Aboeprijadi "Tossi" Santoso adalah seorang wartawan, warga negara Indonesia, yang terhormat. Bulan ini dia pensiun dari radio Nederlands. Kami sering bertemu saat liputan, terutama di daerah-daerah yang bergolak di seluruh Indonesia. Dia juga pernah sekali mampir di rumah saya di Jakarta. Saya membaca naskah-naskahnya, siaran radionya, maupun bukunya Jejak Jejak Darah: Tragedi dan Pengkhianatan di Timor Timur.
Saya tahu bagaimana dia mendapatkan liputan eksklusif, terutama soal Timor Leste dan Acheh, dan sering sekali saya kalah dari dia. Ini pertemanan wajar dua wartawan. Saling mengolok, saling bersaing, namun juga saling membantu, saling berbagi tips. Kami juga sama-sama sedih ketika tahu Ersa Siregar dari RCTI mati tertembak. Sebelum pergi ke Lhokseumawe, Siregar, Tossi dan saya menginap di Hotel Sultan, Banda Aceh.
Salah satu prestasi Tossi adalah membongkar kepalsuan Deklarasi Balibo dimana beberapa pemimpin Timor Leste teken dan minta integrasi dengan Indonesia pada November 1975. Tossi mewawancarai para penandatangan itu dan menemukan bahwa mereka dipaksa, setidaknya ditipu, agen-agen Bakin, A. Soegiyanto dan Luis Taolin, untuk teken di hotel milik Soegiyanto di Denpasar. Deklarasi inilah yang lantas dipakai Indonesia untuk menyerbu dan menduduki Timor Timur antara 1975 dan 1999.
Henry Sandee, kepala radio Nederlands, benar ketika menulis bahwa pensiunannya Tossi berarti hilangnya satu "institut" dalam lembaga ini. Kini Tossi sudah pensiun resmi dari Wereldomroep dan akan kembali ke Pulau Jawa --mungkin Blitar, mungkin Jakarta, mungkin Jogjakarta.
Saya juga akan kehilangan seorang pesaing yang tangguh. Saya tak percaya umurnya sudah 60 tahun. Tapi saya percaya, seorang wartawan macam Tossi, dalam arti yang sebenar-benarnya, tak pernah pensiun. Saya percaya dia akan terus menulis, terus bergerak. Kita harus memanfaatkan kehadiran Tossi di tanah air!
-- Andreas Harsono
Ia berada di Manila kala berlangsung revolusi kuning, di Moskow ketika berlangsung perlawanan terhadap Gorbhachov, di Phnom Penh saat perebutan kekuasan berkecamuk. Ia terkenal dengan laporannya yang "panas" dan berpihak tentang Timor Leste.
Enam puluh tahun
Pada tanggal 2 Agustus, Aboeprijadi Santoso -biasa dipanggil Tossi, berusia 60 tahun. Ia memutuskan untuk mengambil pensiun dan meninggalkan Wereldomroep. Sejak tahun 1985, Tossi bekerja sebagai jurnalis di bagian Redaksi Indonesia Wereldomroep. Sebelumnya ia aktif di bagian kami sebagai freelancer. Tossi adalah seseorang yang mengenal betul sejarah politik Indonesia, jurnalis yang penuh semangat, pembangun jaringan, seorang bohemian, penduduk dunia, dan pekerja yang melintasi batas teknologi di bidangnya.
Karenanya kepergian Tossi ini, kami sebut sebagai perginya satu "institut": perpustakaan hidup, kamus berjalan.
Datang ke Belanda
Tossi lahir di Blitar, sebuah kota di Propinsi Jawa Timur, yang juga kota kelahiran Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Pada tahun 1967, ia pindah ke Eropa. Ayahnya kala itu menjabat sebagai Duta Besar Indonésia di Brussel. Tossi menjadi pelajar di Sekolah Indonésia di Wassenaar, dan akhirnya memutuskan melanjutkannya di Universiteit van Amsterdam.
Ia merasa betah di sana, layaknya ikan di dalam air, dan memfokuskan diri dalam bidang politik, masyarakat, dan sejarah Ásia Tenggara. Pada saat itu, Tossi berhubungan erat dengan banyak orang, antaranya Frans Hüsken, Henk dan Nico Schulte Nordholt, Sjef Theunis, dan lain sebagainya.
Kelak kala ia bekerja sebagai jurnalis di Wereldomroep, jaringan tersebut sangat berguna untuk Redaksi Indonésia. Tossi bertemu dengan istrinya, Mutia Samoen -yang juga berasal dari Indonésia, di Amsterdam. Mutia pernah kuliah di Rietveld Academie. Mereka mempunyai 3 orang anak : Putri, Asri, dan Ilham.
Dari Freelancer sampai Pekerja Tetap
Pada saat ia masih mahasiswa, Tossi mengalami saat-saat yang penuh gejolak dan hingar bingar. Dia tinggal di kraakpanden --rumah atau apartemen kosong yang diduduki, dan aktif dalam berbagai gerakan dunia ketiga, dan memegang peran penting sebagai oposisi melawan rejim Soeharto. Selama masa pemerintahan Soeharto, dia terus bersitegang dengan pemerintah, dan tidak selamanya bisa masuk ke Indonésia dengan leluasa.
Selama dan setelah menyelesaikan studinya, Tossi pun bekerja serabutan di sana-sini. Antaranya sebagai tukang pos, hingga akhirnya pada tahun 80-an bekerja sebagai freelancer di Wereldomroep. Dan pada tahun 1985 ia menjadi pekerja tetap.
Tossi kemudian berkembang sangat cepat, dan memiliki ciri khas sendiri dalam memandang dimensi suatu peristiwa. Ia banyak memfokuskan diri pada berbagai laporan dari medan perang dan daerah konflik. Tahun demi tahun berlalu, semakin banyak laporannya tentang berbagai situasi krisis. Dengan muatan yang sangat tajam.
''Imigran" Daerah Konflik
Ia berada di Manila kala berlangsung revolusi kuning, di Moskow ketika berlangsung perlawanan terhadap Gorbhachov, di Phnom Penh saat terjadi perebutan kekuasaan. Dan tentu saja, Tossi pun membuat berbagai laporan dari berbagai area konflik di Indonesia sendiri. Ia sangat terkenal dengan laporannya yang "panas" kala Indonesia masih berkuasa di Timor Leste. Opininya yang tajam, dan kepedasannya dalam mengkritik, kerap bikin pemerintah gerah. Setelah Timor Leste merdeka, Tossi pun "bermigrasi" ke daerah konflik lain : Aceh, Papua, Ambon, dan Poso.
Simpul jaringan
Jaringan yang dibangun Tossi sangat baik, dan ini amat membantu dinamika kerja. Kami, misalnya dengan mudah dapat menghubungi orang-orang macam Bisschop Belo, atau Presiden Xanana Gusmao dari Timor Leste, mantan Presiden Abdurracman Wahid, para aktivis GAM, dan puluhan lain. Sebagian dari mereka, suaranya pernah mengudara di Wereldomroep.
Terutama pada Zaman Orde Baru, rumah kediaman Tossi dan keluarganya, layaknya rumah penampungan. Bukan cuma para aktivis politik macam Henry Sirait --salah satu korban penculikan aktivis zaman Soeharto-- yang ikut 'ngamar' di ruang tamu mereka, tetapi juga Gus Dur pernah jadi tukang pijat sesama 'orang tampungan'.
Nara sumber
Tossi pun sangat menikmati kerjanya dalam jurnalistik tulis. Dengan senang hati ia menulis kolom-kolomnya dalam Situs Redaksi Indonesia, dan berbagai media massa Indonesia seperti Jakarta Post.
Tulisan-tulisan, dan wawancara-wawancaranya banyak disitat oleh para pemerhati Indonesia di pelbagai negara. Ia pun kerap menjadi nara sumber penting dalam berbagai seminar tentang Indonesia, baik di Belanda maupun pelbagai negara Eropah.
Lamban tapi pasti, Tossi akhirnya dapat juga menguasai hal-hal teknik yang berkaitan dengan radio. Yah itulah Tossi. Jika ia tengah dalam perjalanan dinas, maka Redaksi Indonesia dan Bagian Automatisering akan melakukan berbagai persiapan, dan bersiaga untuk diganggu oleh pertanyaan dan kepanikan.
Kamis pekan lalu (26/7), kami mengadakan pesta perpisahan yang hangat bersama Tossi dan keluarga. Tetapi ini bukan berarti suatu akhir, kami berharap di masa depan akan terus bekerja sama dengan Tossi.
Selamat Jalan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.