Tuesday, April 24, 2007
Nasionalisme dan Jurnalisme
Untuk Zen di Jogja dan Udin di Semarang,
Saya lagi jenuh menghadapi penulisan satu sub bab buku saya, From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism, khusus tentang intisari kejahatan Presiden Suharto. Ternyata cukup emosional juga untuk merangkum semua kejahatan Suharto. Dampak kerusakannya besar sekali. Hingga hari ini, tentu saja, kerusakan yang ditimbulkan Suharto masih terasa dalam macam-macam bidang.
Saya menulis email ini sebagai selingan terhadap kerja enam jam setiap hari dalam menulis buku. Terkadang saya letih terus-menerus membaca, riset, interview dan menulis tema yang sama ini. Saya sudah mengerjakannya selama tiga tahun lebih.
Untuk Zen di Jogja dan Udin di Semarang,
Pertama-tama, terima kasih untuk tanggapan yang panjang lebar. Saya mau menegaskan bahwa saya pribadi mengagumi Mas Marcodikromo. Pada 1991, ketika pertama kali berkunjung ke perpustakaan KITLV di Leiden, entry pertama yang saya cari adalah Mas Marco. Saya menemukan naskah karya Soe Hok Gie tentang Mas Marco. Saya setuju dengan Zen bahwa Mar Marco seorang pemberani dan punya prinsip. Dia juga orang kiri, kritis terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Namun saya tak setuju dibikinkan gelar "Bapak Wartawan Indonesia" untuk Mas Marco. Tindakan ini hanya akan bikin masalah. Tiga kata itu, "bapak" dan "wartawan" dan "indonesia," bila digabung jadi satu, akan lebih menimbulkan masalah daripada mengatasi berbagai masalah pelik yang sudah ada di Indonesia (korupsi, fasisme, militerisme, imperialisme, pelanggaran hak asasi manusia dan lain-lain).
Ini akan menimbulkan pertanyaan di tempat-tempat macam Aceh, Papua, Minahasa, Maluku dan sebagainya: "Lagi-lagi orang dari Jawa dijadikan pahlawan Indonesia." Ini akan memperkuat kesan bahwa seakan-akan Indonesia itu hanya Jawa. Anda belum tahu betapa dihinakannya Pangeran Diponegoro di beberapa tempat di luar Jawa.
Mas Marco praktis tak berbuat sesuatu untuk Aceh, Minahasa, Maluku dan lain-lain. Jangan-jangan nanti timbul perlawanan terhadap ide Zen ini dengan bentuk munculnya "Bapak Wartawan Minahasa" untuk seseorang dari Tjahaja Sijang, media zaman Hindia Belanda yang dicetak di Tanowangko?
Jangan-jangan nanti muncul penokohan seseorang dari Papua guna melawan penokohan Mas Marco dengan nama Indonesia? Acheh juga senantiasa potensial melawan dominasi Jawa di Indonesia. Saya kira kita harus sensitif terhadap harga diri mereka. Saya tidak rela bila perjuangan tulus Mas Marco --contoh lain, juga Raden Ajeng Kartini-- jadi berkurang nilainya karena perjuangan mereka dijadikan komoditas penokohan yang tak relevan.
Alasan lain, jurnalisme dan nasionalisme bukan dua isu yang compactible. Ibaratnya, kita mau mengawinkan silang seekor sapi dan sebatang pohon. Mereka berada pada domain beda.
Dulu saya pernah mempertanyakan pada Udin frasa "Jurnalisme Islami" yang seakan-akan mengatakan ada jurnalisme yang berdasarkan Islam. Logikanya, seharusnya bisa dimunculkan juga "Jurnalisme Kristiani" atau "Jurnalisme Hindu" dan sebagainya.
Ini masalah serius. Pantas para wartawan pada berantem di Maluku ketika mereka semua pakai label "wartawan Muslim" dan "wartawan Kristen." Kelak kita juga akan lihat "jurnalisme Indonesia" dibuat berantem dengan "jurnalisme Amerika" atau jurnalisme dengan dasar nation lainnya.
Tujuan jurnalisme adalah menyajikan kebenaran. Loyalitasnya kepada warga masyarakat dimana media tempatnya bekerja melayani. Ketika bekerja, mereka teoritis harus meletakkan kewartawanannya lebih tinggi dari identitas lain, baik agama maupun negaranya. Mas Marco dengan jenius dan berani melayani warganya lewat Hidoep, Sarotomo atau Medan Bergerak. Dia bekerja juga dengan orang Belanda, misalnya, Douwes Dekker dari Indische Partij, karena Mas Marco bukan orang narrow minded.
Nasionalisme adalah satu set pemikiran tentang khayalan adanya kebersamaan nasib sekelompok orang. Mereka dianggap punya nasib sama. Lantas kepentingannya dilindungi bersama pula, tanpa memandang agama atau etnik, oleh negara mereka bersama agar tercipta keamanan dan ketertiban. Namun pelaksanaan dari nasionalisme ini di Indonesia ternyata jauh dari teorinya. Jutaan warga Indonesia dibunuh atas nama negara Indonesia sejak 1945.
Jurnalisme karenanya seringkali harus bertentangan dengan nasionalisme. Anda mungkin ingat semboyan kaum nasionalis, "Right or wrong is my country." Jurnalisme dalam sosoknya yang terbaik terkadang harus memberikan laporan yang mungkin tak menyenangkan buat warga di mana ia melayani. Semboyan jurnalisme, "Right is right, wrong is wrong."
Seymour Hersh dari The New Yorker menunjukkan sosok terbaik jurnalisme di New York baru-baru ini ketika membongkar kekejaman tentara Amerika di penjara Guantanamo, Kuba. Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld mencelanya dan menyebutnya "wartawan teroris." Banyak wartawan Amerika merasa Hersh kurang patriotik. Hersh tidak peduli. Saya kira sikap Hersh ini yang justru dibutuhkan warga Amerika agar mereka tahu kejahatan Presiden George W. Bush. Hersh justru melayani warga dengan sebaik-baiknya ketika dia menempatkan prinsip kebenaran adalah kebenaran.
Bagaimana wartawan di Jakarta, Semarang atau Jogjakarta harus meliput daerah-daerah yang selalu bermasalah dengan keindonesiaan mereka? Apakah mereka harus membela Indonesia? Atau mereka memberitakan ketidakpuasan disana terhadap apa yang disebut Indonesia?
Misalnya, beberapa kalimat yang sering saya dengar di luar Jawa:
"Indonesia dulu menduduki Timor Leste. Now we're already free."
"Bangsa Jawa menghisap bangsa Acheh. Indonesia itu nama samaran bangsa Jawa."
"Kitorang di Papua tidak pernah ditanya mau bergabung ke Indonesia atau tidak. Kitorang langsung dipaksa jadi orang Indonesia."
"Maluku ini korban dari Jawanisasi."
Saya harap kita memilih memberitakan kebenaran, daripada sekedar melayani "nasionalisme" atau "imperialisme" Indonesia, sama dengan Mas Marco ketika melawan imperialisme Belanda. Jangan salah lho bahwa 90 persen dari birokrasi dan militer Belanda ini isinya ya orang pribumi.
Lantas pengalaman macam-macam orang terhadap Belanda juga beda-beda. Di Pontianak, banya sekali orang tua yang berpendapat Belanda itu baik sekali. Mertua saya bilang "zaman normal" lebih tenang daripada zaman Indonesia. Kini saya paham mengapa Sultan Hamid memilih berpihak pada van Mook daripada kepada Sukarno. Di Flores, saya juga menemukan kesan serupa, pengalaman mereka terhadap Belanda berbeda dengan pengalaman di Jawa. Ini belum lagi di Papua dimana Belanda jauh lebih populer daripada Indonesia.
Mas Marco berjasa ikut melawan imperialisme Belanda di Indonesia. Namun nasionalisme Indonesia bisa berubah jadi imperialisme Jawa, yang bentrok dengan nasionalisme Papua atau nasionalisme Acheh.
Kita harus belajar dari sejarah. Kita kini menanggung beban berat sekali bila kita memang mau membangun masa depan yang lebih baik untuk anak kita, termasuk Norman, anak saya, maupun kelak anak-anaknya Norman, cucu-cucu kita. Seyogyanya kesempatan ini kita pakai dengan maksimal daripada menciptakan problem baru. Terima kasih.
No comments:
Post a Comment