Mas Tossi,
Saya menghargai Anda karena bersedia meluangkan waktu menulis komentar terhadap kritik saya.
Namun sayangnya Anda sama melesetnya menangkap poin utama saya, sebagaimana halnya Linda. Sebetulnya saya sudah ulangi ini dalam jawaban saya untuk Linda (yang tentu saja sudah juga Anda baca). Saya tegaskan kembali di sini: saya hanya mempersoalkan mengapa fakta bahwa Pram dan Lekra membakari buku-buku lawan ideologis mereka di tahun 1960-an itu tidak dikutip oleh surat pernyataan dari kelompok anti-bakar buku itu. Harusnya mereka mengutip juga contoh ini, selain contoh mengenai perbuatan yang mirip yang dilakukan oleh rezim Nazi Hitler di Jerman itu. Tindakan Pram dan Lekra ini diuraikan oleh Taufiq Ismail dan DS Moeljanto dalam buku mereka, berjudul "Prahara Budaya" (mungkin Anda belum sempat membacanya, padahal ini buku yang penting dan memuat banyak informasi mengenai kekerasan intelektual yang dilakukan
Lekra pada masa itu).
Dengan tidak dikutipnya tindakan Pram dan Lekra ini, telah terjadi omission of fact, alias pengingkaran fakta, yang bisa menjurus penciptaan fakta baru bahwa seolah-olah aksi bakar buku ini hanya dilakukan oleh Nurmahmudi dan lain-lain pada masa sekarang. Padahal aksi yang sama sudah dilakukan lebih dari empat dasawarsa sebelumnya oleh Pram dan Lekra.
Lawan-lawan ideologis Lekra (sebagian tergabung dalam kelompok pendukung Manifes Kebudayaan alias Manikebu ketika itu juga tak bisa melawan (tidak seperti yang Anda sebutkan di email Anda), bahkan berujung pada dibungkamnya Manikebu oleh Presiden Seokarno di bulan Mei 1964 itu.
Kalau saya mempersoalkan omission of facts mengenai Pram dan Lekra, bukan berarti saya ingin meminta agar Nurmahmudi dibenarkan dengan tindakannya membakari buku-buku di era mutakhir ini. Kedua-duanya sama-sama salah. Namun mengapa Pram dan Lekra tak dipakai sebagai contoh, malah melompat ke Jerman yang amat jauh dari jarak dan waktu? Yang saya minta adalah: sebutkan juga fakta sejarah mengenai aksi Pram dan Lekra itu di dalam surat pernyataan kelompok anti-bakar buku tadi. Hanya itu sebetulnya inti kritik saya, namun kemudian telah ditanggapi melebar kemana-mana. Andaikan fakta tersebut tercantum, tak akan pernah kritik saya itu lahir.
Mengapa fakta penting itu tidak disebutkan? Apakah semata-mata karena kealpaan murni? Atau kealpaan yang disengaja? Seorang kawan lama, wartawan senior di sebuah lembaga media terkemuka, melontarkan komentar yang sangat genial dalam email pendeknya beberapa hari lalu, mengomentari posting saya berisi kritik terhadap surat pernyataan itu. Isinya sbb (meskipun nama si pengirim saya hilangkan): "Arya, Good posting. Kelompok penyusun surat pernyataan itu bolos waktu pelajaran sejarah Indonesia. Waktu mereka balik lagi kelas, pelajarannya sudah ke bab berikutnya tentang "Adolf Hitler dan
Partai Nazi".
Saya terpingkal geli membaca email kawan lama ini. Ada unsur gurauan yang cerdas dalam emailnya itu, meski jelas bahwa dia juga mempersoalkan surat pernyataan tersebut. Saya sendiri sulit untuk menggolongkan tak tercantumnya fakta tentang Pram dan Lekra itu sebagai sebuah kealpaan murni, karena ada cukup banyak nama di dalam daftar penandatangan pernyataan itu yang pasti tahu mengenai fakta yang saya persoalkan ini. Itulah yang saya pertanyakan.
Apakah memang omission of facts itu dilakukan lantaran tak hendak mengungkit kembali aksi pembakaran buku di tahun 1960-an itu yang terkait dengan Pram dan Lekra ? Pram sudah begitu didewakan, sehingga banyak orang berkeberatan mengungkit lagi masa lalunya yang kira-kira berpeluang untuk melunturkan citranya. Yang sering diungkit adalah kekejaman yang pernah dialaminya karena dituduh terlibat PKI, agar yang muncul adalah rasa simpati dan pembelaan terhadapnya. Lambat-laun, yang akan diingat orang - terutama generasi muda yang tak sempat mempelajari sejarah secara tekun dan kritis --akan mengingat hanya hal-hal baik saja tentang dirinya, sedangkan hal-hal yang sebaliknya pelan-pelan terkubur.
Pengaburan dan penguburan sejarah seperti ini tentu saja berbahaya, dan merupakan metode yang sering dipakai oleh rezim-rezim ekstrim, termasuk oleh PKI. Saya kira pemerintah Indonesia mutakhir (cq Kejaksaan Agung) menangkap gejala pengaburan sejarah ini, sebagaimana yang terjadi pada penghilangan kata-kata "PKI" dalam buku-buku pelajaran sejarah yang memicu kontroversi ini. Itu pula yang agaknya mendasari keputusan pemerintah melakukan pelarangan terhadap buku-buku pelajaran sejarah tersebut, yang kemudian dibakari oleh Nurmahmudi dan sejumlah orang lainnya beberapa waktu lalu itu, sehingga memunculkan reaksi penolakan lewat surat pernyataan yang kini tengah kita perdebatkan ini.
Jadi, apabila Anda menangkap poin utama saya, maka tak akan muncul komentar Anda yang mempersoakan jalur penalaran yang saya kemukakan. Saya juga tak sepakat dengan komentar Anda yang menyebutkan bahwa saya telah melakukan penalaran ahistoris. Justru kritik yang saya lontarkan, sejak dari postingan awal saya berkaitan dengan topik ini, dilandasi pada niat menghargai sejarah, bukan untuk mengaburkan apalagi menguburkannya. Surat pernyataan anti-bakar buku itulah yang semestinya Anda sebut sebagai ahistoris, karena mengandung nuansa niat mengaburkan bahkan menguburkan sejarah.
Salam,
Arya Gunawan
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.