Monday, June 11, 2007
Kesultanan Banten
Jumat ini Sapariah dan aku pergi berlibur di daerah Banten. Tujuannya, melihat-lihat sisa-sisa kesultanan Banten, yang mengalami perang dengan Belanda, antara 1813 dan 1832. Kami menginap di satu hotel kecil di kota Serang, tempat urban paling dekat untuk mengunjungi Banten.
Daerah Banten memang memiliki beberapa kota, termasuk Cilegon (industri baja), Merak (pelabuhan Sumatra-Jawa) serta Anyer dan Carita, yang dikenal sebagai tempat pesiar di Selat Sunda, serta Serang (ibukota provinsi). Kami menginap di Hotel Taman Sari, di pusat kota Serang. Hotel kecil, namun terbesar di Serang, dengan harga Rp 120,000 semalam kamar standar. Kami membeli obat gosok anti-nyamuk sesudah melihat serangga ini banyak berterbangan dalam kamar.
Sabtu pagi, kami naik mobil umum menuju apa yang disebut "Banten Lama." Ia makan waktu sekitar satu jam. Perjalanan yang panas sekali. Daerahnya lebih merupakan daerah nelayan terpencil, tanpa hotel satu pun. Aku sama sekali takkan percaya, bila tak baca buku, bahwa daerah ini lima ratus tahun lalu merupakan pelabuhan yang lebih besar dari Sunda Kelapa, yang kini jadi bagian dari metropolitan Jakarta. Banten bahkan dulu dianggap setara dengan Paris.
Bangunan, tepatnya fondasi bangunan, yang paling mencolok mata di Banten Lama adalah apa yang disebut Surosowan. Ini dulunya adalah benteng kesultanan Banten. Dulu ia disebut Gedung Kedaton Pakuwan, dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570). Temboknya yang sangat tebal ini dibuat belakangan. Ia terbuat dari batu dan batu karang,dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf (1570-1580). Tembok inilah yang tersisa. Tebalnya kira-kira 0.5-2 meter dan tingginya sekitar 5 meter. Ia memiliki empat pintu masuk. Semua bangunan sudah hancur. Hanya sisa satu kolam air. Namun tembok-tembok tebal masih menyisakan ruang-ruang penjagaan.
Bangunan yang paling banyak dikunjungi orang adalah Mesjid Agung, yang didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin. Di sisi kanan mesjid adalah bangunan tambahan, dua lantai yang disebut bangunan Tiyamah. Gedung ini dibangun oleh arsitek Hendrik Lucasz Cardell. Ia dipakai untuk tempat musyawarah. Kini sebagian gedung dipakai untuk pemakaman (dalam ruang) bangsawan-bangsawan Banten. Sapariah dan aku sempat naik ke lantai dua. Baunya alamak! Ternyata atap mesjid jadi sarang kelelawar.
Aku tertegun melihat keadaan situs bersejarah ini. Banyak kerusakan pada mesjid maupun Surosowan. Permintaan sumbangan ada dimana-mana. Pengemis juga membuntuti kami dari depan hingga belakang. Tubagus Nasruddin, kepala harian kompleks Mesjid Agung, mengatakan bahwa mereka ingin Banten dibangun "secara jujur dan bersih." Dia mengatakan pemerintah Indonesia kurang memperhatikan pemeliharaan daerah ini. Mereka pernah minta orang Badui mengusir kelelawar namun tak berhasil.
Dalam areal mesjid juga ada Menara Mesjid, juga dibangun oleh Cardell. Menurut Journal van de Reyse (De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost Indie onder Cornellis de Houtman 1595-1597), diperkirakan menara ini sudah ada pada pertengahan abad XVI. Ia diperkirakan dibangun antara 1560 dan 1570. Sapariah dan aku sempat naik ke atas menara. Tangganya terbuat dari batu. Sangat sempit. Hanya selebar 40-50 cm. Rasanya sesak di dada harus jalan menaiki tangga sesempit ini.
Kami juga melihat sisa-sisa mesjid Pacinan Tinggi, terletak beberapa ratus meter belakang Mesjid Agung. Menurut buku Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten Lama (1987), terbitan Yayasan Pembangunan Banten, yang dibantu Ford Foundation, mesjid ini kemungkinan besar dibangun sebelum Mesjid Agung. Ia disebut Pacinan tampaknya karena ia dulunya dibangun oleh komunitas Cina. Kampungnya dulu juga dinamai Pacinan. Kini disebut Dermayon karena banyak orang asal Indramayu. Dalam halaman mesjid Cina ini juga ada satu makam kuno dengan karakter Cina. Sayang, aku tak bisa membacanya walau karakter-karakter ini masih bisa dibaca jelas.
Ada satu lagi sisa bangunan benteng. Namanya, Benteng Speelwijck, yang terletak di dekat pantai, tepatnya di kampung Pamarican. Sudah hancur juga tapi fondasinya masih utuh dari batu dan batu karang. Benteng ini didirikan 1685 oleh perusahaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Di bagian luar benteng ada parit buatan. Dalam benteng juga ada ruang-ruang kerja dengan ventilasi. Temboknya setebal 2 meter.
Dekat bentent Speelwijck ada klenteng Ma Kwan Im Pouw Sat. Klenteng ini, sama dengan Mesjid Agung, adalah tempat ibadah yang masih aktif. Beda dengan mesjid Pacinan. "Dulu katanya Cheng Ho pernah kesini," kata Citra Gunawan, seorang pengurus klenteng, kepada saya. Dia memperkirakan klenteng ini dibangun sekitar 1652 di daerah Pacinan. Lalu ia pindah ke tempat sekarang, Pamarican, pada 1774. Klenteng ini sempat dipugar lagi 1932. Kini ia jadi tempat ibadah tiga "aliran agama" yaitu Taoisme, Buddha dan Khong Hu Chu. Secara Buddha, namanya adalah Vihara Avalokitesvara.
Bicara Banten juga mengingatkan aku pada buku Simon Winchester Krakatoa: The Day the World Exploded - August 27, 1883. Ledakan hebat ini disusul tsunami yang membunuh hampir 40,000 orang di Pulau Jawa dan Sumatra. Mayat-mayat korban dibawa ombak hingga ke Zanzibar. Dampaknya terasa hingga Perancis. Winchester menulis bahwa ledakan Krakatoa juga menimbulkan banyak perubahan sosial, ekonomi dan politik. Ia membantu memicu munculnya militansi para petani Jawa terhadap orang Belanda.
Menariknya, baik di klenteng maupun mesjid, aku diberitahu orang-orang bahwa tempat-tempat ibadah itu tidak rusak ketika tsunami menghantam Banten pada 1883. Menurut sebuah lembaran kuning pemberian Citra Gunawan, "Air bah mengelilingi setinggi pohon kelapa namun keajaiban telah terjadi. Air bah tersebut tidak memasuki ruangan vihara." Orang-orang disini bangga tempat-tempat ini selamat dari tsunami Krakatoa.
Kami seharian mengelilingi Banten Lama. Banyak sekali situs kuno. Ada jembatan tarik, jalan-jalan lebar, ada makam-makam "keramat" maupun kuburan orang Belanda. Aku percaya bahwa lima ratus tahun lalu, kota ini memang termasuk besar dan modern, bila melihat ragam dan besaran bangunan yang ada. Perang dengan Belanda, antara 1813 dan 1832, membuat sebagian besar bangunan hancur. Ledakan Krakatoa 1883 menciptakan kerusakan raksasa. Mungkin dua hal ini ikut mengubah Banten jadi desa nelayan sepi, yang hanya ramai dikunjungi peziarah makam-makam kuno dan vihara itu.
No comments:
Post a Comment