Bung Arya dkk yb,
Soal bakar buku -seperti jelas dalam pesan protes pembakaran buku- adalah soal azas, soal kekerasan politik dan intelektual terhadap azas kebebasan berpikir dan berkarya. Itu yang pertama dan utama. Kritik Arya soal pengabaian "fakta penting mengenai pembakaran buku oleh Pram dan Lekra", kalau memang demikian fakta tsb terakhir ini, layak dihargai. Tetapi kritik tsb juga mewajibkan si pengkritik untuk merincikan fakta tsb. Ini yang tidak terjadi. Nah, kalau konsekuen, tinggal mengungkapnya saja kan. "Gitu aja, kok repot," kata Cak Dur (Ya, `Cak', bukan `Gus', masak membela demokrasi masih memakai istilah feodal `Gus')
Yang repot: apa yang terjadi pada kritik Arya adalah soal jalur penalaran, sebutlah soal intellectual road map.
Pertama, ketika dia mengatakan "Nurmahmudi dan lain-lain membakari buku karena terkait dengan hilangnya kata "PKI" dalam buku-buku itu, sedangkan Pram yang pernah dihukum karena disebut-sebut terkait PKI ternyata pernah pula melakukan tindak pembakaran yang sama", Arya seolah-olah menunjuk kalau Pram boleh, mengapa Nurmahmudi tidak?Seolah-olah dua kesalahan dapat menciptakan satu kebenaran. Kalau saya mencuri, lantas Bung mencuri juga, kedua fakta tsb tidak memberi pembenaran pada tindakan tsb, bukan?
Kedua, Arya melakukan penalaran a-historis karena berasumsi kesetaraan historis - seolah-olah semua kejadian serupa mengandung bobot historis yang sama di mana pun dan kapan pun dia terjadi. Kalau benar bahwa Pram dan Lekra membakar buku, saat itu para korbannya secara nyata mampu memberi jawab atau pun membalas. Dan itu terjadi, bukan. Berbeda dengan ketika buku Pram dan yang lain dilarang/dibakar, di sini para korbannya tidak berdaya apa apa, karena telah dihabisi, dipenjara atau terancam. Ini adalah bagian dari musibah besar Holocaust Indonesia 1965-1966. Pelarangan dan pembakaran buku di situ menjadi isyarat awal pemusnahan hak hak sipil terhadap sebagian warga. (Di sini kita memasuki wilayah realisme politik, bukan abstrak; di sini, tanggapan Linda Christianty terhadap Arya, tepat, bukan sekadar emosional).
Ketika seorang pemuda Yahudi membunuh diplomat Jerman di Paris, pihak korban (negara Nazi yang dipersonifikasi oleh diplomat tsb) tengah berjaya dan membalasnya dengan Kristall Nacht, Nov. 1938, mengulangi pembakaran buku 1933 dan perburuan. Pembakaran buku pada Malam Kristal menjadi isyarat terancamnya hak-hak sipil sebagian warga (in casu kaum Yahudi) yang sejak itu hengkang, bahkan juga dari Austria (negeri mekarnya Nazisme yang diduduki Jerman). Ini menjadi bagian dari Holocaust Jerman-Nazi.
Mengatakan yang satu (langkah Pram/Lekra) adalah "Prahara Budaya" dan menyetarakannya dengan yang lain (langkah Nurmahmudi cum suis) dengan mengabaikan musibah yang lebih besar, saya kira, tidak realistis. Realisme politik menuntut gambaran yang historis.
Ketika Nurmahmudi cum suis melakukan pembakaran buku tanpa intervensi pihak negara (karena mereka menindaklanjuti langkah negara, in casu Kejagung), pihak korban sudah tiada, atau tidak (banyak) berdaya akibat imbas 1965-66 yang disebut `Tahun Tanpa Akhir' (kalau nggak salah). Terlebih penting, ini bagian dari masa yang belum berlalu, masih kontemporer, artinya, juga ada pihak korban potensial yaitu generasi mendatang.
Walhasil, benar, langkah Nurmahmudi cum suis tidak bisa serta merta disejajarkan dengan momentum Malam Kristal sebagai awal jayanya fasisme, namun mengingat imbas `Tahun Tanpa Akhir' yang berkepanjangan, mengingat transisi demokrasi yang masih kuncup dan rawan, maka wajarlah untuk menjadikan protes pembakaran buku sebagai momentum peringatan, momentum kewaspadaan dan momentum solidaritas -hal-hal yang tampaknya makin langka saja dewasa ini.
Pada titik ini, kita perlu mencatat bahwa soal waspada ke depan dan soal benih benih sejenis fasis (fascistoide) bukan hal imajiner belaka. Di Belanda berlaku pelarangan buku karya Hitler "Mein Kampf" dengan alasan karena menebar kebencian rasialis dan mengingkari Holocaust. Pelarangan di sini berarti melarang menjualbelikan dan menyebarkan buku tsb, namun boleh memiliki secara pribadi dan mempelajarinya secara akademis. Kini ada politikus ekstremis anti-Islam dan anti-Islamisme, Geert Wilders (anggota parlemen), yang mengusulkan pelarangan al-Qur'an, termasuk memilikinya secara pribadi
dan membahasnya di masjid.
Di sini Wilders, dengan semangat fasistoid, populistis, menggelindingkan bola ketakutan publik Eropa terhadap Islam - yang
sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan langkah Kejagung dan Nurmahmudi cum suis, dengan semangat populisme pasca-Orde Baru, menggulirkan bola ketakutan terhadap komunisme, yang padahal sudah tidak berdaya lagi.
Akhir kata, masih ingat pengalaman tragis banyak orang, yang melahirkan peringatan Martin Niemoeller (1892-1984) ini?
"In Germany they came first for the Communists, and I didn't speak up because I wasn't a Communist. Then, they came for the Jews, and I didn't speak up because I wasn't a Jew. Then, they came for the trade unionists, and I didn't speak up because I wasn't a trade unionist. Then, they came for the Catholicum suis, and I didn't speak up because I was a Protestant. Then, they came for me, and by that time no one was left to speak up...."
Salam damai,
Aboeprijadi Santoso,
Wartawan di Amsterdam
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.