Oleh Agus Sopian
Sungguh menyenangkan bisa bicara lagi di depan forum Jambore Jurnalisme Universitas Islam Bandung, setelah absen beberapa tahun. Ini acara besar dari segi peserta. Lebih 100 orang mengikutinya. Kebanyakan mahasiswa jurnalisme di universitas itu. Sisanya, beberapa aktivis pers mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta.
Jambore kali, yang berlangsung pada 17-18 Maret 2007, digelar di kaki gunung Tangkuban Perahu, Cikole, sekira 15 km dari pusat kota Bandung. Seluruh peserta menempati tenda-tenda darurat mirip pengungsi. Sebagian dari mereka terlihat berwajah pucat, menahan kantuk dan suhu dingin.
Sebagai pengampu, saya tak sendirian. Saya satu panel dengan Ahmad Taufik, wartawan Tempo dan Bondan "Mak Nyos" Winarno, mantan pemimpin redaksi Suara Pembaruan yang kini nyambi-nyambi jadi host acara kuliner televisi. Tak seorang pun dari kami membuat makalah. Kami lebih banyak improvisasi, sebagaimana inti pesan panitia untuk memperbanyak porsi diskusi.
Dalam diskusi itu, saya kebagian beberapa pertanyaan. Salah satunya tentang hari depan koran, yang didesas-desuskan segera berakhir. Sebagai institusi berita, koran memang tak hanya bersaing secara horisontal, tapi juga vertikal. Malangnya, pesaing-pesaing vertikal ini --mulai radio, televisi hingga dotcom--kian hari kian tangguh. Mereka makin rakus kue belanja iklan.
Mudah dipahami kalau mahaguru jurnalisme Philip Meyer, sekira tiga tahun lalu, melansir bukunya yang menyiratkan kecemasan mendalam: The Vanishing Newspaper. Dia bilang, “The last daily reader will disappear in September 2043.” Beberapa tahun kemudian, pokok pikiran Meyer jadi wacana serius di kalangan asosiasi penerbit suratkabar Amerika Serikat, apalagi setelah mogul media Rupert Murdoch membawakan sebuah pidato di depan asosiasi tadi dengan materi kurang lebih sama.
Tanpa bermaksud hendak membuat antitesis terhadap tesis Meyer seraya menegasikan substansi pidato Murdoch, saya merasa hari kiamat itu masih jauh, terutama di Indonesia. Rakyat di negeri ini belum bisa mengongkosi lompatan katak teknologi mutakhir substitusi koran. Pendapatan per kapita penduduk Indonesia masih tipikal pembaca koran konvensional.
Lebih dari itu, tesis Meyer dan pokok pikiran Murdoch rasa-rasanya seperti gaung kecemasan para pengelola koran di Amerika Serikat pada 1960-an. Saat itu, drama besar perubahan media berlangsung dalam akselerasi tinggi. Radio dan televisi mulai merambah ranah jurnalisme.
Koran-koran yang melulu mengandalkan scoop, kecepatan penyampaian, berguguran satu per satu. Mereka kalah cepat oleh radio, yang mulai membuat paket siaran langsung. Kedalaman koran juga diganggu oleh siaran-siaran investigasi stasiun televisi NBC. Pendeknya, untuk bisa bertahan, koran tak hanya perlu kecepatan, tapi juga ketepatan. Tak hanya dalam, tapi juga memikat.
Tepat dalam perang besar itu, New Journalism lahir dan jadi andalan koran untuk bersaing. Tom Wolfe, Mark Kramer, Joan Didion dan banyak lagi, berada di belakang kelahiran itu. Jurnalisme Baru--lazim juga disebut Literary Journalism, Narrative Journalism atau Explorative Journalism versi panitia Pulitzer Prize -- bersandar pada keindahan penceritaan, ketepatan dan kedalaman. Scoop digantikan oleh penggalian fakta-fakta baru yang bersembunyi di balik berita.
Produk jurnalisme jadinya tak lagi pendek-pendek, melulu straight news, tapi juga naratif dan kadang-kadang disajikan serial mirip cerita bersambung. Frasa bahwa pembaca koran adalah lapisan publik yang sibuk sehingga tak cukup waktu membaca karya panjang-panjang, belakangan dituding sebagai alat kalangan radio dan televisi untuk mengecoh pengelola koran.
Itu dari segi isi. Dari segi medium, koran juga punya alasan untuk hidup lebih lama lagi. Kita tahu, koran pada mulanya hanyalah lempengan batu atau kayu yang disebut Acta Diurna itu. Julius Caesar, penguasa Roma, menggunakan Acta Diurna untuk menuliskan pengumuman-pengumuman penting kerajaan.
Produksi massal koran berlangsung sejak Laurens J. Coster menemukan mesin cetak, yang juga dikembangkan Guttenberg. Walaupun semua negara ramai-ramai menerbitkan koran dalam bentuk lembaran-lembaran sederhana, hingga dasawarsa kedua abad 15 koran di Inggris tak lebih dari cafe dan bar. Di tempat-tempat itulah orang bertukar informasi.
Terlihat dengan jelas, koran bisa bermetamorfosa senafas dengan perkembangan peradaban. Di masa depan, koran mungkin tak sekadar lembaran kertas tapi bisa berwujud lain. Presedennya telah ada. The Guardian misalkan menjual lembaran koran dalam bentuk file PDF yang bisa diunduh orang di seluruh dunia.
Para penerbit koran pun bisa menggunakan jurus yang dilakukan Chicago Tribune. Koran ini menggalang aliansi vertikal dengan ChicagoLand Television. Televisi ini memerlukan krebilitas dari nilai-nilai jurnalisme Tribune yang telah berusia hampir 1,5 abad. Tribune sendiri perlu cantelan masa 1,1 juta pemirsa yang dimiliki televisi itu untuk dijual kepada pengiklan. Koran modern memang bukan menjual oplah kepada publik, tapi menjual publik pada advertiser.
Jurus lain adalah memanfaatkan teknologi paripurna macam San Jose Mercury News di California, yang menyajikan berita lewat koran elektronik. Koran ini berupa layar komputer nirkabel sebesar buku dan dapat dibawa ke mana-mana. Isinya gabungan digital antara teks, gambar, foto berwarna, suara dan video gerak. Vic Sussman, kontributor US News & World Report, mengungkapkan, kini tercatat ada 2.700 koran yang sedang bersiap-siap memanfaatkan teknologi canggih itu.
Perkembangan itu melegakan. Dan inilah sesungguhnya akar optimisme saya untuk tak percaya dekatnya hari kiamat koran. Di Indonesia khususnya, koran boleh jadi masih akan hidup setengah atau seabad lagi, dan saat itu saya mungkin sudah menutup mata.
* Edisi Cetak dimuat di Jurnal Nasional, 20 Maret 2007.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.