Berikut ini hasil wawancara saya dengan Goenawan Mohamad, di Teater Utan Kayu, Kamis sore, 26 Juli 2007 lalu:
Oleh Rizka Maulana
RM: Tim Komunitas Utan Kayu diberitakan akan buka satu tempat kegiatan baru di Jalan Salihara, dekat Ragunan dan Universitas Nasional, Jakarta Selatan. Apakah alasannya? Untuk mengembangkan sayap?
GM: Itu sebagian kebetulan. Ada sepetak tanah yang cukup luas dan tidak mahal untuk ukuran Jakarta. Ada bantuan dana dari harian Jawa Pos, yang selama beberapa tahun terakhir ini membiayai program dan pengeluaran rutin Teater Utan Kayu. Kami putuskan untuk memanfaatkan semua itu buat membuat satu tempat kegiatan baru. Diketahui bahwa banyak penonton kegiatan kesenian di Gedung Kesenian Jakarta dan Taman Ismail Marzuki datang dari Jakarta Selatan. Satu tempat altenatif yang memudahkan mereka, akan membantu banyak hal. Lagipula tempat kegiatan itu dekat sekali dengan Balai Rakyat. Kami berencana menjalin hubungan simbiotis dengan kegiatan anak-anak di sana.
Jadi Teater Utan Kayu (TUK) akan terus berjalan?
Ya. Kami sedang menyusun pembagian kerja antara kedua tempat itu. Belum selesai.
Ada pihak-pihak yang menuduh TUK sebagai “arogan” dan “eksklusif”. Bagaimana komentar Anda?
Apakah dalam tuduhan itu ada contoh yang menggambarkan “arogansi” dan sikap “eksklusif” TUK?
Kayaknya tidak.
Kalau ditunjukkan kasusnya dan terbukti, kami akan memperbaiki diri. Kalau tidak ada, bagaimana akan saya tanggapi?
Anda sudah baca “Pernyataan sikap Sastrawan Ode Kampung” baru-baru ini?
Belum.
Di dalamnya ada penolakan terhadap “arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya”. Tampaknya ini serangan kepada TUK.
Apakah TUK disebut-sebut?
Tidak.
Kalau begitu sulit dikatakan itu serangan kepada TUK.
Anda sudah baca buletin yang disebut “Bumi Putra”?
Belum.
Kok nggak peduli?
Saya sedang tak punya banyak waktu. Di samping menulis Catatan Pinggir tiap minggu untuk majalah Tempo, saya sedang menuliskan kembali ceramah saya tentang "estetika jeda" dan satu telaah tentang Pramoedya. Saya juga sedang menyelesaikan serangkaian sajak dengan mengambil dasar novel Cervantes, Don Quixote. Sebentar lagi saya harus menuliskan satu libretto, Tan Malaka.
Kok sibuk sekali? Nggak ada waktu buat polemik?
Karena waktu saya terbatas, saya mendahulukan menulis dan menelaah. Lagipula, dalam pengalaman, di Indonesia ini sejak Polemik Kebudayaan sangat sedikit polemik yang bermutu.
Dalam buletin Bumi Putera ada kata-kata yang mengasosiasikan Anda dengan "gigolo" dan "pelacur budaya". Juga ada disebut nama "Ayu Tapi Mambu". Dengan kata lain, kata-kata yang umumnya akan dianggap kasar dan kotor.
Hmmm ....
Maksud Anda?
Mungkin penulisnya anak-anak remaja. Gejala itu seperti corat-coret di tembok kakus. Bagi saya, tak perlu dianggap serius. Saya kira kalau nanti mereka lebih dewasa, akan berubah cara menulisnya.
Taufiq Ismail menyebut adanya GSM, “Gerakan Syahwat Merdeka”. Ada yang mengatakan akronim itu mirip dengan akronim anda, “Goenawan Susatyo Mohamad”.
Ha,ha,ha.
Bagaimana tanggapan Anda tentang apa yang oleh Taufiq Ismail disebut "FAK", "Fiksi Alat Kelamin"?
Produksi akronim lagi naik, rupanya.
Menurut Taufiq Ismail, “Fiksi Alat Kelamin” itu dipelopori Ayu Utami dan Jenar Mahesa Ayu. Menurut Anda, apakah itu tepat?
Apakah Mas Taufiq menunjukkan secara persis karya mana dari kedua sastrawan itu yang menunjang statemennya?
Tidak.
Hmm. Aneh ....
1 comment:
hahaha wawancara yang aneh!
tuh yang mewawancara nanya apa ngejudge? untung bung GM nanggepinnya adem, mungkin karena pengalaman beliau yang sudah lama makan garam dunia...
good post mas:)
Post a Comment