingannya belum sehalus sekarang. Di tembok-tembok pagar rumah terlihat guci-guci tanah liat. Gunanya untuk menyimpan air hujan. Air seni ditampung untuk mencuci pakaian.
Namun juga rumah bordil. "Waktu itu, orang berhubungan seks dianggap sama dengan makan dan minum," kata Campinelli. Kami mengunjungi satu rumah bordil dengan lukisan-lukisan dinding yang menawarkan berbagai pelayanan seks erotis. Ada juga rumah pelacur dengan harga lebih murah. Ranjang dan bantalnya terbuat dari batu. Ruang prakteknya juga kecil.
Pompeii juga memiliki rumah mandi, dengan air dingin, air panas dan mandi uap. Rumah kebanyakan tak dilengkapi kamar mandi. Hanya rumah orang kaya pakai kamar mandi. Air dialirkan masuk ke rumah mandi. Kini mereka masih bisa dilihat tiang-tiangnya.
Pompeii juga memiliki dinding-dinding jalan yang dipakai untuk beriklan atau propaganda. Ada propaganda pemilihan anggota dewan kota. Ada iklan rumah pelacuran. Ada juga protes terhadap penguasa. Menurut Carpiceci, Pompeii diatur oleh dua orang gubernur (duumviri) yang dipilih lima tahun sekali. Sudah ada demokrasi waktu itu!
Juga ada dua pejabat (aediles) yang bertanggungjawab untuk kesehatan publik, hiburan massal, manajemen pasar serta penyediaan bahan pangan. Kota ini juga ada dewan kota (ordo decurionum) dengan jumlah 100 warga pilihan.
Seharian kami berjalan dalam Pompeii. Masuk dari rumah ke rumah. Melihat kamar mandi, kuburan, rumah makan, saluran air bahkan membaca materi kampanye pemilihan ordo decurionum. Warnanya merah. Rasanya, senang sekali bisa memahami sejarah begini dekat.
Sebagai sebuah desa pertanian, Pompeii mula-mula didirikan oleh orang-orang Orci, lalu Yunani, lalu sejenak oleh kaum Estrucan. Orang Samnite memperbesarnya hingga akhir abad 4 sebelum Masehi ketika orang Romawi ikut tinggal disana. Saat itu Pompeii sudah jadi kota besar, pusat perdagangan, ketika daerah-daerah sekitarnya masih kecil, termasuk Neapolis (kini Napoli).
Kami jadi lebih mengerti mengapa kebudayaan Barat jadi begitu lekat dengan realitas, minimal Romawi, dengan adanya tempat bersejarah, yang diteliti dan ditulis secara profesional, macam Pompeii.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.