Wednesday, May 09, 2007

Struktur Federasi Indonesia


Sejak jadi reporter kurcaci pada 1991, saya sering mewawancarai Rahman Tolleng dari Forum Demokrasi. Isunya macam-macam tapi selalu soal politik. Saya perhatikan banyak sekali ramalan dan analisis dia benar. Lama-kelamaan saya dekat dengan "Pak Rahman" maupun kawan-kawannya: Abdurrahman Wahid, Marsillam Simanjuntak dll.

Rahman orang Bugis yang kuliah di Bandung pada 1960an. Dia terlibat gerakan mahasiswa termasuk jadi pemimpin redaksi mingguan Mahasiswa Indonesia Jawa Barat. Pada 1968, ketika Presiden Soekarno tumbang, Rahman termasuk mahasiswa yang mau berjuang "dari dalam" tubuh Golongan Karya. Dia jadi anggota parlemen serta jadi editor harian Golkar Suara Karya. Namun dia tak tahan dengan fasisme Orde Baru. Dia akhirnya dipenjara tanpa pengadilan pada 1974.

Ketika bebas, Rahman memutuskan kerja sebagai editor buku di Grafiti Pers. Dia banyak menerbitkan buku-buku bermutu. Orangnya teliti. Buku-buku pilihannya bagus-bagus. Terjemahan juga tak macam terjemahan hari ini. Kegemarannya yang unik adalah mengumpulkan kliping-kliping.

Dia orang Partai Sosialis Indonesia. Dia pernah dekat dengan Sutan Sjahrir maupun Soemitro Djojohadikusumo, dua tokoh PSI. Sjahrir bekas perdana menteri dan politikus yang menganjurkan diplomasi dengan Belanda. Seteru Sjahrir adalah Tan Malaka, yang menganjurkan jalur "perjuangan" atau militer, dalam program "Merdeka 100%." Djojohadikusumo seorang ekonom yang terlibat "pemberontakan" Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia di Sumatra dan Sulawesi lantas pindah ke luar negeri.

Terkadang "Pak Rahman" agak hati-hati. Tapi saya bisa mengerti mengingat pengalaman pahitnya. Pada 1990an, dia mendirikan Forum Demokrasi bersama Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, Bondan Gunawan, Marsillam Simandjuntak dan sebagainya.

Rahman Tolleng sering bicara Pancasila sebagai "kompromi politik" --tak perlu diteruskan kesalahpahaman Pancasila sebagai ideologi

Pancasila adalah kompromi pada Agustus 1945 antara kubu Islam, yang ingin mendirikan negara Islam berdasarkan syariah Islam, dan kubu sekuler, yang ingin memisahkan agama dan negara. Kompromi tersebut disepakati pada 18 Agustus 1945 bersama dengan diresmikannya Undang-undang Dasar 1945. Artinya, Indonesia bukan negara Islam, dan agama-agama, terutama Islam, juga dibuat berjarak, negara tak perlu campur tangan urusan agama --kecuali beberapa urusan teknis dalam Islam misalnya haji-- sebaliknya, agama-agama juga tak ikut dalam hukum dan aturan negara.

Belakangan ini, ketika saya banyak wawancara soal buku saya, Rahman Tolleng beberapa kali mengatakan bahwa Belanda sebenarnya lebih mengerti soal pembagian administrasi kepulauan ini daripada para pemimpin Indonesia. Logikanya, studi tentang berbagai aspek budaya, politik dan sebagainya, di Pulau Jawa, Sumatra, Bali dan sebagainya, tentu saja, dikerjakan lebih banyak dan lebih serius oleh orang Belanda daripada para peneliti Indonesia.

Banyak ahli Belanda di Universitas Leiden menulis dan mempelajari mulai dari menterjemahkan Nagarakrtagama karya Prapanca, dari bahasa Kawi ke bahasa Belanda, hingga bikin buku mutakhir soal communal violence pasca-Suharto. Ini artinya, dia merasa perlu melihat struktur yang dulu diusulkan Belanda sebagai struktur administrasi Indonesia.

"Tidak bisa main bagi-bagi gitu saja," katanya.

Ini penting mengingat sejak merdeka pada 1945, Indonesia tak pernah lepas dari "pemberontakan" terhadap negara ini. Mulai dari Sabang sampai Merauke, selalu ada gerakan tidak puas dengan pembagian kekuasaan dan pemerintahan di Indonesia. Tentara Indonesia tugasnya cuma, sekali lagi, cuma melawan warga Indonesia.

Struktur yang dulu dirundingkan dengan Belanda adalah Republik Indonesia Serikat, disingkat RIS, sebagai suatu negara federasi yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Jangan salah, BFO ini diwakili oleh orang-orang kulit coklat juga. Ketuanya adalah Sultan Hamid II dari Pontianak yang terpilih dalam konferensi federal di Bandung pada Mei 1948.

Kesepakatan Den Haag ini perlu dipelajari karena jangan-jangan lebih mencerminkan nilai-nilai budaya dan adat dari berbagai kelompok etnik dan struktur masyarakat yang ada di Indonesia. Perundingan Den Haag ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia.

Hasilnya, RIS terdiri tujuh negara bagian:
  • Republik Indonesia (ibukotanya Jogjakarta)
  • Negara Indonesia Timur (Makassar)
  • Negara Pasundan (Bandung)
  • Negara Jawa Timur (Surabaya namun didirikan di Bondowoso)
  • Negara Madura
  • Negara Sumatra Timur (Medan)
  • Negara Sumatra Selatan
Di samping itu, ada juga negara-negara yang berdiri sendiri dan tak tergabung dalam RIS namun duduk dalam BFO (selaku lembaga permusyawaratan). Struktur ini kepalanya adalah Ratu Belanda. Ia semacam commonwealth. Ini mirip negara-negara bekas jajahan Inggris. Mereka sudah merdeka --macam India, Malaysia dan lain-lain-- namun masih punya lembaga persekutuan dengan London. Ini simbolis saja. Struktur ini dianggap bisa mengimbangi daerah-daerah yang relatif kecil ini dari negara-negara bagian yang jauh lebih besar atau besar penduduknya.
  • Jawa Tengah
  • Kalimantan Barat (Pontianak)
  • Dayak Besar
  • Daerah Banjar
  • Kalimantan Tenggara
  • Kalimantan Timur (tidak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir)
  • Bangka
  • Belitung
  • Riau
Republik Indonesia Serikat memiliki konstitusi yaitu Konstitusi RIS. Piagam Konstitusi RIS ditandatangani oleh para pemimpin negara bagian dan daerah dari total 16 teritori:
  • Mr. Susanto Tirtoprodjo dari Negara Republik Indonesia menurut perjanjian Renville
  • Sultan Hamid II dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat
  • Ide Anak Agoeng Gde Agoeng dari Negara Indonesia Timur
  • R.A.A. Tjakraningrat dari Negara Madura
  • Mohammad Hanafiah dari Daerah Banjar
  • Mohammad Jusuf Rasidi dari Bangka
  • K.A. Mohammad Jusuf dari Belitung
  • Muhran bin Haji Ali dari Dayak Besar
  • Dr. R.V. Sudjito dari Jawa Tengah
  • Raden Soedarmo dari Negara Jawa Timur
  • M. Jamani dari Kalimantan Tenggara
  • A.P. Sosronegoro dari Kalimantan Timur
  • Mr. Djumhana Wiriatmadja dari Negara Pasundan
  • Radja Mohammad dari Riau
  • Abdul Malik dari Negara Sumatra Selatan
  • Radja Kaliamsyah Sinaga dari Negara Sumatra Timur
Struktur ini dibubarkan pada 17 Agustus 1950. Umurnya cuma tujuh bulan. Konstitusinya, yang dibuat dengan detail dan sangat melindungi hak asasi manusia, secara sederhana diubah jadi UUD Sementara 1950, yang dijadikan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Struktur NKRI ini sangat terpusat pada Jakarta. Ini jadi lebih terpusat lagi ketika pada Juli 1959, Presiden NKRI Soekarno membubarkan parlemen dan konstituante serta memakai lagi UUD 1945. Konstitusi 1945 ini notorious tak melindungi hak asasi manusia.

Jenderal Soeharto memanfaatkan stuktur dan konstitusi ini selama tiga dasawarsa, menjadikan negara-negara bagian dan daerah-daerah itu jadi sangat tergantung proses pengambilan keputusan di Jakarta.

Pelanggaran hak asasi manusia dan penipuan prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia juga termasuk salah satu yang paling parah dalam zaman modern. Hingga kini, struktur NKRI inilah yang dipakai di Indonesia.

6 comments:

Anonymous said...

ironis sekali ya mas, ternyata (sepertinya) yang lebih mengenali bangsa kita ini adalah justru orang lain, bukan diri kita sendiri.
Nggak heran kalau ternyata kita selalu diperdayai bangsa lain sampai sekarang...
duh

Unknown said...

wah Mas...Andai ada catatan proses KMB, yang menyimpulkan RIS adalah pilihan yang tepat, saat itu, pasti oke tuh.

zen said...

Jawaban buat Esti: "Catatan proses KMB yang menyimpulkan RIS sebaga pilihan yang tepat jelas tidak ada!"

Kesepakatan Den Haag itu memang ada, tetapi struktur federasi RIS yang dipaparkan di atas itu bukan hasil dari "keputusan Den Haag".

Dari situlah Rommy berkomentar memuji Belanda yang seakan lebih mengenali wlayah Indonesia. Itulah sebabnya Esti juga langsung bertanya ada gak catatan proses KMB yang merekamnya.

Struktur negara federasi RIS tidak dibahas di Den Haag, dan karenanya detail formasi dan struktur RIS terbagi ke dalam berapa negara bagian tidak bisa disebut sebagai hasil kesepakatan den haag.

Setahu saya, formasi, struktur dan jumlah negara bagian RIS itu disepakati dalam pertemuan yang waktu itu disebut sebagai "PERTEMUAN UNTUK PERMUSYAWARATAN FEDERAL". Pertemuan itu tidak digelar di Den Haag yang jauh, tapi di Jakarta, persisnya di Jl. Pegangsaan Timur 56.

Memang benar, draft UUD RIS dan pembagian negara bagian sudah dibahas lebih dulu di Belanda. Tapi itu pun tidak di Den Haag, melainkan di Scheveningen. Lagi pula, ini tidak ada bedanya dengan pertemuan di Pegangsaan Timur, karena orang yang hadir pun sama: delegasi Republik Indonesia dan wakil-wakil daerah yang menginginkan jadi negara bagian sendiri.

Sebelum memertahankan tulisan ini seperti awalnya atau merevisinya jika memang terbukti keliru (bukankah jika memang keliru penulis mesti merevisinya?), sebaiknya fakta-faktanya diperiksa kembali, lagi pula, siapa tahu saya yang ternyata meleset.

Saya pribadi memilih untuk berhati-hati memercayai begitu saja hipotesis Rahman Tolleng. Hipotesis Rahman, setidaknya seperti yang dipaparkan di tulisan ini, lebih mirip asumsi-asumsi yang kabur saja.

Coba simak argumen Rahman Tolleng yang dipaparkan esai ini, argumen yang tidak menunjukkan satu pun fakta ihwal ikhtiar Belanda dalam memelajari dan merumuskan struktur negara federal RIS, melainkan hanya asumsi, atau dalam kata-kata Tolleng sendiri, “logikanya…” (Argumen Rahman selengkapnya: “Logikanya, studi tentang berbagai aspek budaya, politik dan sebagainya, di Pulau Jawa, Sumatra, Bali dan sebagainya, tentu saja, dikerjakan lebih banyak dan lebih serius oleh orang Belanda daripada para Indonesia. Banyak ahli Belanda di Universitas Leiden menulis dan mempelajari mulai dari menterjemahkan Nagarakrtagama karya Prapanca, dari bahasa Kawi ke bahasa Belanda, hingga bikin buku mutakhir soal communal violence pasca-Suharto. Ini artinya, dia merasa perlu melihat struktur yang dulu diusulkan Belanda sebagai struktur administrasi Indonesia”.)

Konfigurasi konflik, intrik dan kepentingan pada periode itu terlalu rumit untuk membuat saya langsung percaya begitu saja bahwa struktur negara federal RIS sepenuhnya adalah ciptaan Belanda. Kalau ingin memeriksa secara lebih baik asal usul struktur federal RIS, mesti dilacak jejaknya sejak munculnya “negara boneka” pada 1946, dan tidak berhenti di Scheveningen atau Pegangsaan, apalagi Den Haag.

Apalagi untuk langsung percaya asumsi: “Jangan-jangan struktur RIS itu menandakan Belanda lebih tahu keragaman adat istiadat Indonesia”.

Saya kira, orang macam Soekarno dan Radjiman sekali pun, pasti tahu bahwa Jogja, Bandung dan Surabaya adalah tiga wilayah dengan kebudayaan dan peradatan yang berbeda. Soekarno atau Radjiman, sebagai contoh saja, tidak ketinggalan terlalu jauh lah dari Belanda dalam soal memahami bahwa Jogja-Bandung-Surabaya itu berbeda.

Lantas apakah jika Soekarno memilih kesatuan dan Belanda memilih memisahkan Bandung dan Surabaya dari RI di Jogja cukup dijadikan bukti bahwa Soekarno, dkk., kurang memahami keragaman budaya dan kewilayahan Indonesia dibanding Belanda?

Saya harus berhati-hati menjawabnya, termasuk memverivikasinya.

Tapi, kalau boleh mengira-ngira, Belanda dan Soekarno, dkk., memang berbeda cara dalam memerlakukan keragaman budaya, peradatan dan kewilayan itu. Soekarno, dkk. di BPUPKI memilih pendekatan “persatuan dan kesatuan”, sementara Belanda pasca Proklamasi memerlakukan budaya, peradatan dan kewilayan itu sebagai celah untuk menggerogoti kekuatan dan kekokohan republik yang masih bayi ini.

Kenapa begitu? Karena jelas, struktur negara federal RIS berbeda dengan struktur negara kolonial Hindia-Belanda. Kalau memang struktur negara federal RIS bisa kita “curigai” sebagai bukti pemahaman Belanda yang lebih memadai ketimbang para pemimpin cum penguasa Indonesia dalam hal kewilayahan dan keragaman adat dan budaya di Indonesia, kenapa struktur RIS tidak ia kembangkan sejak masa kolonial? Bukankah NKRI dan bentang wilayah Indonesia sekarang mengadopsi sentralisme Hindia-Belanda, minus Timor?

Ah, sayang saya tidak bertemu langsung dengan Rahman Tolleng!

EoB said...

salam sosialis!!
kunjungan perdana dan berharap kesedianya berkunjung ke gubuk saya

Stefanus Teddy said...

Bang Andreas, saya minta izin untuk share. Setidaknya kita berupaya mengumpulkan kembali kepingan2 sejarah. Yang mana yang benar dan salah toh telah banyak bukti bahwa sejarah telah banyak di manipulasi. Namun setidaknya kepingan2 ini bs jadi puzzle pembelajaran masyarakat. Thank's.

andreasharsono said...

Silahkan Teddy. Saya senang sekali bila ide ini bisa di-share.

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.