Saturday, March 31, 2007
Merekam Gambar atau Menolong?
Dear Mas Andreas,
Kami jurnalis di Lhokseumawe punya pengalaman menarik dalam kasus penganiayaan empat prajurit TNI di Desa Alue Dua, Nisam, Aceh Utara. Pada 21 Maret lalu, sejumlah wartawan mendapat informasi dari pihak GAM tentang adanya empat anggota TNI yang mereka tahan karena dituduh melakukan kegiatan mata-mata.
Sejumlah wartawan kemudian datang, saya tak termasuk karena sedang liputan di Aceh Tamiang. Menurut cerita rekan-rekan yang datang, sampai di lokasi empat prajurit itu sudah diikat. Di depan wartawan, mereka disiksa sampai babak belur. Warga banyak yang menonton. Saya melihat rekaman rekan-rekan TV yang belum diedit. Sungguh mengerikan.
Kasus seperti ini sebenarnya sering dialami kawan jurnalis di Aceh. Orang GAM memang sering mengundang wartawan. Tapi mengundang untuk mempertontonkan penyiksaan, sungguh bukan liputan yang menyenangkan. Sebelumnya, saya juga sering mengalami kasus serupa. Dengan pihak TNI juga. Misalnya, TNI menyiksa tersangka GAM di depan kami.
Kembali ke kasus Alue Dua, Pangdam Iskandar Muda menyesalkan sikap wartawan yang menurutnya menikmati penyiksaan itu. Wartawan memang diam saja ketika empat TNI disiksa. Habis mau gimana, mau melarang tentu tak berani karena bisa dituduh macam-macam.
Menurut Mas Andreas, bagaimana sikap jurnalis yang benar dalam menghadapi kasus seperti ini? Kalau TNI atau polisi meminta gambar atau foto penyiksaan itu, karena dianggap kriminal, apakah harus diberikan? Kalau ditolak, apa alasan yang bisa kita berikan?
Kalau dari awal jurnalis sudah tahu akan ada penyiksaan terhadap anggota TNI, bagaimana sikap kita? Memberitahukan polisi, meski dengan risiko terancam bila GAM tahu? Atau diam saja?
Mohon saran dari Mas Andreas. Jawaban Mas Andreas nanti akan saya forward ke rekan-rekan jurnalis di Lhokseumawe dan sekitarnya. Terima kasih banyak.
Salam:
Ayi Jufridar
Dear Ayi Jufridar di Lhokseumawe,
Terima kasih untuk email Anda. Saya jadi lebih tahu kasus di Alue Dua, Nisam, dengan membaca email tersebut. Saya juga tahu bahwa Nisam adalah salah satu daerah hitam yang banyak menyimpan dendam dan kebrutalan. Ingatkah Anda foto jepretan Tarmizy Harva di Seumirah, juga di daerah Nisam, pada Juni 2003?
Foto itu menggambarkan seorang petani Aceh, Muzzakir Abdullah, mati di pohon pinang, ditangisi saudara-saudara perempuannya. Tarmizy menang World Press Photo dari foto tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana seharusnya wartawan bertindak bila penyiksaan tengah berlangsung? Mencegah penyiksaan atau mungkin juga pembunuhan? Atau sekedar merekamnya? Atau juga menyiarkannya?
Kami di Pantau pernah menulis kasus serupa yang dialami wartawan James Nachtwey di Ketapang, Jakarta, serta Charles Dharapak di Sampit, Kalimantan. James Nachtwey wartawan dari VII. Dia sering menang hadiah dan caranya bekerja pernah difilmkan dokumenter dengan judul War Photographer. Dharapak wartawan Associated Press. Dia saudara ipar Dino Patti Djalal.
Pada 1999, Nachtwey merekam sekelompok pemuda Maluku dikejar milisi Front Pembela Islam. Gambarnya merekam seorang milisi memotong leher si pemuda Maluku. Ada juga gambar si orang Maluku itu melindungi kepalanya dari kejaran para milisi, lengkap dengan tongkat, parang dan sebagainya. Nachtwey menang World Press Photo award dari Ketapang.
Pada 2001, Dharapak merekam pembunuhan orang Madura. Gambarnya, menggambarkan beberapa sosok mayat tanpa kepala dan seorang milisi Dayak memegang mandau panjang. Darah dimana-mana. Gambar Dharapak dipakai untuk cover majalah Time. Ia juga muncul di banyak majalah lain, termasuk Far Eastern Economic Review, Newsweek, Asiaweek dan sebagainya.
Kalau Anda sempat baca laporan-laporan itu, kebetulan saya yang menulis, Anda akan lihat bagaimana Nachtwey menerangkan prinsip wartawan pada posisi sulit itu.
Pertama-tama, si wartawan harus berusaha mencegah penyiksaan atau pembunuhan. Baik itu TNI, GAM, FPI atau siapa pun. Sejahat apapun tuduhan terhadap mereka, kita harus berusaha mencegah.
Kita juga sesama manusia. Penyiksaan termasuk pelanggaran terhadap kemanusiaan. Bahkan dalam perang sekali pun, ada konvensi Geneva, yang melarang penyiksaan. Bila kalian ada banyak orang, tentunya, lebih mudah guna menyakinkan para pelaku untuk menghentikan penyiksaan.
Pada kasus Ketapang, Nachtwey minta para milisi tak membunuh si pemuda Maluku. Mereka marah sekali bahkan melarang Nachtwey mengambil foto. Kesulitan lain, Nachtwey sendiri dan tak bisa bahasa Melayu. Cuma bilang, "No, no, no."
Kedua, ketika pada batasan tak bisa menolong sudah terlewati, maka tugas kita berikutnya adalah merekam gambar-gambar itu. Nachtwey berada pada posisi sulit ketika memotret.
"No photo, no photo," teriak para milisi. Dia mundur tapi memotret lagi.
"No photo, no photo," teriak mereka lagi. Nachtwey mundur tapi sebentar kemudian memotret lagi.
Dia mengatakan pada saya bahwa dunia harus melihat. Dunia harus menyaksikan kekejaman ini. Wartawan tak boleh memprovokasi penyiksaan. Wartawan harus berusaha mencegah. Namun kalau pencegahan tak bisa dilakukan, kita harus mengambil gambarnya. Nachtwey praktis mengambil banyak sekali gambar serupa di seluruh dunia.
Walau Dharapak dan Tarmizy agak beda, mereka hanya melihat mayat korban, tapi esensinya sama. Mereka menyiarkan kekejaman tersebut. Mereka tak melakukan sensor diri. Gambar-gambar itu harus kita siarkan. Sekejam apapun harus kita siarkan. Perang Vietnam mungkin akhirnya beda bila wartawan-wartawan foto disana tak menyiarkan kasus-kasus yang tragis. Ingat gambar satu Vietcong ditembak perwira Vietnam Selatan langsung di kepala? Gambar-gambar penjara Guantanamo maupun Abu Ghraib juga takkan menyentak perhatian dunia bila tak disiarkan.
Kalau ada militer yang minta, ya tinggal beritahu media mana yang memuat gambar-gambar yang sudah disiarkan itu. Tapi please jangan memberikan gambar yang belum disiarkan. Kita bisa dianggap punya keberpihakan bila memberikan gambar-gambar yang belum masuk domain publik itu.
Soal "kalau" sudah tahu akan disiksa, apakah perlu memberitahu polisi lebih dulu? Saya agak sulit menjawab pertanyaan dengan parameter "kalau" begini. Sulit mengukur dimensinya.
Saya kira itu dulu dari saya. Silahkan forward email ini ke Lhokseumawe. Terima kasih.
Andreas Harsono
Wednesday, March 28, 2007
Surat dari Jarar Siahaan
bang andreas,
suratku ini mungkin akan menyita waktu dan pikiran abang. tapi aku tahu abang itu tipe wartawan yang seperti apa; tulisan-tulisan abang yang kubaca selama ini tidak bisa berbohong.
aku jarar siahaan. aku punya satu istri dan tiga anak [walau satu sudah meninggal "karena" idealisme anti-amplopku, tapi dia tetap kuhitung sebagai anakku]. terakhir aku wartawan harian global terbitan medan untuk wilayah balige, kabupaten tobasa, sumut.
sudah 12 tahun aku wartawan, dan tiga tahun di antaranya "kupakai" untuk menyengsarakan anak-istriku. aku pernah redaktur di grup jawa pos di medan, 2001, dan aku mundur karena istriku menuntut cerai [ia tak sanggup lagi harus meminta beras dari mertuanya]. selama jadi redaktur, setiap pertengahan bulan aku pasti meminjam uang dari kawan-kawan di kantor untuk sekadar ongkos menjenguk istriku di kampung. mulai pemred [waktu itu bang choking, salah satu pendiri aji medan], redpel, korlip, para redaktur, reporter kota, petugas layout, fotografer, staf iklan, hingga office-boy pun sudah pernah kupinjam duitnya -- biasanya 50 ribu.
setelah kami ke palembang untuk "mengubah nasib", aku mengundurkan diri dari aji. pada surat pengunduran diri yang kutulis dengan mesin ketik itu kukatakan: "aku tidak sanggup lagi untuk tidak menerima amplop. aku tidak sanggup lagi melihat anakku gibran yang selalu tersenyum lucu walaupun tubuhnya dibalut baju yang sangat sempit dan usang ...."
bang andreas,
selama 12 tahun jadi wartawan media cetak, selama itu pula batinku selalu berontak. setiap meliput, setiap aku pindah media, selalu kutemukan para pembohong. akhirnya aku tak sanggup lagi. pada 20 maret lalu, aku memutuskan untuk tidak lagi terikat dan bekerja di media -- walaupun pemred global sebelumnya menawari aku jadi redaktur. lantas kubikin sebuah blog berita independen: bataknews.
tadi pagi kukirim dua surat terbuka yang kutujukan pada aji, wartawan, dan blogger indonesia. surat ini juga kukirim via email ke majalah tempo, dewan pers, aji indonesia, aji medan, arya gunawan di unesco jakarta, dan kippas medan.
aku menulis surat ini kepada abang karena aku butuh teman. aku selalu kesepian. aku dianggap "gila" di kampungku.
aku tidak ingin abang segera bereaksi membaca surat ini; sebab abang tidak akan bisa mengetahui latar masalahnya -- dan aku tahu, itu jugalah dalam benak abang sekarang. jika abang punya waktu, kumohon abang mau membaca sejumlah tulisanku dan komentar para pembaca blogku soal jurnalisme di bataknews. mudah-mudahan dengan begitu abang bisa lebih memahami.
aku tak tahu apa yang sedang kuharapkan dari abang dengan menulis surat ini. aku hanya merasa tersisih. aku butuh teman.
kuucapkan banyak terima kasih kepada abang.
salam,
jarar siahaan
Jl. SM. Raja 212 Balige, Kabupaten Tobasa, Sumut
Dua Surat Terbuka
Surat Terbuka untuk AJI Indonesia
Salam,
Aku Jarar Siahaan. Pada 2000-2003 anggota AJI Medan. Aku mengundurkan diri kemudian.
Aku cuma wartawan kampungan [tinggal dan meliput di kampung -- Balige -- kota kecil di tepi Danau Toba]. Ilmuku cuma sampai SMA. Tak pernah kuliah ilmu jurnalistik, ilmu politik, ilmu antah-berantah seperti banyak wartawan Jakarta pelajari. Tapi aku paham "ilmu kebatinan" -- sesuatu yang membuatku patuh pada batinku, patuh pada hati nuraniku.
Dari AJI aku belajar banyak hal; terutama bahwa wartawan harus independen. Dan dari kakekku aku belajar lebih hebat dari situ; bahwa apapun profesi kita, jangan pernah membohongi hati nurani. Abang dan kakak di AJI Indonesia pasti tahu; sudah terlalu banyak wartawan Indonesia yang tak malu membohongi batinnya sendiri.
Setelah 12 tahun bekerja di media cetak, antara lain redaktur di Grup Jawa Pos di Medan, kini aku "bertobat". Aku muak melihat pers daerah; hampir semua tukang bohong.
Sejak 20 Maret lalu aku menjadi "pembantu" istriku mengurus jualannya di depan rumah kami; oli-campur becak dan voucher HP elektrik. Aku akan menghidupi kedua anakku dari berdagang. Aku tak mau lagi kehilangan anakku, seperti tujuh tahun lalu, atau mendengar lagi tuntutan cerai dari istriku gara-gara aku sibuk dengan idealisme -- sebab aku mematuhi kode etik AJI sepenuhnya. Jiwaku tetaplah jiwa wartawan; nafasku juga masih nafas AJI. Sebab itu kubuat blog berita independen BatakNews.
Aku menulis surat ini dengan maksud dua hal:
Kalau kawan-kawan AJI masih peduli bahwa wartawan harus independen, dukunglah aku. Bukan duitmu yang kuminta; bukan seminar-seminarmu atau proyek bukumu yang menghabiskan anggaran itu. Tapi beri aku dukungan moral, beri aku semangat. Cuma itu. Tapi jangan dukung aku kalau kau tidak tulus. Aku tak butuh basa-basi.
Jangan kalian "rusak" para jurnalis pemula dengan kampanye tolak-amplop. Yang harus dilakukan AJI adalah mendesak semua media agar menggaji wartawannya dengan layak. AJI harus berani menggalang semua wartawan untuk mogok kerja. Setelah itu terpenuhi, barulah "sikat" wartawan yang menerima amplop. Dan sebelum media memberi gaji layak, hentikan kampanye tolak-amplop. Jangan sampai ada [lagi] wartawan yang lugu mengorbankan anak-istrinya demi paham yang kalian ciptakan.
Abang dan kakak jangan dong berpura-pura buta; hampir semua koran daerah tak menggaji wartawannya dengan layak. Sebagian besar di bawah Rp 1 juta, itu pun cuma bagi wartawan yang bertugas di ibukota provinsi; sementara di kabupaten umumnya tidak digaji. Juga banyak media nasional yang tak menggaji wartawannya di daerah dengan layak. Aku mau bertanya: begitu banyak anggota AJI di seluruh provinsi dan bekerja di koran lokal, apa penjelasan yang masuk akal bahwa mereka tidak terima amplop? Oh Tuhan, alangkah kita -- kau dan aku -- sudah lama berbohong.
Pada tengah malam itu, 20 Maret dini hari, air mataku menetes di depan komputer; melihat semua tulisan yang akan segera kuungkap ke publik.
Salamku untuk semua anggota AJI; jangan bohongi nuranimu.
Jarar Siahaan
Jl. SM. Raja 212 Balige, Kabupaten Tobasa, Sumut
Surat Terbuka untuk Wartawan/Blogger Indonesia
Blog bukan cuma media-tanpa-sensor; blog telah menjadi malaikat penolong dan tempat meneduhkan nurani bagi jurnalis yang masih punya rasa malu.
Media di Indonesia, terutama koran daerah, adalah mesin-uang bagi para bunglon, pemeras, politisi, dan pelacur idealisme.
Kurindukan suatu hari nanti, koran yang begitu akan mati; sebab mereka sering membunuh kebenaran. Kuimpikan detik ini, setiap warga akan menulis dan mengedit beritanya sendiri.
Blog adalah tempat di mana hati nurani bisa merdeka.
Salamku untuk semua wartawan Indonesia; jangan bohongi nuranimu.
Jarar Siahaan
Jl. SM. Raja 212 Balige, Kabupaten Tobasa, Sumut
Monday, March 26, 2007
Menjawab Dedy Armayadi
Untuk Dedy Armayadi di Pontianak,
Saya kira setiap penulis harus menemukan dan mengembangkan gayanya sendiri bila menulis. Kalau masih tingkat awal, bolehlah belajar dari gaya orang lain, namun belajar dari gaya orang lain, mungkin agak repot. Saya sendiri merasa bukan orang yang punya bakat menulis. Bedakan misalnya dengan Goenawan Mohamad, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono dan sebagainya. Mereka punya style karena mereka memang jago menulis.
Saya sama sekali bukan jago menulis. Saya lebih seorang wartawan, dimana saya mengedepankan data-data serta logika daripada gaya. Ini tak berarti mereka yang punya gaya tak mengedepankan data dan logika. Baik pada "Dari Thames ke Ciliwung" maupun "Republik Indonesia Kilometer Nol" serta "Hoakiao dari Jember," saya kira, semuanya mau menyampaikan data-data.
Intinya, bagaimana menyajikan data-data itu agar mudah dimengerti? Kalau sempat mempelajari pedoman penulisan Pantau, mungkin itulah cara-cara menyajikan data dengan sederhana agar orang cepat mengerti dan terikat pada bacaannya.
Misalnya, saya tentu takkan menganjurkan Anda memakai singkatan-singkatan PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin), TN BB-BR (Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Polhut, Kodim dan sebagainya. Makin banyak singkatan, makin menurun minat pembaca pada narasi Anda. Tak semua orang mudah ingat PETI, TN BB-BR, Kodim dan lainnya.
Saya juga tak menganjurkan orang ditulis umurnya dengan cara yang Anda lakukan: "... Agus Hardyansyah (37) bersama istrinya Bernadeta (30), serta tiga anaknya: Purianto (9), Feronika Sena (5), dan Vaskalis (4)."
Umur-umur mereka tak relevan buat pembaca. Kecuali umur itu relevan diketahui pembaca, barulah Anda menaruh umur dalam tanda kurung. Saya juga tak suka memakai huruf kapital. Makin banyak huruf kapital, makin capek mata pembaca.
Lantas analisis. Anda perlu punya analisis. Ini bagian paling sulit dalam sebuah reportase panjang. Kita bisa menyajikan fakta (where, when, who, what, how) namun unsur "why" biasa dianggap paling sulit. Anda perlu duduk dan merenung apa esensi dari liputan itu.
Kalau Anda tak keberatan, mohon laporan Anda itu diperbaiki lagi dengan menghilangkan singkatan, meminimalkan huruf kapital dan sebagainya. Kita tengok lagi sesudah ada koreksi-koreksi itu. Terima kasih.
Saya kira setiap penulis harus menemukan dan mengembangkan gayanya sendiri bila menulis. Kalau masih tingkat awal, bolehlah belajar dari gaya orang lain, namun belajar dari gaya orang lain, mungkin agak repot. Saya sendiri merasa bukan orang yang punya bakat menulis. Bedakan misalnya dengan Goenawan Mohamad, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono dan sebagainya. Mereka punya style karena mereka memang jago menulis.
Saya sama sekali bukan jago menulis. Saya lebih seorang wartawan, dimana saya mengedepankan data-data serta logika daripada gaya. Ini tak berarti mereka yang punya gaya tak mengedepankan data dan logika. Baik pada "Dari Thames ke Ciliwung" maupun "Republik Indonesia Kilometer Nol" serta "Hoakiao dari Jember," saya kira, semuanya mau menyampaikan data-data.
Intinya, bagaimana menyajikan data-data itu agar mudah dimengerti? Kalau sempat mempelajari pedoman penulisan Pantau, mungkin itulah cara-cara menyajikan data dengan sederhana agar orang cepat mengerti dan terikat pada bacaannya.
Misalnya, saya tentu takkan menganjurkan Anda memakai singkatan-singkatan PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin), TN BB-BR (Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Polhut, Kodim dan sebagainya. Makin banyak singkatan, makin menurun minat pembaca pada narasi Anda. Tak semua orang mudah ingat PETI, TN BB-BR, Kodim dan lainnya.
Saya juga tak menganjurkan orang ditulis umurnya dengan cara yang Anda lakukan: "... Agus Hardyansyah (37) bersama istrinya Bernadeta (30), serta tiga anaknya: Purianto (9), Feronika Sena (5), dan Vaskalis (4)."
Umur-umur mereka tak relevan buat pembaca. Kecuali umur itu relevan diketahui pembaca, barulah Anda menaruh umur dalam tanda kurung. Saya juga tak suka memakai huruf kapital. Makin banyak huruf kapital, makin capek mata pembaca.
Lantas analisis. Anda perlu punya analisis. Ini bagian paling sulit dalam sebuah reportase panjang. Kita bisa menyajikan fakta (where, when, who, what, how) namun unsur "why" biasa dianggap paling sulit. Anda perlu duduk dan merenung apa esensi dari liputan itu.
Kalau Anda tak keberatan, mohon laporan Anda itu diperbaiki lagi dengan menghilangkan singkatan, meminimalkan huruf kapital dan sebagainya. Kita tengok lagi sesudah ada koreksi-koreksi itu. Terima kasih.
Thursday, March 22, 2007
Flores Pos daily newspaper
By Frans Anggal chief editor of the Flores Pos in Ende
A paper presented at the Conference of the Representatives of Catholic newspapers in Asia Seoul, 22-23 March 2007. This paper was translated from Malay to English by Andreas Harsono of Pantau media group in Jakarta.
Indonesia is a country that hosts the largest Muslim population in the world. But it has a strong Christian presence on its eastern area, living in sparsely populated islands like Flores, Rote, Timor, Papua, the Malukus, central and north Sulawesi as well as smaller islands like Tanimbar, Kei, Dobo etc. Indonesia’s most important island is Java where around 65 percent of Indonesia’s total population of 220 million live. Java’s landmass, however, accounts for about six percent of the total land areas, putting the issues of population the most crucial agenda in Indonesia.
Flores is a predominantly Catholic area. Around 95 percent of its 2.5 million population are Catholics. The most influential Catholic organization in Flores is the Societas Verbi Divini (SVD). In 1912, SVD established office in Ende, a small town in central Flores, to start doing evangelical works initiated earlier by Jesuit and Dominican priests since the 17th century in eastern Flores and Timor Island.
SVD runs not only churches but also schools, farms and publications. It currently has a book publishing company, PT Arnoldus Nusa Indah, as well as the Flores Pos daily, Dian weekly tabloid and Kunang-kunang children magazine. PT Arnoldus' office is located on El Tari Street in Ende, sharing a single compound with the Flores Pos daily, the Dian weekly and the Kunang-kunang children magazine. It also has some meeting rooms and a hall for a bigger event.
Historial Backgrounds
In 1925, four years after securing its office in Ende, SVD published the Bintang Timur monthly magazine. Unpaid subscription, however, prompted the SVD to close this magazine in 1937. It is very likely that Indonesia nationalist leader Soekarno, who was exiled in Ende in the early 1930s by the Netherlands Indies administration, also subscribed to Bintang Timur. Soekarno befriended some SVD priests in Ende.
In 1948, SVD published Bentara bi-weekly and its insert Anak Bentara children magazine. Bentara became quite popular, supporting SVD’s education programs and schools, making the circulation to peak at around 35,000 copies. Financial difficulties again prompted SVD to close the bi-weekly in 1958.
In 1973, SVD created new magazines: Dian bi-weekly and Kunang-kunang children monthly magazine. Kunang-kunang was pretty famous not only in Flores but also in many parts of Indonesia, including Java. In 1987, Dian became a weekly tabloid.
In the 1980s, Indonesia started to see the emergence of Java-based media conglomerates such as the Kompas Gramedia Group, the Tempo Jawa Pos group and the television industries. An unexpected result of the SVD’s media works is that Flores has produced many journalists, prompting the Flores-educated journalists and editors to work in the emerging media networks. Today the number of Flores journalists working in Java is bigger than those working in their homeland.
In 1998, General Suharto, Indonesia’s strongman who ruled the country since 1965, was forced to step down from power. It prompted a huge political upheaval in the archipelago. Indonesia’s secessionist provinces such as Aceh, Papua and East Timor immediately pressured for their independence. Other provinces in the Maluku islands, partly in Borneo as well as in Sulawesi were involved in violent communal violence. Muslim and Christian fighters engaged in deadly wars in the Malukus and Poso in central Sulawesi. Anti-Chinese riots also rocked Jakarta and Solo in Java as well as Medan in northern Sumatra. Political assassinations were the news of those days.
In August 1999, East Timor voted for independence in a UN-administered referendum. Indonesian military and their militias burned and looted East Timor. Around 10,000 East Timorese died in the massive burning and killing, raising the anger of the international community against the Indonesian military. President Bill Clinton decided to impose a military embargo against Indonesia. His move was copied by other western countries.
Retreating Indonesian generals subsequently faced a new problem. Where should they place thousands of displaced soldiers and militias as well as their families? International peacekeeping forces obviously prevented these frustated soldiers to return to East Timor. An idea circulated among the generals. They wanted to move their retreating soldiers and militias to neighboring Flores. They wanted to move the Dili-based Wirasakti military command to Ende.
It alarmed Flores leaders as well as the Flores diasporas in Java. Hosting thousands of frustated soldiers, who were regularly involved in burning and killing, is a serious threat in a relatively peaceful area like Flores. As a major institution in Flores, SVD was also involved in the debate. Dian weekly was considered to slow to report on the rapid daily development of the pressing issue. SVD decided to publish a daily newspaper in a bid to accommodate various opinions over the plan and to inform the public about such a plan. On Sept. 9, 1999 SVD published the Flores Pos daily in Ende, mobilizing the public opposition against the plan. Founding members included publisher Henri Daros SVD, chief editor John Dami Mukese SVD, Frans Ndoi SVD and Valens G. Doy (Kompas daily journalist). Flores figures in Jakarta intensively lobbied the military. President Abdurrahman Wahid finally shelved the military plan in 2000.
SWOT Analysis
The military issue was the starting point in publishing the Flores Pos. It then began to regularly bring news reports and editorial pieces from Monday to Saturday every week. Its mission is to voice the oppressed and to monitor those in power.
It is owned by a Catholic order but the Flores Pos is more like a regular newspaper. In a bid to promote religious dialogues, it provides religious columns for every religion in Flores. Its workers are religiously diverse. They are mostly Catholic but it has Muslim and Protestant employees indeed. The Friday Forum column is dedicated for Muslims while the Sunday Forum are for Catholics and Protestants.
Currently it also conducts monthly discussions on various issues in a bid to broaden the intellectual discourses among its audience. It sometimes open public donation for the poor and natural disasters victims. When Manggarai had a major landslide in March, killing more than 60 people, the Flores Pos opened a public donation. It collected more than 20 million rupiah ($2,000). It also conduct annual seminars on economic, political and cultural outlooks.
Fact Sheet
Format: tabloid Monday-Saturday
Pages: 1999 (8) 2001 (12) 2003 (16)
Legal status:
1999-2002 under Flores Media Foundation
2002-now under PT Arnoldus Nusa Indah
Vision: establishment of truth, justice, peace and integration of creation
Mission: to conduct prophetic dialogues with the oppressed people, other religious communities, other cultures and other ideologies
The Flores Pos has some strength factors. According to the 2006 audience survey by Pantau, it has a strong brand name. Eighty four (84) percent of the surveyed respondents in Flores know the Flores Pos. It is just less two percents from its main competitor, Pos Kupang daily, at 86 percent. Pos Kupang is a subsidiary of the Kompas Gramedia Group. It is based in Kupang in western Timor.
Flores Pos locally produces 90 percent its contents. They are supplied mainly by its seven bureaus in Flores and one in Kupang. The bureaus are stationed in towns like Labuan Bajo, Ruteng, Bajawa, Ende, Sikka, Larantuka and Lewoleba on Adonara Island. More than 60 people work for the Flores Pos. They include 23 editorial staff. The others are working on its marketing, finance, distribution etc.
In September 2006, the newspaper began to make unprecedented changes. Georgia Scott of The New York Times helped redesign the Flores Pos. She introduced cleaner, more spacious and easy-to-navigate news design. The newspaper also introduced bylined news reports. It is a rare even among Jakarta newspapers. The newspaper also put the mobile number of its reporters near their names, providing a chance to involved readers to call the reporters if the stories lacking something. It also publishes a feature story everyday on the front page. Reporters should also verify their stories. They can’t publish single-sourced stories. The SVD is committed to have these chances.
Obviously the newspaper also has its weakness. Its human resources lack training. Many journalists are not well trained to report and to write analitically. The non-editorial staff are mostly high school graduates. None of them specializes on business development and marketing.
Financially its income is not enough to cover expenses. Everyday it prints 3,500 copies of which 70 percent go to subscribers. It is priced at 2,000 rupiah per copy ($20 cents). Financially it should only break even if printed 7,000 copies.
Its equipments, from computers to cameras, from printing press to transportation means, are pretty old. Most correspondents send their stories by fax. The reports, when reaching the newsroom in the evening, must be retyped. Most bureaus have no internet connection. Its printing press is not for newspaper printing. It has no newspaper folding facility. Workers have to manually fold 3,500 copies of printed papers, every night, into folded newspapers.
The Flores Pos has some opportunities. It could increase its circulation based on the fact that the reading habit in Flores is higher than Indonesia's national average. It is now working with Swisscontact and Pantau to increase the newspaper’s capacity building.
In March, the Flores Pos is also published jointly with Hidup magazine in Jakarta. It makes a possible passage to raise advertisement incomes from ad agencies in Jakarta. Last but not the least, small and medium enterprises are growing in Flores. Flroes has no big industries. But these small companies are stronger and more durable than the big ones. It was proven during the Asian economic crisis. They want to advertise in the Flores Pos.
The possibility to set up a Catholic newspaper network in Asia is also a chance to increase its capabilities.
The treatment factors are quite numerous. Land transportation in mountainous Flores is very tough. It takes one week just to travel from Labuan Bajo in the west to Larantuka in the east. Newspaper distribution is very expensive. Using public transport is costly. Having our own distribution is also costly.
Today the Flores Pos is “surrounded” by Pos Kupang’s long distance printing presses in Ruteng (west Flores) and Maumere (east). It is quite a challenge. In Flores, people don’t buy two newspapers in a single day. If they already buy Pos Kupang, obviously they won’t buy the Flores Pos.
Newsprint must also be imported from Java and the shipment cost is quite dear. Another treatment is the oil prices that always increase in Indonesia over the last ten years. It prompts higher inflation every year. Flores is also one of Indonesia’s lowest income areas. The public buying power is limited. They prefer to secure their meals rather than buying a newspaper.
A network of Catholic newspapers in Asia might create a cooperation in the region, benefiting newspapers like the Flores Pos, Dian and Kunang-kunang children magazine in Ende. The Flores Pos also needs a capital injection to buy a new printing press to print long distance both in Maumere and Ruteng. Similar assistances like what Georgia Scott’s are highly needed in Ende. ***
A paper presented at the Conference of the Representatives of Catholic newspapers in Asia Seoul, 22-23 March 2007. This paper was translated from Malay to English by Andreas Harsono of Pantau media group in Jakarta.
Indonesia is a country that hosts the largest Muslim population in the world. But it has a strong Christian presence on its eastern area, living in sparsely populated islands like Flores, Rote, Timor, Papua, the Malukus, central and north Sulawesi as well as smaller islands like Tanimbar, Kei, Dobo etc. Indonesia’s most important island is Java where around 65 percent of Indonesia’s total population of 220 million live. Java’s landmass, however, accounts for about six percent of the total land areas, putting the issues of population the most crucial agenda in Indonesia.
Flores is a predominantly Catholic area. Around 95 percent of its 2.5 million population are Catholics. The most influential Catholic organization in Flores is the Societas Verbi Divini (SVD). In 1912, SVD established office in Ende, a small town in central Flores, to start doing evangelical works initiated earlier by Jesuit and Dominican priests since the 17th century in eastern Flores and Timor Island.
SVD runs not only churches but also schools, farms and publications. It currently has a book publishing company, PT Arnoldus Nusa Indah, as well as the Flores Pos daily, Dian weekly tabloid and Kunang-kunang children magazine. PT Arnoldus' office is located on El Tari Street in Ende, sharing a single compound with the Flores Pos daily, the Dian weekly and the Kunang-kunang children magazine. It also has some meeting rooms and a hall for a bigger event.
Historial Backgrounds
In 1925, four years after securing its office in Ende, SVD published the Bintang Timur monthly magazine. Unpaid subscription, however, prompted the SVD to close this magazine in 1937. It is very likely that Indonesia nationalist leader Soekarno, who was exiled in Ende in the early 1930s by the Netherlands Indies administration, also subscribed to Bintang Timur. Soekarno befriended some SVD priests in Ende.
In 1948, SVD published Bentara bi-weekly and its insert Anak Bentara children magazine. Bentara became quite popular, supporting SVD’s education programs and schools, making the circulation to peak at around 35,000 copies. Financial difficulties again prompted SVD to close the bi-weekly in 1958.
In 1973, SVD created new magazines: Dian bi-weekly and Kunang-kunang children monthly magazine. Kunang-kunang was pretty famous not only in Flores but also in many parts of Indonesia, including Java. In 1987, Dian became a weekly tabloid.
In the 1980s, Indonesia started to see the emergence of Java-based media conglomerates such as the Kompas Gramedia Group, the Tempo Jawa Pos group and the television industries. An unexpected result of the SVD’s media works is that Flores has produced many journalists, prompting the Flores-educated journalists and editors to work in the emerging media networks. Today the number of Flores journalists working in Java is bigger than those working in their homeland.
In 1998, General Suharto, Indonesia’s strongman who ruled the country since 1965, was forced to step down from power. It prompted a huge political upheaval in the archipelago. Indonesia’s secessionist provinces such as Aceh, Papua and East Timor immediately pressured for their independence. Other provinces in the Maluku islands, partly in Borneo as well as in Sulawesi were involved in violent communal violence. Muslim and Christian fighters engaged in deadly wars in the Malukus and Poso in central Sulawesi. Anti-Chinese riots also rocked Jakarta and Solo in Java as well as Medan in northern Sumatra. Political assassinations were the news of those days.
In August 1999, East Timor voted for independence in a UN-administered referendum. Indonesian military and their militias burned and looted East Timor. Around 10,000 East Timorese died in the massive burning and killing, raising the anger of the international community against the Indonesian military. President Bill Clinton decided to impose a military embargo against Indonesia. His move was copied by other western countries.
Retreating Indonesian generals subsequently faced a new problem. Where should they place thousands of displaced soldiers and militias as well as their families? International peacekeeping forces obviously prevented these frustated soldiers to return to East Timor. An idea circulated among the generals. They wanted to move their retreating soldiers and militias to neighboring Flores. They wanted to move the Dili-based Wirasakti military command to Ende.
It alarmed Flores leaders as well as the Flores diasporas in Java. Hosting thousands of frustated soldiers, who were regularly involved in burning and killing, is a serious threat in a relatively peaceful area like Flores. As a major institution in Flores, SVD was also involved in the debate. Dian weekly was considered to slow to report on the rapid daily development of the pressing issue. SVD decided to publish a daily newspaper in a bid to accommodate various opinions over the plan and to inform the public about such a plan. On Sept. 9, 1999 SVD published the Flores Pos daily in Ende, mobilizing the public opposition against the plan. Founding members included publisher Henri Daros SVD, chief editor John Dami Mukese SVD, Frans Ndoi SVD and Valens G. Doy (Kompas daily journalist). Flores figures in Jakarta intensively lobbied the military. President Abdurrahman Wahid finally shelved the military plan in 2000.
SWOT Analysis
The military issue was the starting point in publishing the Flores Pos. It then began to regularly bring news reports and editorial pieces from Monday to Saturday every week. Its mission is to voice the oppressed and to monitor those in power.
It is owned by a Catholic order but the Flores Pos is more like a regular newspaper. In a bid to promote religious dialogues, it provides religious columns for every religion in Flores. Its workers are religiously diverse. They are mostly Catholic but it has Muslim and Protestant employees indeed. The Friday Forum column is dedicated for Muslims while the Sunday Forum are for Catholics and Protestants.
Currently it also conducts monthly discussions on various issues in a bid to broaden the intellectual discourses among its audience. It sometimes open public donation for the poor and natural disasters victims. When Manggarai had a major landslide in March, killing more than 60 people, the Flores Pos opened a public donation. It collected more than 20 million rupiah ($2,000). It also conduct annual seminars on economic, political and cultural outlooks.
Fact Sheet
Format: tabloid Monday-Saturday
Pages: 1999 (8) 2001 (12) 2003 (16)
Legal status:
1999-2002 under Flores Media Foundation
2002-now under PT Arnoldus Nusa Indah
Vision: establishment of truth, justice, peace and integration of creation
Mission: to conduct prophetic dialogues with the oppressed people, other religious communities, other cultures and other ideologies
The Flores Pos has some strength factors. According to the 2006 audience survey by Pantau, it has a strong brand name. Eighty four (84) percent of the surveyed respondents in Flores know the Flores Pos. It is just less two percents from its main competitor, Pos Kupang daily, at 86 percent. Pos Kupang is a subsidiary of the Kompas Gramedia Group. It is based in Kupang in western Timor.
Flores Pos locally produces 90 percent its contents. They are supplied mainly by its seven bureaus in Flores and one in Kupang. The bureaus are stationed in towns like Labuan Bajo, Ruteng, Bajawa, Ende, Sikka, Larantuka and Lewoleba on Adonara Island. More than 60 people work for the Flores Pos. They include 23 editorial staff. The others are working on its marketing, finance, distribution etc.
In September 2006, the newspaper began to make unprecedented changes. Georgia Scott of The New York Times helped redesign the Flores Pos. She introduced cleaner, more spacious and easy-to-navigate news design. The newspaper also introduced bylined news reports. It is a rare even among Jakarta newspapers. The newspaper also put the mobile number of its reporters near their names, providing a chance to involved readers to call the reporters if the stories lacking something. It also publishes a feature story everyday on the front page. Reporters should also verify their stories. They can’t publish single-sourced stories. The SVD is committed to have these chances.
Obviously the newspaper also has its weakness. Its human resources lack training. Many journalists are not well trained to report and to write analitically. The non-editorial staff are mostly high school graduates. None of them specializes on business development and marketing.
Financially its income is not enough to cover expenses. Everyday it prints 3,500 copies of which 70 percent go to subscribers. It is priced at 2,000 rupiah per copy ($20 cents). Financially it should only break even if printed 7,000 copies.
Its equipments, from computers to cameras, from printing press to transportation means, are pretty old. Most correspondents send their stories by fax. The reports, when reaching the newsroom in the evening, must be retyped. Most bureaus have no internet connection. Its printing press is not for newspaper printing. It has no newspaper folding facility. Workers have to manually fold 3,500 copies of printed papers, every night, into folded newspapers.
The Flores Pos has some opportunities. It could increase its circulation based on the fact that the reading habit in Flores is higher than Indonesia's national average. It is now working with Swisscontact and Pantau to increase the newspaper’s capacity building.
In March, the Flores Pos is also published jointly with Hidup magazine in Jakarta. It makes a possible passage to raise advertisement incomes from ad agencies in Jakarta. Last but not the least, small and medium enterprises are growing in Flores. Flroes has no big industries. But these small companies are stronger and more durable than the big ones. It was proven during the Asian economic crisis. They want to advertise in the Flores Pos.
The possibility to set up a Catholic newspaper network in Asia is also a chance to increase its capabilities.
The treatment factors are quite numerous. Land transportation in mountainous Flores is very tough. It takes one week just to travel from Labuan Bajo in the west to Larantuka in the east. Newspaper distribution is very expensive. Using public transport is costly. Having our own distribution is also costly.
Today the Flores Pos is “surrounded” by Pos Kupang’s long distance printing presses in Ruteng (west Flores) and Maumere (east). It is quite a challenge. In Flores, people don’t buy two newspapers in a single day. If they already buy Pos Kupang, obviously they won’t buy the Flores Pos.
Newsprint must also be imported from Java and the shipment cost is quite dear. Another treatment is the oil prices that always increase in Indonesia over the last ten years. It prompts higher inflation every year. Flores is also one of Indonesia’s lowest income areas. The public buying power is limited. They prefer to secure their meals rather than buying a newspaper.
A network of Catholic newspapers in Asia might create a cooperation in the region, benefiting newspapers like the Flores Pos, Dian and Kunang-kunang children magazine in Ende. The Flores Pos also needs a capital injection to buy a new printing press to print long distance both in Maumere and Ruteng. Similar assistances like what Georgia Scott’s are highly needed in Ende. ***
Wednesday, March 21, 2007
Hari Depan Koran
Oleh Agus Sopian
Sungguh menyenangkan bisa bicara lagi di depan forum Jambore Jurnalisme Universitas Islam Bandung, setelah absen beberapa tahun. Ini acara besar dari segi peserta. Lebih 100 orang mengikutinya. Kebanyakan mahasiswa jurnalisme di universitas itu. Sisanya, beberapa aktivis pers mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta.
Jambore kali, yang berlangsung pada 17-18 Maret 2007, digelar di kaki gunung Tangkuban Perahu, Cikole, sekira 15 km dari pusat kota Bandung. Seluruh peserta menempati tenda-tenda darurat mirip pengungsi. Sebagian dari mereka terlihat berwajah pucat, menahan kantuk dan suhu dingin.
Sebagai pengampu, saya tak sendirian. Saya satu panel dengan Ahmad Taufik, wartawan Tempo dan Bondan "Mak Nyos" Winarno, mantan pemimpin redaksi Suara Pembaruan yang kini nyambi-nyambi jadi host acara kuliner televisi. Tak seorang pun dari kami membuat makalah. Kami lebih banyak improvisasi, sebagaimana inti pesan panitia untuk memperbanyak porsi diskusi.
Dalam diskusi itu, saya kebagian beberapa pertanyaan. Salah satunya tentang hari depan koran, yang didesas-desuskan segera berakhir. Sebagai institusi berita, koran memang tak hanya bersaing secara horisontal, tapi juga vertikal. Malangnya, pesaing-pesaing vertikal ini --mulai radio, televisi hingga dotcom--kian hari kian tangguh. Mereka makin rakus kue belanja iklan.
Mudah dipahami kalau mahaguru jurnalisme Philip Meyer, sekira tiga tahun lalu, melansir bukunya yang menyiratkan kecemasan mendalam: The Vanishing Newspaper. Dia bilang, “The last daily reader will disappear in September 2043.” Beberapa tahun kemudian, pokok pikiran Meyer jadi wacana serius di kalangan asosiasi penerbit suratkabar Amerika Serikat, apalagi setelah mogul media Rupert Murdoch membawakan sebuah pidato di depan asosiasi tadi dengan materi kurang lebih sama.
Tanpa bermaksud hendak membuat antitesis terhadap tesis Meyer seraya menegasikan substansi pidato Murdoch, saya merasa hari kiamat itu masih jauh, terutama di Indonesia. Rakyat di negeri ini belum bisa mengongkosi lompatan katak teknologi mutakhir substitusi koran. Pendapatan per kapita penduduk Indonesia masih tipikal pembaca koran konvensional.
Lebih dari itu, tesis Meyer dan pokok pikiran Murdoch rasa-rasanya seperti gaung kecemasan para pengelola koran di Amerika Serikat pada 1960-an. Saat itu, drama besar perubahan media berlangsung dalam akselerasi tinggi. Radio dan televisi mulai merambah ranah jurnalisme.
Koran-koran yang melulu mengandalkan scoop, kecepatan penyampaian, berguguran satu per satu. Mereka kalah cepat oleh radio, yang mulai membuat paket siaran langsung. Kedalaman koran juga diganggu oleh siaran-siaran investigasi stasiun televisi NBC. Pendeknya, untuk bisa bertahan, koran tak hanya perlu kecepatan, tapi juga ketepatan. Tak hanya dalam, tapi juga memikat.
Tepat dalam perang besar itu, New Journalism lahir dan jadi andalan koran untuk bersaing. Tom Wolfe, Mark Kramer, Joan Didion dan banyak lagi, berada di belakang kelahiran itu. Jurnalisme Baru--lazim juga disebut Literary Journalism, Narrative Journalism atau Explorative Journalism versi panitia Pulitzer Prize -- bersandar pada keindahan penceritaan, ketepatan dan kedalaman. Scoop digantikan oleh penggalian fakta-fakta baru yang bersembunyi di balik berita.
Produk jurnalisme jadinya tak lagi pendek-pendek, melulu straight news, tapi juga naratif dan kadang-kadang disajikan serial mirip cerita bersambung. Frasa bahwa pembaca koran adalah lapisan publik yang sibuk sehingga tak cukup waktu membaca karya panjang-panjang, belakangan dituding sebagai alat kalangan radio dan televisi untuk mengecoh pengelola koran.
Itu dari segi isi. Dari segi medium, koran juga punya alasan untuk hidup lebih lama lagi. Kita tahu, koran pada mulanya hanyalah lempengan batu atau kayu yang disebut Acta Diurna itu. Julius Caesar, penguasa Roma, menggunakan Acta Diurna untuk menuliskan pengumuman-pengumuman penting kerajaan.
Produksi massal koran berlangsung sejak Laurens J. Coster menemukan mesin cetak, yang juga dikembangkan Guttenberg. Walaupun semua negara ramai-ramai menerbitkan koran dalam bentuk lembaran-lembaran sederhana, hingga dasawarsa kedua abad 15 koran di Inggris tak lebih dari cafe dan bar. Di tempat-tempat itulah orang bertukar informasi.
Terlihat dengan jelas, koran bisa bermetamorfosa senafas dengan perkembangan peradaban. Di masa depan, koran mungkin tak sekadar lembaran kertas tapi bisa berwujud lain. Presedennya telah ada. The Guardian misalkan menjual lembaran koran dalam bentuk file PDF yang bisa diunduh orang di seluruh dunia.
Para penerbit koran pun bisa menggunakan jurus yang dilakukan Chicago Tribune. Koran ini menggalang aliansi vertikal dengan ChicagoLand Television. Televisi ini memerlukan krebilitas dari nilai-nilai jurnalisme Tribune yang telah berusia hampir 1,5 abad. Tribune sendiri perlu cantelan masa 1,1 juta pemirsa yang dimiliki televisi itu untuk dijual kepada pengiklan. Koran modern memang bukan menjual oplah kepada publik, tapi menjual publik pada advertiser.
Jurus lain adalah memanfaatkan teknologi paripurna macam San Jose Mercury News di California, yang menyajikan berita lewat koran elektronik. Koran ini berupa layar komputer nirkabel sebesar buku dan dapat dibawa ke mana-mana. Isinya gabungan digital antara teks, gambar, foto berwarna, suara dan video gerak. Vic Sussman, kontributor US News & World Report, mengungkapkan, kini tercatat ada 2.700 koran yang sedang bersiap-siap memanfaatkan teknologi canggih itu.
Perkembangan itu melegakan. Dan inilah sesungguhnya akar optimisme saya untuk tak percaya dekatnya hari kiamat koran. Di Indonesia khususnya, koran boleh jadi masih akan hidup setengah atau seabad lagi, dan saat itu saya mungkin sudah menutup mata.
* Edisi Cetak dimuat di Jurnal Nasional, 20 Maret 2007.
Sungguh menyenangkan bisa bicara lagi di depan forum Jambore Jurnalisme Universitas Islam Bandung, setelah absen beberapa tahun. Ini acara besar dari segi peserta. Lebih 100 orang mengikutinya. Kebanyakan mahasiswa jurnalisme di universitas itu. Sisanya, beberapa aktivis pers mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta.
Jambore kali, yang berlangsung pada 17-18 Maret 2007, digelar di kaki gunung Tangkuban Perahu, Cikole, sekira 15 km dari pusat kota Bandung. Seluruh peserta menempati tenda-tenda darurat mirip pengungsi. Sebagian dari mereka terlihat berwajah pucat, menahan kantuk dan suhu dingin.
Sebagai pengampu, saya tak sendirian. Saya satu panel dengan Ahmad Taufik, wartawan Tempo dan Bondan "Mak Nyos" Winarno, mantan pemimpin redaksi Suara Pembaruan yang kini nyambi-nyambi jadi host acara kuliner televisi. Tak seorang pun dari kami membuat makalah. Kami lebih banyak improvisasi, sebagaimana inti pesan panitia untuk memperbanyak porsi diskusi.
Dalam diskusi itu, saya kebagian beberapa pertanyaan. Salah satunya tentang hari depan koran, yang didesas-desuskan segera berakhir. Sebagai institusi berita, koran memang tak hanya bersaing secara horisontal, tapi juga vertikal. Malangnya, pesaing-pesaing vertikal ini --mulai radio, televisi hingga dotcom--kian hari kian tangguh. Mereka makin rakus kue belanja iklan.
Mudah dipahami kalau mahaguru jurnalisme Philip Meyer, sekira tiga tahun lalu, melansir bukunya yang menyiratkan kecemasan mendalam: The Vanishing Newspaper. Dia bilang, “The last daily reader will disappear in September 2043.” Beberapa tahun kemudian, pokok pikiran Meyer jadi wacana serius di kalangan asosiasi penerbit suratkabar Amerika Serikat, apalagi setelah mogul media Rupert Murdoch membawakan sebuah pidato di depan asosiasi tadi dengan materi kurang lebih sama.
Tanpa bermaksud hendak membuat antitesis terhadap tesis Meyer seraya menegasikan substansi pidato Murdoch, saya merasa hari kiamat itu masih jauh, terutama di Indonesia. Rakyat di negeri ini belum bisa mengongkosi lompatan katak teknologi mutakhir substitusi koran. Pendapatan per kapita penduduk Indonesia masih tipikal pembaca koran konvensional.
Lebih dari itu, tesis Meyer dan pokok pikiran Murdoch rasa-rasanya seperti gaung kecemasan para pengelola koran di Amerika Serikat pada 1960-an. Saat itu, drama besar perubahan media berlangsung dalam akselerasi tinggi. Radio dan televisi mulai merambah ranah jurnalisme.
Koran-koran yang melulu mengandalkan scoop, kecepatan penyampaian, berguguran satu per satu. Mereka kalah cepat oleh radio, yang mulai membuat paket siaran langsung. Kedalaman koran juga diganggu oleh siaran-siaran investigasi stasiun televisi NBC. Pendeknya, untuk bisa bertahan, koran tak hanya perlu kecepatan, tapi juga ketepatan. Tak hanya dalam, tapi juga memikat.
Tepat dalam perang besar itu, New Journalism lahir dan jadi andalan koran untuk bersaing. Tom Wolfe, Mark Kramer, Joan Didion dan banyak lagi, berada di belakang kelahiran itu. Jurnalisme Baru--lazim juga disebut Literary Journalism, Narrative Journalism atau Explorative Journalism versi panitia Pulitzer Prize -- bersandar pada keindahan penceritaan, ketepatan dan kedalaman. Scoop digantikan oleh penggalian fakta-fakta baru yang bersembunyi di balik berita.
Produk jurnalisme jadinya tak lagi pendek-pendek, melulu straight news, tapi juga naratif dan kadang-kadang disajikan serial mirip cerita bersambung. Frasa bahwa pembaca koran adalah lapisan publik yang sibuk sehingga tak cukup waktu membaca karya panjang-panjang, belakangan dituding sebagai alat kalangan radio dan televisi untuk mengecoh pengelola koran.
Itu dari segi isi. Dari segi medium, koran juga punya alasan untuk hidup lebih lama lagi. Kita tahu, koran pada mulanya hanyalah lempengan batu atau kayu yang disebut Acta Diurna itu. Julius Caesar, penguasa Roma, menggunakan Acta Diurna untuk menuliskan pengumuman-pengumuman penting kerajaan.
Produksi massal koran berlangsung sejak Laurens J. Coster menemukan mesin cetak, yang juga dikembangkan Guttenberg. Walaupun semua negara ramai-ramai menerbitkan koran dalam bentuk lembaran-lembaran sederhana, hingga dasawarsa kedua abad 15 koran di Inggris tak lebih dari cafe dan bar. Di tempat-tempat itulah orang bertukar informasi.
Terlihat dengan jelas, koran bisa bermetamorfosa senafas dengan perkembangan peradaban. Di masa depan, koran mungkin tak sekadar lembaran kertas tapi bisa berwujud lain. Presedennya telah ada. The Guardian misalkan menjual lembaran koran dalam bentuk file PDF yang bisa diunduh orang di seluruh dunia.
Para penerbit koran pun bisa menggunakan jurus yang dilakukan Chicago Tribune. Koran ini menggalang aliansi vertikal dengan ChicagoLand Television. Televisi ini memerlukan krebilitas dari nilai-nilai jurnalisme Tribune yang telah berusia hampir 1,5 abad. Tribune sendiri perlu cantelan masa 1,1 juta pemirsa yang dimiliki televisi itu untuk dijual kepada pengiklan. Koran modern memang bukan menjual oplah kepada publik, tapi menjual publik pada advertiser.
Jurus lain adalah memanfaatkan teknologi paripurna macam San Jose Mercury News di California, yang menyajikan berita lewat koran elektronik. Koran ini berupa layar komputer nirkabel sebesar buku dan dapat dibawa ke mana-mana. Isinya gabungan digital antara teks, gambar, foto berwarna, suara dan video gerak. Vic Sussman, kontributor US News & World Report, mengungkapkan, kini tercatat ada 2.700 koran yang sedang bersiap-siap memanfaatkan teknologi canggih itu.
Perkembangan itu melegakan. Dan inilah sesungguhnya akar optimisme saya untuk tak percaya dekatnya hari kiamat koran. Di Indonesia khususnya, koran boleh jadi masih akan hidup setengah atau seabad lagi, dan saat itu saya mungkin sudah menutup mata.
* Edisi Cetak dimuat di Jurnal Nasional, 20 Maret 2007.
Dialek Pancasila
Saya mendapat email berantai dari Sapariah, isteri saya, tentang isi Pancasila dalam beberapa bahasa dalam negara Indonesia. Entah siapa pengarang atau editor dari semua versi ini. Isinya, mungkin juga bukan terjemahan yang lurus-lurus amat. Saya sendiri belum mengerti semua isinya. Saya tak menguasai semua bahasa ini. Saya duga sebagian juga gurauan. Dialek Melayu Minahasa atau dialek Melayu Ambon juga hanya mengerti sebagian.
Silahkan membaca deh. Ini sekedar selingan dari masalah-masalah berat dalam Indonesia. Kalau ada yang mau menambahkan, misalnya, dalam bahasa Tomea, Bugis, Makassar, Osing, Ternate, Dayak Iban, Tamil, Biak, Lio, Manggarai, Sasak, Madura dan lain-lain, silahken masuk ke Comment.
Oh satu hal lagi. Kalau Pancasila ini benar-benar milik semua warga Indonesia, seharusnya ada lebih dari 600 versi untuk pengucapannya karena ada lebih dari 600 bahasa yang dipakai dalam negeri ini. Ia juga sah bila ditulis dengan aksara Mandarin, Arab, Hanacaraka, Dani, Mee dan sebagainya mengingat orang Tionghoa, Arab dan sebagainya punya hak dan kewajiban sama dengan warga dari keturunan Tomea, Bugis dan lainnya.
Pancasila versi Jawa Ngoko
Siji: Gusti Alllah ora ono koncone
Loro: Dadi wong kudu sing adil lan ojo kejem-kejem
Telu: Indonesia bersatu kabeh
Papat: Karo tonggo-tonggo nek ono masalah diomongno bareng-bareng opo o
Limo: mangan ra mangan sing penting kumpul
Pancasila versi Sunda
Hiji: Gusti Allah eta sorangan sareng ageng pisan
Dua: Ka sorangan teh sikapna kudu sami, ulah ngabeda-beda keun
Tilu: Indonesia kuduna mah jadi hiji
Opat: Ra'yat Indonesia sae na pang mutuskeun sagala teh disepakatkeun heula. Kedah bager lan bijaksana
Lima: Ceunah teh sikap sosialna kudu adil hiji sareng batur
Pancasila versi Batak Toba
Sada: Dang adong na pajago-jagohon di jolo ni Debata
Dua : Maradat tu sude jolma
Tolu : Punguan ni halak Indonesia
Opat : Marbadai ... marbadai, dungi mardame
Lima : Godang pe habis saotik pe sukkup
Poncosilo versi Jawa Kromo
Kaping setunggal: Gusti ingkang Maha satunggal
Kaping kalih: Tiang ingkang Adil lan beradab
Kaping tiga: Persetunggalan Indonesia
Kaping sekawan: Kerakyatan ingkang dipimpin kaliyan hikmat dan kewicaksonoan dateng permusyawaratan kang diwakilkan
Kaping gangsal: Adil kang sosial kangge sakabehe tiang Indonesia
Pancasila versi Palembang
Sute: Tuhan ne sute tu'la
Due: jelme harus khapat same rate
Tige: jelme Indones iane bersatu padu
Empat: jeleme Indonesiane diketuci ngai hikmah dimane ngedapatkan jawaban dadi gegale masalah
Leme: kesameratean hidup ne jelmekangok Indonesia
Pancasila versi Ambon
1. Torang samua tawu cuma ada Tuang Allah yaitu Tete manu
2. Orang Ambon samu harus tau adat
3. Acang deng obet harus bisa bakubae
4. Paitua deng maitua harus bae-bae di rumah rakyat
5. Samu harus bisa jaga diri karna Ambon lapar makan orang
Pancasila versi Manado
1. Cuma boleh ba satu Tuhan
2. Selalu adil kong ja pake ontak
3. Torang samua satu, bangsa Indonesia
4. Tu rakyat musti slalu bakumpul kong bicara bae2 spy slalu ada kaputusan gagah yg semua trima deng nang hati
5. Voor seluruh rakyat Indonesia, nyanda ada tu jabaku kase beda2 perlakuan
Pancasilo versi Minangkabau
Ciek: Bintang basagi limo
Duo: Rantai pangikek kudo
Tigo: Batang baringin gadang ta'mpek kito bacinto
Ampek: Kapalo banteng batanduak duo
Limo: Padi jo kapeh pambaluik nan luko
Pancasila versi Sambas
Sigek: Tuhan sigek nak ang
Duak: Jadi urang yang senonoh
Tige: Yoo, semuenye besatu be
Ampat: Ngomong baik-baik, usah nak betangkar
Limak: Keadilan sosial untuk kite juak be
Tuesday, March 20, 2007
Pengantar Petisi Buku Sejarah
Sejak 5 Maret 2007, Kejaksaan Agung melarang 13 judul buku pelajaran sejarah dengan alasan buku-buku tersebut tidak memuat peristiwa pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan tidak menulis kata PKI dalam peristiwa G30S. Pelarangan ini merupakan kesalahan besar, pertama karena beberapa buku yang dilarang adalah buku pelajaran sejarah untuk kelas 1 SMP. Padahal pelajaran sejarah kelas 1 SMP belum sampai pada periode kontemporer, tapi masih membahas kerajaan-kerajaan nusantara. Kedua, buku kelas 3 SMP yang juga dilarang masih tetap menguraikan pemberontakan PKI di Madiun dan masih menggunakan istilah G30S/PKI.
Pelarangan ini berdampak besar, tidak hanya pada penerbit tapi juga pada dunia pendidikan dan demokratisasi di Indonesia. Sejarah yang akan diajarkan di sekolah-sekolah hanya menjadi satu informasi tunggal yang akan terus menerus dicekoki, tanpa membuka diskusi tentang wacana-wacana lainnya. Lebih luas lagi, kebebasan untuk menerima informasi, berpikir dan membicarakannya telah dibelenggu.
Pada 17 Maret 2007, para sejarawan, aktivis, guru guru sejarah dan individu-individu lain bertemu untuk mendiskusikan tindakan selanjutnya untuk menanggapi keputusan Kejaksaan Agung tersebut.
Berikut adalah tindakan yang akan dilakukan:
1. Menyebarkan petisi untuk menolak keputusan pelarangan buku pelajaran sejarah kurikulum 2004.
2. Membuat press conference pada tanggal 20 Maret 2007 pk. 12.30 di Hotel Bidakara untuk menyatakan sikap kita.
3. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia akan membuat gugatan resmi terhadap Kejaksaan Agung sebagai institusi yang mengeluarkan keputusan pelarangan buku-buku sejarah kurikulum 2004.
Petisi penolakan keputusan pelarangan buku-buku pelajaran sejarah dengan kurikulum 2004 kami sertakan dalam email ini. Jika anda ingin turut mendukung petisi tersebut, silakan kirim email ke grace_leksana@yahoo.com berisi nama lengkap dan institusi yang diwakili (jika ada) atau profesi anda. Jangan menuliskan data tersebut dalam petisi, biarkan panitia yang melakukannya. Kami harapkan dukungan Anda.
Petisi Komunitas Sejarah Indonesia
Beda G30S dan G30S/PKI
Petisi Komunitas Sejarah Indonesia
Pada masa Orde Baru (dan sebelumnya) telah terjadi rekayasa sejarah untuk kepentingan penguasa. Setelah Soeharto jatuh tahun 1998, muncul gugatan terhadap penulisan dan pendidikan sejarah yang terjadi selama ini. Beberapa peristiwa yang kontroversial seperti lahirnya Pancasila, Serangan Umum 1 Maret 1949, G30S, Supersemar, dan Integrasi Timor Timur dipertanyakan kembali oleh masyarakat. Buku-buku yang dilarang telah dicetak kembali. Biografi dan memoar para korban Orde Baru terbit secara luas. Sejarah lisan dimanfaatkan untuk mengungkap kesaksian dari survivor.
Pendidikan sejarah pun mengalami perubahan. Kurikulum 1994 (direvisi tahun 1999) yang dianggap terlalu sarat muatan telah diperbaiki dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kemudian disebut Kurikulum 2004. Dalam beberapa hal Kurikulum 2004 lebih demokratis dari kurikulum sebelumnya. Dengan alasan yang masih dapat diperdebatkan, Kurikulum 2004 diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(Kurikulum 2006).
Untuk memenuhi tuntutan beberapa elit seperti Jusuf Hasyim (alm) yang mengatakan bahwa di Jawa Timur terdapat buku sejarah yang tidak memuat peristiwa Madiun 1948, maka Menteri Pendidikan Nasional meminta Kejaksaan Agung untuk buku-buku pelajaran sejarah yang digunakan pada tingkat SMP dan SMA. Bukan hanya itu, kejaksaan Agung juga memeriksa Kepala Pusat Kurikulum yang baru (Diah Harianti) dan yang lama (Dr Siskandar).
Tanggal 9 Maret 2007, Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Muchktar Arifin dalam konferensi pers mengumumkan bahwa Kejaksaan Agung dengan SK 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 telah melarang 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA yang diterbitkan oleh 10 penerbit. Sebagian buku yang dilarang itu merupakan buku pelajaran kelas I SMP. Alasan pelarangan adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku itu serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.
Berdasarkan kenyataan di atas dan setelah membaca buku-buku pelajaran sejarah pada tingkat SMP dan SMA, maka kami komunitas sejarah Indonesia dengan ini menyatakan:
Pertama, menolak pelarangan buku pelajaran sejarah yang dikeluarkan Kejaksaan Agung tertanggal 5 Maret 2007
Kedua, pelarangan itu mempunyai dampak negatif terhadap usaha mencerdaskan bangsa seperti digariskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 karena menimbulkan kebuntuan berpikir di kalangan dunia pendidikan. Hal itu jelas membingungkan guru dan siswa serta sangat merugikan penerbit. Dalam situasi ekonomi yang semakin sulit, ini akan menyusahkan orang tua murid yang terpaksa membeli buku yang lain.
Ketiga, pelarangan itu tidak berdasar karena buku sejarah kelas I SMP yang dilarang memang tidak memuat peristiwa Madiun dan 1965. Pengajaran pada kelas I SMP baru membahas sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang dipengaruhi agama Hindu-Budha dan Islam. Adalah absurd karena Kejaksaan Agung melarang buku-buku yang tidak mencantumkan G30S/PKI (Matrodji, Sejarah Kelas 3 SMP, penerbit Erlangga) tetapi juga melarang buku yang tetap mencantumkan G30S/PKI seperti yang dikarang Tugiyono KS dkk (Pengetahuan Sosial, Sejarah, penerbit Grasindo)
Keempat, persoalan kurikulum merupakan kewenangan Departemen Pendidikan Nasional bukan urusan Kejaksaan Agung.
Kelima, kami meminta agar Jaksa Agung mencabut surat keputusannya no. 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007.
Keenam, penindakan terhadap buku yang dianggap bermasalah oleh pemerintah, seyogianya melalui proses pengadilan bukan dengan pelarangan.
Jakarta, 20 Maret 2007
Tertanda (disusun berdasar abjad):
1. A Syukur (pengajar Universitas Negeri Jakarta)
2. Ade Rostina Sitompul
3. Adi (Jaringan Kerja Budaya)
4. Agung Ayu (Lingkar Tutur Perempuan)
5. Agus F. Hidayat (Forum Anti Korupsi Tangerang/FAKTA)
6. Andi Ahdian (Onghokham Institut)
7. Andi Nurhakim (SGT/ Serikat Guru Tangerang)
8. Andre Liem (Institut Sejarah Sosial Indonesia/ISSI)
9. Anissa S. Febrina (Jurnalis)
10. Anom Astika (Institut Sejarah Sosial Indonesia)
11. Asvi Warman Adam (Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia)
12. B. I. Purwantari (ISSI)
13. Baskara Wardaya (sejarawan, direktur Pusdep
Universitas Sanata Dharma)
14. Bonnie Triyana (redaktur Jurnal Nasional)
15. Budi Setiyono (Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah, Sekretaris Yayasan Pantau)
16. Budiawan (pengajar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
17. Chandra Gautama (editor KPG)
18. Didi Kwartanada (mahasiswa doctoral National University of Singapore)
19. Grace Leksana (ISSI)
20. Hendardi (PBHI)
21. Hilmar Farid (Institut Sejarah Sosial Indonesia)
22. Ita Fathia Nadia (mantan Komisioner Komnas Perempuan)
23. JJ Rizal (sejarawan, penerbit Komunitas Bambu)
24. Johnson Panjaitan (PBHI)
25. Karlina Supelli (pengajar STF Driyarkara)
26. Khairul (Onghokham Institut)
27. M Fauzi (Institut Sejarah Sosial Indonesia)
28. Maria Hartiningsih (wartawati)
29. Muhammad Faishal (Histra)
30. Muridan Wijoyo (mahasiswa doctoral University of Leiden)
31. Nani Asri Setiani (guru sejarah SMU 6 Jakarta)
32. Nursam (sejarawan, penerbit Ombak, Yogyakarta)
33. Radjimo Sastro Wojono (Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah)
34. Ratna Hapsari (guru sejarah SMU 6 Jakarta)
35. Razif (Jaringan Kerja dan Budaya)
36. Retno Listyarti (guru SMA 13 Jakarta Utara)
37. Rinto Trihasworo (ISSI)
38. Selamet (Suara Hak Asasi Manusia di Indonesia/SHMI)
39. Singgih Tri Sulistyono (pengajar Universitas Diponegoro, Semarang)
40. Siti Fadillah (guru sejarah)
41. Stanley Adiprasetyo (ISAI, Toko Kalam Utan Kayu)
42. Suparman (guru sejarah SMU 17 Jakarta)
43. Supriono/Pray de Ferri (ISSI)
44. Wahyu Susilo (INFID)
45. Wilson (Praxis)
46. Yerri Wirawan (alumni pascasarjana EHESS, Paris)
47. Yoyok (Syarikat Indonesia, Yogyakarta)
Dukungan Anda sangat berarti. Kirimkan nama, profesi atau asal lembaga (jika ada) dan domisili melalui e-mail ke grace_leksana@ yahoo.com
Pendidikan sejarah pun mengalami perubahan. Kurikulum 1994 (direvisi tahun 1999) yang dianggap terlalu sarat muatan telah diperbaiki dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kemudian disebut Kurikulum 2004. Dalam beberapa hal Kurikulum 2004 lebih demokratis dari kurikulum sebelumnya. Dengan alasan yang masih dapat diperdebatkan, Kurikulum 2004 diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(Kurikulum 2006).
Untuk memenuhi tuntutan beberapa elit seperti Jusuf Hasyim (alm) yang mengatakan bahwa di Jawa Timur terdapat buku sejarah yang tidak memuat peristiwa Madiun 1948, maka Menteri Pendidikan Nasional meminta Kejaksaan Agung untuk buku-buku pelajaran sejarah yang digunakan pada tingkat SMP dan SMA. Bukan hanya itu, kejaksaan Agung juga memeriksa Kepala Pusat Kurikulum yang baru (Diah Harianti) dan yang lama (Dr Siskandar).
Tanggal 9 Maret 2007, Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Muchktar Arifin dalam konferensi pers mengumumkan bahwa Kejaksaan Agung dengan SK 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 telah melarang 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA yang diterbitkan oleh 10 penerbit. Sebagian buku yang dilarang itu merupakan buku pelajaran kelas I SMP. Alasan pelarangan adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku itu serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.
Berdasarkan kenyataan di atas dan setelah membaca buku-buku pelajaran sejarah pada tingkat SMP dan SMA, maka kami komunitas sejarah Indonesia dengan ini menyatakan:
Pertama, menolak pelarangan buku pelajaran sejarah yang dikeluarkan Kejaksaan Agung tertanggal 5 Maret 2007
Kedua, pelarangan itu mempunyai dampak negatif terhadap usaha mencerdaskan bangsa seperti digariskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 karena menimbulkan kebuntuan berpikir di kalangan dunia pendidikan. Hal itu jelas membingungkan guru dan siswa serta sangat merugikan penerbit. Dalam situasi ekonomi yang semakin sulit, ini akan menyusahkan orang tua murid yang terpaksa membeli buku yang lain.
Ketiga, pelarangan itu tidak berdasar karena buku sejarah kelas I SMP yang dilarang memang tidak memuat peristiwa Madiun dan 1965. Pengajaran pada kelas I SMP baru membahas sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang dipengaruhi agama Hindu-Budha dan Islam. Adalah absurd karena Kejaksaan Agung melarang buku-buku yang tidak mencantumkan G30S/PKI (Matrodji, Sejarah Kelas 3 SMP, penerbit Erlangga) tetapi juga melarang buku yang tetap mencantumkan G30S/PKI seperti yang dikarang Tugiyono KS dkk (Pengetahuan Sosial, Sejarah, penerbit Grasindo)
Keempat, persoalan kurikulum merupakan kewenangan Departemen Pendidikan Nasional bukan urusan Kejaksaan Agung.
Kelima, kami meminta agar Jaksa Agung mencabut surat keputusannya no. 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007.
Keenam, penindakan terhadap buku yang dianggap bermasalah oleh pemerintah, seyogianya melalui proses pengadilan bukan dengan pelarangan.
Jakarta, 20 Maret 2007
Tertanda (disusun berdasar abjad):
1. A Syukur (pengajar Universitas Negeri Jakarta)
2. Ade Rostina Sitompul
3. Adi (Jaringan Kerja Budaya)
4. Agung Ayu (Lingkar Tutur Perempuan)
5. Agus F. Hidayat (Forum Anti Korupsi Tangerang/FAKTA)
6. Andi Ahdian (Onghokham Institut)
7. Andi Nurhakim (SGT/ Serikat Guru Tangerang)
8. Andre Liem (Institut Sejarah Sosial Indonesia/ISSI)
9. Anissa S. Febrina (Jurnalis)
10. Anom Astika (Institut Sejarah Sosial Indonesia)
11. Asvi Warman Adam (Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia)
12. B. I. Purwantari (ISSI)
13. Baskara Wardaya (sejarawan, direktur Pusdep
Universitas Sanata Dharma)
14. Bonnie Triyana (redaktur Jurnal Nasional)
15. Budi Setiyono (Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah, Sekretaris Yayasan Pantau)
16. Budiawan (pengajar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
17. Chandra Gautama (editor KPG)
18. Didi Kwartanada (mahasiswa doctoral National University of Singapore)
19. Grace Leksana (ISSI)
20. Hendardi (PBHI)
21. Hilmar Farid (Institut Sejarah Sosial Indonesia)
22. Ita Fathia Nadia (mantan Komisioner Komnas Perempuan)
23. JJ Rizal (sejarawan, penerbit Komunitas Bambu)
24. Johnson Panjaitan (PBHI)
25. Karlina Supelli (pengajar STF Driyarkara)
26. Khairul (Onghokham Institut)
27. M Fauzi (Institut Sejarah Sosial Indonesia)
28. Maria Hartiningsih (wartawati)
29. Muhammad Faishal (Histra)
30. Muridan Wijoyo (mahasiswa doctoral University of Leiden)
31. Nani Asri Setiani (guru sejarah SMU 6 Jakarta)
32. Nursam (sejarawan, penerbit Ombak, Yogyakarta)
33. Radjimo Sastro Wojono (Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah)
34. Ratna Hapsari (guru sejarah SMU 6 Jakarta)
35. Razif (Jaringan Kerja dan Budaya)
36. Retno Listyarti (guru SMA 13 Jakarta Utara)
37. Rinto Trihasworo (ISSI)
38. Selamet (Suara Hak Asasi Manusia di Indonesia/SHMI)
39. Singgih Tri Sulistyono (pengajar Universitas Diponegoro, Semarang)
40. Siti Fadillah (guru sejarah)
41. Stanley Adiprasetyo (ISAI, Toko Kalam Utan Kayu)
42. Suparman (guru sejarah SMU 17 Jakarta)
43. Supriono/Pray de Ferri (ISSI)
44. Wahyu Susilo (INFID)
45. Wilson (Praxis)
46. Yerri Wirawan (alumni pascasarjana EHESS, Paris)
47. Yoyok (Syarikat Indonesia, Yogyakarta)
Dukungan Anda sangat berarti. Kirimkan nama, profesi atau asal lembaga (jika ada) dan domisili melalui e-mail ke grace_leksana@ yahoo.com
Menulis dalam Sepi dan Sendiri
Sapariah dan saya baik-baik saja. Kami hidup tenang. Setiap hari makan bersama (pagi, siang dan malam), diskusi bersama serta bergurau bersama tentunya. Norman ikutan rutinitas ini Kamis hingga Sabtu.
Sementara ini, saya tak ada rencana pergi ke Aceh maupun tempat lain. Saya hanya mengurung diri di rumah, dari pagi hingga malam, ketika Sapariah pulang, saya hanya berkutat dengan urusan buku. Saya juga terkadang linglung atau lupa, tidak menjawab SMS atau email.
Kini saya baru sadar apa yang ditulis oleh banyak penulis lain bahwa menulis itu membuat orangnya jadi merasa sendirian dan kesepian. Sapariah sering menegur saya karena tiba-tiba terlihat melamun. Saya tidak melamun tentu. Setiap waktu, pikiran saya menelusuri buku, entah kepada bab Introduction, atau bab Jawa, Maluku atau kemarin malam saya berpikir soal Epilogue.
Kini saya lagi melakukan free writing dengan memasukkan semua catatan ke dalam bab-bab tersebut. Mungkin awal April, saya selesai dengan free writing lalu menjahitnya satu demi satu.
Tuesday, March 13, 2007
"Jangan Seenak Jidatmu Sendiri"
Selasa siang ini, tiba-tiba Retno Wardani, mantan isteri aku, menelepon di handphone. Aku sebenarnya enggan bicara dengan Retno mengingat temperamennya. Dulu salah satu pertimbangan aku menggugatnya cerai juga karena temperamen. Namun bagaimana? Kami punya anak. Norman juga anaknya Retno. Norman ada dalam joint custody kami bersama.
Aku angkat telepon. “Mana Norman?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Lagi dalam perjalanan ke Senayan. Masih di bus,” jawabku.
“Lho kok bisa kesana?”
“Norman minta ketemu aku. Dia mau nginap disini. Sejak Minggu dia sudah merengek minta kesini.”
"Lho kok nggak omong sama aku?"
"Baiklah, kini aku omong. Norman ingin datang ke Senayan. Kamu ambil saja jatah aku di akhir minggu."
Menurut kesepakatan cerai Desember 2003, oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan, disebutkan bahwa Norman tinggal bersama ibunya pada hari sekolah Senin-Jumat. Namun Jumat siang, Norman datang ke rumahku di Senayan, hingga Minggu siang. Retno tak pernah mau mengantar dan menjemput Norman. Beberapa waktu lalu, dengan alasan harus ke gereja Minggu pagi, Retno minta jadwal diubah, Kamis-Sabtu di Senayan. Aku setuju sesudah Norman sendiri bilang begitu. Dia merasa lebih tak tergesa-gesa bila Sabtu sudah di Pondok Indah.
“Lho! Kamu nggak bisa mendidik Norman dengan seenak jidatmu sendiri. Kapan mau kamu antar kesini?
“Norman mau menginap sini. Dia sudah bilang sejak Minggu lalu. Aku juga lagi ada tamu, nggak bisa menggantar.”
Kebetulan Peter Geling dari The New York Times ada janji bertemu untuk interview.
“Lho nggak bisa. Ini semua ada aturannya. Nggak bisa seenak jidatmu sendiri. Sudah nggak ngirim duit. Mana duitmu? Nggak bisa seenak jidatmu sendiri. Telepon Pak Fadil (sopir bus sekolah)! Minta antar Norman kesini! Ini hari sekolah. Anak itu harus belajar disiplin. Nggak bisa seenak jidatmu sendiri!”
Lantas Retno bicara sendiri, isinya maki-makin, tanpa memberi kesempatan aku bicara, selama sekitar tiga sampai empat menit. Tanpa satu kata pun aku bisa menjelaskan bagaimana Norman ingin sekali ketemu ayahnya di Senayan. Retno teriak-teriak minta Norman diantar ke rumahnya di Pondok Indah. Aku bilang aku takkan menelepon Fadillah. Aku kira Norman berhak mengunjungi papanya bila dia ingin sendiri.
Aku jengkel sekali. Sabtu lalu, ketika aku antar Norman ke Pondok Indah, Norman menangis dalam taxi. Dia merasa akan pergi ke neraka. "It's like going to hell again," katanya. Matanya berlinang-linang. Dia bilang dia ingin selamanya tinggal di Senayan. Dia sering jengkel dengan mamanya karena temperamental. Tak bisa diajak bicara. Aku bilang bahwa Senin ini, aku akan terima honor dari majalah Gatra dan akan bayar uang bulanan kepada Retno. Ternyata honor belum masuk. Makanya, Retno mengamuk dan memaki-maki.
Kesepakatan cerai menyebutkan bahwa aku bertanggungjawab terhadap semua kebutuhan Norman. Setiap bulan, aku membayar uang sekolahnya, di sebuah sekolah internasional. Aku juga membayar uang makan Rp 1 juta serta uang bensin Rp 600,000 kepada Retno. Aku masih menanggung keperluan Sri Maryani, pengasuh Norman, sopir Fadillah, plus tagihan-tagihan lain dari Retno. Mulai dari beli kertas hingga band aid.
Tentu saja, pengeluaran di Senayan, langsung jadi tanggungan aku. Bila Norman sakit, masuk rumah sakit atau check up asma, tentu saja, aku yang membayar. Kini Norman sudah sehat. Asmanya bisa dikontrol. Pada 2003-2005, aduh, asmanya sempat membuatnya masuk rumah sakit dua kali.
Kenalan-kenalan dekat, yang sering datang atau menginap di tempatku, macam Agus Sopian, Anugerah Perkasa, Esti Wahyuni, Imam Shofwan, Indarwati Aminuddin, Linda Christanty, sering melihat bagaimana Norman jadi bete tiap kali perpindahan Senayan ke Pondok Indah. Ketika masih kecil, Norman bahkan sembunyi di bawah ranjang. Dia pegangan ranjang dan menangis keras-keras. Aku selalu membujuknya untuk tahu bahwa dia bisa bicara dengan Retno. Bahwa mamanya mencintai Norman. Bahwa disiplin juga perlu untuk kehidupan kita kelak.
Siang ini, aku langsung telepon Norman di bus sekolah. Dia bilang Retno sudah menelepon "Pak Fadil" dan minta Norman diantar ke Pondok Indah. Norman marah sekali. Dia merasa aku tak membelanya cukup sehingga dia bisa tidur semalam di Senayan. "I hate you," katanya. Aku sedih sekali. Aku menangis. Aku bersedia disakiti bahkan kalau bisa, sakit hati Norman dipindahkan ke aku semua. Sedih sekali membuat kecewa anak sendiri.
Friday, March 09, 2007
Precisely, 86 locations in three years
When looking back into the many trips that I made for my book, I think that as a whole, it was a once-in-a-lifetime opportunity. I visited more than 80 locations in three years. Nearly two dozens of them were just concrete-and-steel metropolitans like Pontianak, Surabaya, Kupang, Jayapura or Manado. But the journey also brought me to visit 40 small towns, 14 villages, 11 isles and two peculiar beaches. Names such as Karatung, Karakelang, Binongko, Tomea and Mansinam, for instance, barely ring a bell among most people living in Java.
I also climbed Mt. Kelimutu on Flores Island, seeing sunrise near its breathtaking three-color volcanoes: red, green and dark brown. Unfortunately, when driving down from the feet of the mountain, a car hit my motorbike at a road curve. The motorcycle driver, a teenager from Ende, suffered a bone fracture. A passing car brought him to Ende while I walked his wrecked motorcycle for nearly an hour.
In Aceh, I hopped into a chopper when visiting the tsunami-ravaged coastal town Lamno. In western Kalimantan, I took public buses. In Java, I easily used trains and planes. Seasick is not my problem. But small cockroaches that inhabited my Manado-Miangas ship cabin obviously posed a problem. I once took a small wooden boat to visit the unpopulated Ndana Island. The waves were pretty rough. The boat almost capsized when its fisherman suddenly jumping into the sea to catch a pair of mating giant sea turtles. It was the first time ever I saw sea turtles making love. He caught only the female one.
My son, Norman, also accompanied me during his school holidays. He was only six years old when his father began the journey. Three years on, he turned into a healthy fifth grader, fond of snorkeling, daring to jump into the deep sea from our ship. Norman also collected several exciting sea shells. Papua is his favorite destination. He loves Papua’s pristine rainforest. “It’s good for my health,” he said, referring to his asthma.
Once my father joined his son and his grandson, visiting a Dutch-inherited plantation in Kalibaru, near my hometown Jember in eastern Java. In the farm, Norman saw workers milking the cows and processing rubber milk. In another summer afternoon, Norman played with children on the remote Tomea Island. The children don’t speak Malay. Norman obviously doesn’t speak the Tomean language. But children speak a universal language: soccer. He was the goalkeeper and lost the game! We then tasted barbequed sea urchin (bulu babi).
I disciplined myself to read relevant documents and books prior to each trip. In Aceh, I stayed mostly in Banda Aceh’s Hotel Sulthan, reading Hasan di Tiro’s analysis of Indonesia, but also traveled to the Aceh guerilla-controlled areas like Tiro, Sakti, Sigli and Lhok Nga. I crossed the Banda Aceh strait to do some interviews in Sabang and visited Iboih Beach, Balohan seaport and the Ujong Batu tip on Weh Island. Ujong Batu is the site of the "Republic Indonesia Kilometer Zero" monument.
In Borneo, I didn't cross any sea –it is already one of the largest islands on Earth-- but used dongdong motorboats to travel in swampy areas. It was one of the most grueling trips I have ever had. I visited killing fields of the Madurese settlers scattered in the Sambas vicinity. In western Kalimantan, my visitations included Pontianak, Tebang Kacang, Singkawang, Roban, Selakau, Pemangkat, Tebas, Jawai, Sentebang, Sambas, Semalantan, Bengkayang, Sanggau-Ledo, Menjalin and Mempawah. I spent a New Year's Eve in Singkawang, alone in Hotel Kathulistiwa.
In Sulawesi, I began my trip in Makassar and Manado. Makassar was only a brief stop to do some interviews on Bugis Muslim fighter Kahar Muzakkar. From Makassar, I flew to Manado, the metropolitan in northern Sulawesi, to interview Minahasan activists. I then took a car from Manado to visit Minahasa’s intellectual capital: Tomohon. Later I used speedboats and ferries to travel around Sangihe and Talaud islands. They included Tahuna (Sangihe Island), Lirung (Salibabu Island), Melonguane and Beo (Karakelang Island), Karatung Island and Miangas Island. In the 1940s and 1950s, Eastern Indonesia (Borneo, Sulawesi, the Malukus and the Lesser Sunda) was heavily involved in promoting federalism in Indonesia. They were opposed by Java-based poticians, who feared that such a state will be used by the colonial Dutch's divide and rule strategy.
In June 2006, from Kendari in southeast Sulawesi, I boarded a ferry to go to Baubau and to drive across the Buton Island to reach Pasarwajo. In Pasarwajo, the site of the Butonese sultanate, Norman and I boarded a Bugis ship, phinisi, to roam around Wangiwangi, Kaledupa, Tomea, Binongko and Hoga islands. This archipelago, located in the biodiverse hotspot known as Wallacea, was made an environment protection area. It is also a diving paradise.
In Java, I traveled to Semarang and Salatiga, where I used to live. Later I visited Blitar (the tomb of Sukarno), Panataran village (the site of the Palah Temple of the Majapahit era), Malang, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo and my hometown Jember. Along with his grandfather and father, Norman came to see plantation areas like Glenmore, Kalibaru and visited a turtle-breeding beach called Sukamade. My father accompanied Norman when I did my interviews. I lost my laptop and my camera inside the Jakarta-Blitar train. Thieves probably opened my bag and took them away while I was sleeping.
In the Lesser Sunda islands, I began on Timor Island. I flew from Jakarta to Kupang, doing some reporting in Kupang, including in the Tuapukan refugee camp, and later Soe, Nikiniki, Kefamenanu, Atambua as well as crossing the border into newly-independent East Timor to visit Matoain, Liquisa and Dili.
I stayed the nights at the Portuguese-built Hotel Turismo. It is an old and beautiful hotel facing the Dili Bay. I used to sleep here when Dili was still occupied by Indonesia. Going back to Hotel Turismo in a new Timor Lorosae is indeed a fascinating experience.
When returning to Kupang, I took a ferry to visit Baa, Oelaba and Oeseli on Rote Island. From Oeseli, I took the small wooden boat to see Ndana Island. The Ford Foundation, which gave me a grant to partly finance the trips, helped me to take another ferry to go to Maumere on Flores Island. I boarded a public bus to go to Wolowaru, Detusoko, Mt. Kelimutu and Ende.
The Ford Foundation grant also allowed me to go to the Maluku islands. The trip started in Ternate. I then took a speedboat to go to the neighboring Halmahera Island, visiting Galela, Tobelo, Kao, Malifut, Sosol, Tahane and Sidangoli. I spent the nights in Tobelo and Tahane. I also went to Soasiu on Tidore Island. It was the first place ever where I realized that Christians were not allowed to settle on the Muslim-controlled island. I also stayed in Ambon, doing an extensive reporting and interviews, which included a visit to the Waiheru prison, near Ambon, meeting Alifuru leader Semuel Waileruny. Alifuru is the name that embraces all ethnic group in the Maluku islands.
When the Ford Foundation grant ended in February 2006, I used some freelance assignments to be in Papua. This is a very vast island. I have to use planes wherever I go. I visited Jayapura (including Abepura, Padang Bulan, Kutaraja, Sentani), Manokwari, Biak as well as Merauke. In Manokwari, I easily made a short boat ride to Mansinam Island. In Merauke, I rented a mini van to visit the SP-2 transmigration area, where the Benny Moerdani monument, commemorating Indonesia's invasion to Papua, was established.
Three international cities, London, Stockholm and Kuala Lumpur, also had me conducting some interviews. Finally, I have to mention that Jakarta, the metropolitan in Java, is my homebase and where Norman goes to an international school. This is the place where Norman waited for me and listened to each travel story I told him.
Photo captions: Hotli Simandjuntak took my photo in the aftermath of the tsunami in Banda Aceh. In the Merauke airport, Agapitus Batbual asked me to pose for a photo at the entrance of the airport. It took three years to travel from Aceh to Papua
I also climbed Mt. Kelimutu on Flores Island, seeing sunrise near its breathtaking three-color volcanoes: red, green and dark brown. Unfortunately, when driving down from the feet of the mountain, a car hit my motorbike at a road curve. The motorcycle driver, a teenager from Ende, suffered a bone fracture. A passing car brought him to Ende while I walked his wrecked motorcycle for nearly an hour.
In Aceh, I hopped into a chopper when visiting the tsunami-ravaged coastal town Lamno. In western Kalimantan, I took public buses. In Java, I easily used trains and planes. Seasick is not my problem. But small cockroaches that inhabited my Manado-Miangas ship cabin obviously posed a problem. I once took a small wooden boat to visit the unpopulated Ndana Island. The waves were pretty rough. The boat almost capsized when its fisherman suddenly jumping into the sea to catch a pair of mating giant sea turtles. It was the first time ever I saw sea turtles making love. He caught only the female one.
My son, Norman, also accompanied me during his school holidays. He was only six years old when his father began the journey. Three years on, he turned into a healthy fifth grader, fond of snorkeling, daring to jump into the deep sea from our ship. Norman also collected several exciting sea shells. Papua is his favorite destination. He loves Papua’s pristine rainforest. “It’s good for my health,” he said, referring to his asthma.
Once my father joined his son and his grandson, visiting a Dutch-inherited plantation in Kalibaru, near my hometown Jember in eastern Java. In the farm, Norman saw workers milking the cows and processing rubber milk. In another summer afternoon, Norman played with children on the remote Tomea Island. The children don’t speak Malay. Norman obviously doesn’t speak the Tomean language. But children speak a universal language: soccer. He was the goalkeeper and lost the game! We then tasted barbequed sea urchin (bulu babi).
I disciplined myself to read relevant documents and books prior to each trip. In Aceh, I stayed mostly in Banda Aceh’s Hotel Sulthan, reading Hasan di Tiro’s analysis of Indonesia, but also traveled to the Aceh guerilla-controlled areas like Tiro, Sakti, Sigli and Lhok Nga. I crossed the Banda Aceh strait to do some interviews in Sabang and visited Iboih Beach, Balohan seaport and the Ujong Batu tip on Weh Island. Ujong Batu is the site of the "Republic Indonesia Kilometer Zero" monument.
In Borneo, I didn't cross any sea –it is already one of the largest islands on Earth-- but used dongdong motorboats to travel in swampy areas. It was one of the most grueling trips I have ever had. I visited killing fields of the Madurese settlers scattered in the Sambas vicinity. In western Kalimantan, my visitations included Pontianak, Tebang Kacang, Singkawang, Roban, Selakau, Pemangkat, Tebas, Jawai, Sentebang, Sambas, Semalantan, Bengkayang, Sanggau-Ledo, Menjalin and Mempawah. I spent a New Year's Eve in Singkawang, alone in Hotel Kathulistiwa.
In Sulawesi, I began my trip in Makassar and Manado. Makassar was only a brief stop to do some interviews on Bugis Muslim fighter Kahar Muzakkar. From Makassar, I flew to Manado, the metropolitan in northern Sulawesi, to interview Minahasan activists. I then took a car from Manado to visit Minahasa’s intellectual capital: Tomohon. Later I used speedboats and ferries to travel around Sangihe and Talaud islands. They included Tahuna (Sangihe Island), Lirung (Salibabu Island), Melonguane and Beo (Karakelang Island), Karatung Island and Miangas Island. In the 1940s and 1950s, Eastern Indonesia (Borneo, Sulawesi, the Malukus and the Lesser Sunda) was heavily involved in promoting federalism in Indonesia. They were opposed by Java-based poticians, who feared that such a state will be used by the colonial Dutch's divide and rule strategy.
In June 2006, from Kendari in southeast Sulawesi, I boarded a ferry to go to Baubau and to drive across the Buton Island to reach Pasarwajo. In Pasarwajo, the site of the Butonese sultanate, Norman and I boarded a Bugis ship, phinisi, to roam around Wangiwangi, Kaledupa, Tomea, Binongko and Hoga islands. This archipelago, located in the biodiverse hotspot known as Wallacea, was made an environment protection area. It is also a diving paradise.
In Java, I traveled to Semarang and Salatiga, where I used to live. Later I visited Blitar (the tomb of Sukarno), Panataran village (the site of the Palah Temple of the Majapahit era), Malang, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo and my hometown Jember. Along with his grandfather and father, Norman came to see plantation areas like Glenmore, Kalibaru and visited a turtle-breeding beach called Sukamade. My father accompanied Norman when I did my interviews. I lost my laptop and my camera inside the Jakarta-Blitar train. Thieves probably opened my bag and took them away while I was sleeping.
In the Lesser Sunda islands, I began on Timor Island. I flew from Jakarta to Kupang, doing some reporting in Kupang, including in the Tuapukan refugee camp, and later Soe, Nikiniki, Kefamenanu, Atambua as well as crossing the border into newly-independent East Timor to visit Matoain, Liquisa and Dili.
I stayed the nights at the Portuguese-built Hotel Turismo. It is an old and beautiful hotel facing the Dili Bay. I used to sleep here when Dili was still occupied by Indonesia. Going back to Hotel Turismo in a new Timor Lorosae is indeed a fascinating experience.
When returning to Kupang, I took a ferry to visit Baa, Oelaba and Oeseli on Rote Island. From Oeseli, I took the small wooden boat to see Ndana Island. The Ford Foundation, which gave me a grant to partly finance the trips, helped me to take another ferry to go to Maumere on Flores Island. I boarded a public bus to go to Wolowaru, Detusoko, Mt. Kelimutu and Ende.
The Ford Foundation grant also allowed me to go to the Maluku islands. The trip started in Ternate. I then took a speedboat to go to the neighboring Halmahera Island, visiting Galela, Tobelo, Kao, Malifut, Sosol, Tahane and Sidangoli. I spent the nights in Tobelo and Tahane. I also went to Soasiu on Tidore Island. It was the first place ever where I realized that Christians were not allowed to settle on the Muslim-controlled island. I also stayed in Ambon, doing an extensive reporting and interviews, which included a visit to the Waiheru prison, near Ambon, meeting Alifuru leader Semuel Waileruny. Alifuru is the name that embraces all ethnic group in the Maluku islands.
When the Ford Foundation grant ended in February 2006, I used some freelance assignments to be in Papua. This is a very vast island. I have to use planes wherever I go. I visited Jayapura (including Abepura, Padang Bulan, Kutaraja, Sentani), Manokwari, Biak as well as Merauke. In Manokwari, I easily made a short boat ride to Mansinam Island. In Merauke, I rented a mini van to visit the SP-2 transmigration area, where the Benny Moerdani monument, commemorating Indonesia's invasion to Papua, was established.
Three international cities, London, Stockholm and Kuala Lumpur, also had me conducting some interviews. Finally, I have to mention that Jakarta, the metropolitan in Java, is my homebase and where Norman goes to an international school. This is the place where Norman waited for me and listened to each travel story I told him.
Photo captions: Hotli Simandjuntak took my photo in the aftermath of the tsunami in Banda Aceh. In the Merauke airport, Agapitus Batbual asked me to pose for a photo at the entrance of the airport. It took three years to travel from Aceh to Papua
Tuesday, March 06, 2007
More than 70 places for book reporting
When looking back into the many trips that I made for my book, I think that as a whole, it was a once-in-a-lifetime opportunity. I visited more than 70 locations in three years. Several sites were just concrete-and-steel metropolitans like Pontianak, Surabaya or Manado. But the journey also brought me to visit small towns, beautiful villages and gorgeous islets. Names of islands such as Weh, Karatung, Karakelang and Mansinam, for instance, barely ring a bell among most people living in Indonesia, especially on the main island of Java.
I climbed Mt. Kelimutu on Flores Island, seeing sunrise near its breathtaking three-color volcanoes: red, green and dark brown. Unfortunately, when climbing down the mountain, a car hit my motorbike. The motorcycle driver, a teenager from Ende, suffered a bone fracture.
In Aceh, I hopped into a chopper when visiting the tsunami-ravaged Lamno. I once took a small wooden boat to visit an unpopulated island called Ndana Island. The waves were pretty tall. The boat almost capsized when its fisherman suddenly jumping into the sea to catch a pair of mating giant sea turtles. In western Kalimantan, I took public buses. I Java, I could easily used trains. Seasick is not my problem. But small cockroaches that inhabited my Manado-Miangas cabin obviously posed a problem.
My son, Norman, also accompanied me, during his school holidays, in some trips. He was only six years old when his father began the journey. Three years on, he turned into a healthy fifth grader, fond of snorkeling, daring to jump into the sea from a moving ship. He also collected several exotic items such as a stone ax from Timika in Papua or wooden statues from Bali. He visited a Dutch-inherited cocoa plantation in Kalibaru area in eastern Java. In the farm, he helped milk the cows and saw rubber processing.
I climbed Mt. Kelimutu on Flores Island, seeing sunrise near its breathtaking three-color volcanoes: red, green and dark brown. Unfortunately, when climbing down the mountain, a car hit my motorbike. The motorcycle driver, a teenager from Ende, suffered a bone fracture.
In Aceh, I hopped into a chopper when visiting the tsunami-ravaged Lamno. I once took a small wooden boat to visit an unpopulated island called Ndana Island. The waves were pretty tall. The boat almost capsized when its fisherman suddenly jumping into the sea to catch a pair of mating giant sea turtles. In western Kalimantan, I took public buses. I Java, I could easily used trains. Seasick is not my problem. But small cockroaches that inhabited my Manado-Miangas cabin obviously posed a problem.
My son, Norman, also accompanied me, during his school holidays, in some trips. He was only six years old when his father began the journey. Three years on, he turned into a healthy fifth grader, fond of snorkeling, daring to jump into the sea from a moving ship. He also collected several exotic items such as a stone ax from Timika in Papua or wooden statues from Bali. He visited a Dutch-inherited cocoa plantation in Kalibaru area in eastern Java. In the farm, he helped milk the cows and saw rubber processing.
His favorite place is Papua. He loves the pristine rainforest in Papua. In one summer afternoon, Norman played soccer with children on Tomea Island. He was a goalie and lost the game! We then tasted a bulu babi soup.
I disciplined myself by reading books prior to each trip. In Aceh, I stayed mostly in Banda Aceh, but also traveled to the Aceh guerilla-controlled areas like Tiro, Sakti, Sigli and Lhok Nga. I also crossed the Aceh strait to do some interviews in Sabang and visited Iboih Beach, Balohan seaport and the Ujung Batu tip on Weh Island. Ujung Batu is the site of the "Republic Indonesia Kilometer Zero" monument.
In Borneo, I didn't cross any sea –it is already one of the largest islands on Earth-- but used wooden dong-dong boats to travel into remote villages in swampy areas. It was one of the most grueling trips as I visited many killing fields of the Madurese settlers. I mostly traveled by bus in western Kalimantan. They included Pontianak, Singkawang, Selakau, Pemangkat, Tebas, Jawai, Sentebang, Sambas, Semalantan, Bengkayang, Sanggau-Ledo, Menjalin and Mempawah.
In Sulawesi, I began my trip in Makassar and Manado. Makassar was only a brief stop to do some quick interviews. From Makassar, I flew to Manado, the metropolitan in northern Sulawesi. I took a car from Manado to visit the Minahasan’s intellectual capital: Tomohon. Later I used speedboats and ferries to travel around Sangihe and Talaud islands. They included Tahuna (Sangihe Island), Lirung (Salibabu Island), Melonguane and Beo (Karakelang Island), Karatung Island and Miangas Island.
In a separate trip from Kendari in southeast Sulawesi, I boarded a Bugis ship, a phinisi, to see Baubau and Pasarwajo (Buton Island). It also brought Norman and me to roam around Wangiwangi, Kaledupa, Tomea, Binongko and Hoga islands.
In Java, I traveled to Semarang and Salatiga, where I used to live. Later I visited Blitar (the tomb of Sukarno), Panataran village (the site of Palah Temple of the Majapahit era), Malang, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo and my hometown Jember. Norman came with me to see plantation areas like Glenmore, Kalibaru and visited a turtle-breeding beach called Sukamade.
In the Lesser Sunda islands, I began with Timor Island. I went to do some reporting in Kupang, Soe, Nikiniki, Kefamenanu, Atambua as well as crossing the border into East Timor to visit Matoain, Liquisa and Dili.
When returning to Kupang, I took a ship to visit Baa, Nemferala and Oeseli on Rote Island. From Oeseli, I took the small wooden boat to see Ndana Island.
The Ford Foundation, which gave me a grant to partly do the trips, helped me to go to Maumere, Wolowaru, Detusoko, Mt. Kelimutu and Ende on Flores Island.
The Ford Foundation grant also allowed me to go to the Malukus islands: Ternate as well as Galela, Tobelo, Kao, Malifut and Sidangoli on Halmahera Island. I took a speedboat from Ternate to visit Soasiu on Tidore Island. It was the first place ever where I realized that Christians were not allowed to settle on the Muslim-controlled island. I did an extensive reporting and interviews on Ambon Island, which included a visit to the Waiheru prison, near Ambon.
When the Ford Foundation grant finished, I used some freelance assignment to be in Papua. This is a very vast island. I have to use planes wherever I wanted to go. They included Jayapura (Abepura, Padang Bulan, Kutaraja, Sentani), Manokwari and Mansinam Island, Biak as well as Merauke and the SP-2 transmigration area near Merauke, where a Benny Moerdani monument was established.
What a trip! Donald K. Emmerson of Stanford University, who regularly advises me on this book, said that probably I have reached a new record among journalists who have ever traveled this much in Indonesia.
What’s the most beautiful?
I disciplined myself by reading books prior to each trip. In Aceh, I stayed mostly in Banda Aceh, but also traveled to the Aceh guerilla-controlled areas like Tiro, Sakti, Sigli and Lhok Nga. I also crossed the Aceh strait to do some interviews in Sabang and visited Iboih Beach, Balohan seaport and the Ujung Batu tip on Weh Island. Ujung Batu is the site of the "Republic Indonesia Kilometer Zero" monument.
In Borneo, I didn't cross any sea –it is already one of the largest islands on Earth-- but used wooden dong-dong boats to travel into remote villages in swampy areas. It was one of the most grueling trips as I visited many killing fields of the Madurese settlers. I mostly traveled by bus in western Kalimantan. They included Pontianak, Singkawang, Selakau, Pemangkat, Tebas, Jawai, Sentebang, Sambas, Semalantan, Bengkayang, Sanggau-Ledo, Menjalin and Mempawah.
In Sulawesi, I began my trip in Makassar and Manado. Makassar was only a brief stop to do some quick interviews. From Makassar, I flew to Manado, the metropolitan in northern Sulawesi. I took a car from Manado to visit the Minahasan’s intellectual capital: Tomohon. Later I used speedboats and ferries to travel around Sangihe and Talaud islands. They included Tahuna (Sangihe Island), Lirung (Salibabu Island), Melonguane and Beo (Karakelang Island), Karatung Island and Miangas Island.
In a separate trip from Kendari in southeast Sulawesi, I boarded a Bugis ship, a phinisi, to see Baubau and Pasarwajo (Buton Island). It also brought Norman and me to roam around Wangiwangi, Kaledupa, Tomea, Binongko and Hoga islands.
In Java, I traveled to Semarang and Salatiga, where I used to live. Later I visited Blitar (the tomb of Sukarno), Panataran village (the site of Palah Temple of the Majapahit era), Malang, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo and my hometown Jember. Norman came with me to see plantation areas like Glenmore, Kalibaru and visited a turtle-breeding beach called Sukamade.
In the Lesser Sunda islands, I began with Timor Island. I went to do some reporting in Kupang, Soe, Nikiniki, Kefamenanu, Atambua as well as crossing the border into East Timor to visit Matoain, Liquisa and Dili.
When returning to Kupang, I took a ship to visit Baa, Nemferala and Oeseli on Rote Island. From Oeseli, I took the small wooden boat to see Ndana Island.
The Ford Foundation, which gave me a grant to partly do the trips, helped me to go to Maumere, Wolowaru, Detusoko, Mt. Kelimutu and Ende on Flores Island.
The Ford Foundation grant also allowed me to go to the Malukus islands: Ternate as well as Galela, Tobelo, Kao, Malifut and Sidangoli on Halmahera Island. I took a speedboat from Ternate to visit Soasiu on Tidore Island. It was the first place ever where I realized that Christians were not allowed to settle on the Muslim-controlled island. I did an extensive reporting and interviews on Ambon Island, which included a visit to the Waiheru prison, near Ambon.
When the Ford Foundation grant finished, I used some freelance assignment to be in Papua. This is a very vast island. I have to use planes wherever I wanted to go. They included Jayapura (Abepura, Padang Bulan, Kutaraja, Sentani), Manokwari and Mansinam Island, Biak as well as Merauke and the SP-2 transmigration area near Merauke, where a Benny Moerdani monument was established.
What a trip! Donald K. Emmerson of Stanford University, who regularly advises me on this book, said that probably I have reached a new record among journalists who have ever traveled this much in Indonesia.
What’s the most beautiful?
Well, Sabang on Weh Island is my favorite destination but a bus trip along the Liquisa-Dili beach is also enchanting. I felt in love with Tobelo on Halmahera Island. But walking inside a Papua jungle, near Timika, is also a lot of fun. Shopping for freshly-caught fishes in the Biak fish market created an unforgetable memory. This archipelago is still beautiful.
Monday, March 05, 2007
Kerangka Buku
Hari ini secara teratur saya mulai masuk kembali ke proses penulisan buku saya. Proses ini sempat terbengkalai selama hampir setahun. Saya sibuk mencari income sesudah bantuan dari Ford Foundation habis April lalu. Bagaimana pun juga uang sekolah dan uang bulanan Norman harus dibayar. Ibunya biasa mencak-mencak setiap awal bulan. Kalau terlambat lebih dari tanggal 10, alamak, dia sudah mengeluarkan kata-kata kotor. Setan, anjing, jidat, ngacau dan sebagainya.
Syukurlah, Sapariah sangat membantu. Sapariah membayar keperluan makan, listrik, air, telepon, langganansuratkabar, TV kabel dan sebagainya. Sapariah mengeluarkan seruan tight money policy sehingga kami bisa menggunakan uang dengan hemat, mulai dari telepon hingga internet, dari belanja (pindah dari supermarket Carrefour ke pasar Palmerah) hingga kartu kredit (tutup buku dengan General Electric). Artine Utomo, seorang anggota pengawas Yayasan Pantau, juga memutuskan membantu keuangan saya. Artine berpikir kalau saya terus-menerus menulis buat media lain, saya takkan punya waktu menyelesaikan buku saya. Ini akan terkait dengan Pantau juga. Artine memutuskan menalangi semua keperluan bulanan Norman. Artine juga membayar sewa apartemen.
Tapi saya masih harus menyelesaikan janji menulis untuk Center for Public Integrity maupun International Center for Journalists di Washington DC. Mereka sudah membayar. Kini kontrak dengan ICFJ sudah selesai: mengajar menulis di IAIN Ar Raniry (Banda Aceh). Sejak Februari lalu, saya sudah bebas dari tanggungjawab mengajar di Aceh. Naskah tentang militer Indonesia-Amerika, pesanan Center for Public Integrity, juga sudah saya selesaikan. Judulnya, How Jakarta Bought Washington. Kini ia sudah masuk proses penyuntingan. Maret ini saya bebas dari semua tanggungan.
Makanya, hari ini saya kembali melihat kerangka karangan. Saya bagi buku ini dalam tujuh bab berdasarkan pulau atau kepulauan utama di wilayah ini: Sumatra, Borneo, Sulawesi, Jawa, Sunda Kecil, Maluku dan Papua.
Semua wilayah ini punya masalah dengan sebuah konsep yang kita sebut Indonesia. Dari Gerakan Acheh Merdeka di Sumatera hingga Permesta di Minahasa apalagi Organisasi Papua Merdeka. Pembunuhan terbesar dalam menegakkan konsep ini terjadi di Pulau Jawa pada 1965-1966.
Masing-masing bab terdiri lima hingga enam bagian. Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi sudah selesai. Jawa dan Maluku sudah selesai sebagian. Saya juga sudah punya bayangan bagaimana isi Epilogue. Ini semacam rangkuman buku dimana saya menjelaskan mitos Majapahit dan Sriwijaya, apalagi Patih Gajah Mada, sudah terbukti tak memadai untuk menciptakan persatuan di tujuh wilayah ini. Kini saya akan mulai menulis dengan Maluku lalu Sunda Kecil dan Papua. Lucunya, saya juga menulis Introduction. Ini menulis hal-hal berbeda pada saat bersamaan.
Acknowledgements
Introduction
Chapter One: Starting From Kilometer Zero
Chapter Two: Mate Kapphi in Borneo
Chapter Three: Desperately Seeking Minahasa
Chapter Four: Java Dominance, Java Dilemma
Chapter Five: East Timor’s Independence, West Timor’s Trouble
Chapter Six: The Maluku Wars
Chapter Seven: The Dying Papuans
Epilogue
Notes on Sources
Notes on Places
Selected Bibliography
Index
Menariknya, dalam rangka bikin buku ini, saya jadi menemukan nama-nama orang pada 17 Agustus 1945, yang menemui Mohammad Hatta, guna menghapus "tujuh kata" soal syariah Islam dari Undang-undang Dasar 1945. Hatta hanya menyebut bahwa ada orang menemuinya dan bilang "Indonesia Timur" takkan gabung dengan Republik Indonesia bila tujuh kata itu masuk konstitusi. Hatta tak pernah menyebutkan siapa "orang Kaigun" yang menyatakan keberatan tersebut. Kaigun adalah Angkatan Laut Jepang dengan pusat Makassar.
Saya memasukkan semua teori soal nasionalisme maupun soal etnik dan agama dalam ketujuh bab tersebut. Saya takkan memakai catatan kaki. Semua sumber wawancara maupun referensi (buku, kliping, pidato, dokumen, website) akan saya masukkan dalam Notes on Sources. Saya ingin naskah ini mengalir, mudah dicerna orang, tanpa terganggu dengan munculnya catatan kaki atau angka-angka. Namun bila pembaca ingin tahu dimana sumber-sumber informasi, bisa melihat Notes on Sources maupun Selected Bibliography.
Introduction berisi alasan saya mengapa menulis buku ini. Saya juga cerita dari awal, ketika lagi liputan di Stockholm pada 2001, dan tersentak secara psikologis dan intelektual terhadap apa yang disebut Hasan di Tiro sebagai "kolonialisme Jawa" maupun Indonesia sebagai "nama samaran" dari apa yang disebutnya "bangsa Jawa." Saya bertemu dengan banyak petinggi GAM di Stockholm.
Saya perhitungkan saya butuh sekitar lima bulan buat menyelesaikan buku ini. Hitungan kasarnya, saya bekerja tujuh hingga delapan jam sehari untuk buku. Saya biasa menulis sesudah bangun tidur pagi pukul 6:00 hingga 6:30. Ketika Sapariah bangun, memasak dan mengajak makan pagi, saya juga berhenti. Kami biasa gantian memasak. Kami lalu mengobrol dan diskusi. Ketika Sapariah menyanyi-nyanyi sambil dengar radio, bersiap-siap pergi kerja, saya pun mengerjakan kerjaan non-buku. Entah urusan Pantau atau menjawab pertanyaan mahasiswa. Saya biasa menerima empat hingga enam email setiap hari dari mahasiswa atau wartawan muda. Sapariah pergi bekerja tengah hari. Maka saya pun kembali menulis, diselingi tidur siang, lalu kerja dari sore hingga malam saat Sapariah kembali dari kerja. Saya menyiapkan makan malam. Rekan saya, Rina Erayanti, bergurau menyebut saya, "Bapak rumah tangga." Kerjanya cuma di rumah dan memasak.
Inilah rutinitas saya. Secara disiplin, saya juga menolak memberikan ceramah atau menulis apapun. Terkadang tak sampai hati kalau menghadapi mahasiswa. Saya merasa berutang budi pada semua mentor saya --Arief Budiman, George J. Aditjondro, Goenawan Mohamad, Bill Kovach dan lainnya. Utang ini biasanya saya "bayar kembali" kepada orang lain, terutama anak-anak muda. Tapi saya kira, gerakan berdiam dulu ini, tak membayar utang budi, hanya sementara saja hingga buku selesai. Begitu buku selesai, saya tentu bersedia mengajar lagi. Bagaimana pun buku ini, saya kira, penting guna mendidik orang soal rapuhnya bangunan kebangsaan Indonesia ini. Saya ingin membantu orang tak saling membunuh atas dasar agama, etnik, ideologi maupun kebangsaan. Sudah ada sekitar empat juta orang mati dibunuh atas nama Indonesia. Harus ada orang yang mengingatkan bahwa ini tak boleh berkelanjutan.
Syukurlah, Sapariah sangat membantu. Sapariah membayar keperluan makan, listrik, air, telepon, langganansuratkabar, TV kabel dan sebagainya. Sapariah mengeluarkan seruan tight money policy sehingga kami bisa menggunakan uang dengan hemat, mulai dari telepon hingga internet, dari belanja (pindah dari supermarket Carrefour ke pasar Palmerah) hingga kartu kredit (tutup buku dengan General Electric). Artine Utomo, seorang anggota pengawas Yayasan Pantau, juga memutuskan membantu keuangan saya. Artine berpikir kalau saya terus-menerus menulis buat media lain, saya takkan punya waktu menyelesaikan buku saya. Ini akan terkait dengan Pantau juga. Artine memutuskan menalangi semua keperluan bulanan Norman. Artine juga membayar sewa apartemen.
Tapi saya masih harus menyelesaikan janji menulis untuk Center for Public Integrity maupun International Center for Journalists di Washington DC. Mereka sudah membayar. Kini kontrak dengan ICFJ sudah selesai: mengajar menulis di IAIN Ar Raniry (Banda Aceh). Sejak Februari lalu, saya sudah bebas dari tanggungjawab mengajar di Aceh. Naskah tentang militer Indonesia-Amerika, pesanan Center for Public Integrity, juga sudah saya selesaikan. Judulnya, How Jakarta Bought Washington. Kini ia sudah masuk proses penyuntingan. Maret ini saya bebas dari semua tanggungan.
Makanya, hari ini saya kembali melihat kerangka karangan. Saya bagi buku ini dalam tujuh bab berdasarkan pulau atau kepulauan utama di wilayah ini: Sumatra, Borneo, Sulawesi, Jawa, Sunda Kecil, Maluku dan Papua.
Semua wilayah ini punya masalah dengan sebuah konsep yang kita sebut Indonesia. Dari Gerakan Acheh Merdeka di Sumatera hingga Permesta di Minahasa apalagi Organisasi Papua Merdeka. Pembunuhan terbesar dalam menegakkan konsep ini terjadi di Pulau Jawa pada 1965-1966.
Masing-masing bab terdiri lima hingga enam bagian. Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi sudah selesai. Jawa dan Maluku sudah selesai sebagian. Saya juga sudah punya bayangan bagaimana isi Epilogue. Ini semacam rangkuman buku dimana saya menjelaskan mitos Majapahit dan Sriwijaya, apalagi Patih Gajah Mada, sudah terbukti tak memadai untuk menciptakan persatuan di tujuh wilayah ini. Kini saya akan mulai menulis dengan Maluku lalu Sunda Kecil dan Papua. Lucunya, saya juga menulis Introduction. Ini menulis hal-hal berbeda pada saat bersamaan.
Acknowledgements
Introduction
Chapter One: Starting From Kilometer Zero
Chapter Two: Mate Kapphi in Borneo
Chapter Three: Desperately Seeking Minahasa
Chapter Four: Java Dominance, Java Dilemma
Chapter Five: East Timor’s Independence, West Timor’s Trouble
Chapter Six: The Maluku Wars
Chapter Seven: The Dying Papuans
Epilogue
Notes on Sources
Notes on Places
Selected Bibliography
Index
Menariknya, dalam rangka bikin buku ini, saya jadi menemukan nama-nama orang pada 17 Agustus 1945, yang menemui Mohammad Hatta, guna menghapus "tujuh kata" soal syariah Islam dari Undang-undang Dasar 1945. Hatta hanya menyebut bahwa ada orang menemuinya dan bilang "Indonesia Timur" takkan gabung dengan Republik Indonesia bila tujuh kata itu masuk konstitusi. Hatta tak pernah menyebutkan siapa "orang Kaigun" yang menyatakan keberatan tersebut. Kaigun adalah Angkatan Laut Jepang dengan pusat Makassar.
Saya memasukkan semua teori soal nasionalisme maupun soal etnik dan agama dalam ketujuh bab tersebut. Saya takkan memakai catatan kaki. Semua sumber wawancara maupun referensi (buku, kliping, pidato, dokumen, website) akan saya masukkan dalam Notes on Sources. Saya ingin naskah ini mengalir, mudah dicerna orang, tanpa terganggu dengan munculnya catatan kaki atau angka-angka. Namun bila pembaca ingin tahu dimana sumber-sumber informasi, bisa melihat Notes on Sources maupun Selected Bibliography.
Introduction berisi alasan saya mengapa menulis buku ini. Saya juga cerita dari awal, ketika lagi liputan di Stockholm pada 2001, dan tersentak secara psikologis dan intelektual terhadap apa yang disebut Hasan di Tiro sebagai "kolonialisme Jawa" maupun Indonesia sebagai "nama samaran" dari apa yang disebutnya "bangsa Jawa." Saya bertemu dengan banyak petinggi GAM di Stockholm.
Saya perhitungkan saya butuh sekitar lima bulan buat menyelesaikan buku ini. Hitungan kasarnya, saya bekerja tujuh hingga delapan jam sehari untuk buku. Saya biasa menulis sesudah bangun tidur pagi pukul 6:00 hingga 6:30. Ketika Sapariah bangun, memasak dan mengajak makan pagi, saya juga berhenti. Kami biasa gantian memasak. Kami lalu mengobrol dan diskusi. Ketika Sapariah menyanyi-nyanyi sambil dengar radio, bersiap-siap pergi kerja, saya pun mengerjakan kerjaan non-buku. Entah urusan Pantau atau menjawab pertanyaan mahasiswa. Saya biasa menerima empat hingga enam email setiap hari dari mahasiswa atau wartawan muda. Sapariah pergi bekerja tengah hari. Maka saya pun kembali menulis, diselingi tidur siang, lalu kerja dari sore hingga malam saat Sapariah kembali dari kerja. Saya menyiapkan makan malam. Rekan saya, Rina Erayanti, bergurau menyebut saya, "Bapak rumah tangga." Kerjanya cuma di rumah dan memasak.
Inilah rutinitas saya. Secara disiplin, saya juga menolak memberikan ceramah atau menulis apapun. Terkadang tak sampai hati kalau menghadapi mahasiswa. Saya merasa berutang budi pada semua mentor saya --Arief Budiman, George J. Aditjondro, Goenawan Mohamad, Bill Kovach dan lainnya. Utang ini biasanya saya "bayar kembali" kepada orang lain, terutama anak-anak muda. Tapi saya kira, gerakan berdiam dulu ini, tak membayar utang budi, hanya sementara saja hingga buku selesai. Begitu buku selesai, saya tentu bersedia mengajar lagi. Bagaimana pun buku ini, saya kira, penting guna mendidik orang soal rapuhnya bangunan kebangsaan Indonesia ini. Saya ingin membantu orang tak saling membunuh atas dasar agama, etnik, ideologi maupun kebangsaan. Sudah ada sekitar empat juta orang mati dibunuh atas nama Indonesia. Harus ada orang yang mengingatkan bahwa ini tak boleh berkelanjutan.
Jentik nyamuk dalam galon Sora
Minggu pagi ini ada kejutan di rumah saya. Kakak ipar saya, Nurhayati, menemukan seekor jentik nyamuk hidup ketika menuangkan air dari segalon Sora. Isteri saya, kedua adik ipar maupun saya sendiri bergidik melihat seekor jentik itu menggeliat-geliat penuh semangat dalam gelas itu.
Inilah satu sisi keburukan air minum Jakarta. Mau minum dari air ledeng produksi PT PAM Lyonnaise des Eaux maupun PT Thames PAM Jaya, kita kuatir mutunya, terkadang coklat, terkadang ada pasirnya.
Dua perusahaan ini masing-masing anak dari konglomerat Suez dan RWE Thames Water yang melakukan privatisasi terhadap PAM Jaya pada Februari 1998.
Maka, kita terpaksa beli air galon. Mulanya saya memakai Aqua namun ada protes di harian Kompas terhadap mutu Aqua (berlumut). Aqua juga lebih mahal. Sora adalah pilihan kedua. Kini air galon Sora pun berisi jentik nyamuk. Lengkap deh kesusahan kita.
Sora adalah produksi PT NMU Sukabumi dan didistribusikan oleh PT Patria Teguh Prakasa di Jakarta. Kami memesan galon itu lengkap dengan segelnya. Distributornya biasa mengantar pakai mobil ke apartemen dimana kami tinggal. Apartemen ini hanya menyediakan Aqua dan Sora.
Saya tak tahu harus protes pada siapa. Pihak apartemen, tentu saja, tak tahu kalau galon bersegel ada jentik nyamuknya. Lewat internet, saya tak menemukan referensi apapun tentang kedua perusahaan itu. Inilah nasib tinggal di Jakarta.
Inilah satu sisi keburukan air minum Jakarta. Mau minum dari air ledeng produksi PT PAM Lyonnaise des Eaux maupun PT Thames PAM Jaya, kita kuatir mutunya, terkadang coklat, terkadang ada pasirnya.
Dua perusahaan ini masing-masing anak dari konglomerat Suez dan RWE Thames Water yang melakukan privatisasi terhadap PAM Jaya pada Februari 1998.
Maka, kita terpaksa beli air galon. Mulanya saya memakai Aqua namun ada protes di harian Kompas terhadap mutu Aqua (berlumut). Aqua juga lebih mahal. Sora adalah pilihan kedua. Kini air galon Sora pun berisi jentik nyamuk. Lengkap deh kesusahan kita.
Sora adalah produksi PT NMU Sukabumi dan didistribusikan oleh PT Patria Teguh Prakasa di Jakarta. Kami memesan galon itu lengkap dengan segelnya. Distributornya biasa mengantar pakai mobil ke apartemen dimana kami tinggal. Apartemen ini hanya menyediakan Aqua dan Sora.
Saya tak tahu harus protes pada siapa. Pihak apartemen, tentu saja, tak tahu kalau galon bersegel ada jentik nyamuknya. Lewat internet, saya tak menemukan referensi apapun tentang kedua perusahaan itu. Inilah nasib tinggal di Jakarta.
Friday, March 02, 2007
Kabar Buruk dari Jakarta Post
Ada kabar buruk dari The Jakarta Post hari ini. Ati Nurbaiti, redaktur pelaksana, menelepon saya dan bilang naskah saya “Murder at Mile 63” takkan dimuat hari Minggu. Ati bilang ada sumber-sumber militer yang tak diwawancarai. Misalnya, Sersan Puji dan Kopassus. Ati juga bilang Rabu lalu, ketika mengatur tata letak halaman ini, dia tak sadar bahwa halamannya “terlalu grey” –terlalu banyak teks dan kurang gambar.
Ati minta maaf membawa kabar buruk ini. Saya bilang saya bisa saja memasukkan sangkalan dari Kopassus, paling satu atau dua kalimat. Saya cuma akan memindahkannya dari naskah yang lebih panjang atau lebih dari 50 catatan kaki ke naskah ini. Naskah ini menyinggung soal sekelompok tentara Kopassus yang dituduh terlibat pembunuhan tiga guru Freeport di Mile 63 dari jalanan Timika-Tembagapura, Papua, pada 31 Agustus 2002. Rekan saya, S. Eben Kirksey dan saya menulis bahwa penangkapan, pengadilan dan penghukuman terhadap sekelompok orang Papua, Antonius Wamang dan kawan-kawan, masih meninggalkan banyak tanda tanya. Mengapa polisi tak menyelidiki individu-individu polisi dan tentara yang terlibat dengan Wamang? Mengapa hasil penyelidikan polisi Papua berbeda 180 derajad dengan polisi Jakarta?
Tapi saya sadar keputusan sudah dibuat. Ada orang-orang lain ikut dalam keputusan ini. Saya tak mau memperpanjangnya. Saya lalu kirim email ke rekan saya, Eben Kirksey. Saya mengajak Eben cari penerbitan lain yang bersedia memuat naskah ini. Eben langsung menelepon balik dari California dan tertawa terbahak-bahak. Dia bilang, "Mereka itu takut. Mereka itu takut." Naskah itu sudah lengkap memuat bantahan tentara.
Ati minta maaf membawa kabar buruk ini. Saya bilang saya bisa saja memasukkan sangkalan dari Kopassus, paling satu atau dua kalimat. Saya cuma akan memindahkannya dari naskah yang lebih panjang atau lebih dari 50 catatan kaki ke naskah ini. Naskah ini menyinggung soal sekelompok tentara Kopassus yang dituduh terlibat pembunuhan tiga guru Freeport di Mile 63 dari jalanan Timika-Tembagapura, Papua, pada 31 Agustus 2002. Rekan saya, S. Eben Kirksey dan saya menulis bahwa penangkapan, pengadilan dan penghukuman terhadap sekelompok orang Papua, Antonius Wamang dan kawan-kawan, masih meninggalkan banyak tanda tanya. Mengapa polisi tak menyelidiki individu-individu polisi dan tentara yang terlibat dengan Wamang? Mengapa hasil penyelidikan polisi Papua berbeda 180 derajad dengan polisi Jakarta?
Tapi saya sadar keputusan sudah dibuat. Ada orang-orang lain ikut dalam keputusan ini. Saya tak mau memperpanjangnya. Saya lalu kirim email ke rekan saya, Eben Kirksey. Saya mengajak Eben cari penerbitan lain yang bersedia memuat naskah ini. Eben langsung menelepon balik dari California dan tertawa terbahak-bahak. Dia bilang, "Mereka itu takut. Mereka itu takut." Naskah itu sudah lengkap memuat bantahan tentara.
Eben sudah bekerja selama hampir dua tahun, mempelajari kasus Timika ini, dari Timika, Jayapura, Jakarta dan Washington DC. Dia mengikuti kasus ini dengan detail, perkembangan demi perkembangan. Lepas dari takut atau tidak, sayangnya, naskah ini takkan pernah bisa muncul untuk khalayak Indonesia. Jakarta Post adalah satu-satunya harian berbahasa Inggris di negeri ini. Kami akan menawarkannya ke Amerika, Eropa atau Australia –tempat-tempat dimana isu Papua, Indonesia dan Amerika menarik perhatian.
Belakangan, Ati mengirim email, “I feel awful for not having spotted missing sources earlier, and the others noticed it when we had printed the plotter.”
“There were other issues apart from missing sources and layout, but I've yet to hear of them directly. I apologize for all the trouble.”
Saya tak setuju pendapat Ati soal "missing sources." Dalam naskah itu ada jurubicara militer menjelaskan posisi mereka. Naskah ini juga mengutip bantahan satu kapten Kopassus, Margus Arifin, yang berada pada titik pusat perdebatan keterlibatan tentara dalam pembunuhan Mile 63. Namun Ati adalah teman saya sejak saya bekerja di Jakarta Post pada 1993-1994. Saya kira Ati sudah berusaha lebih dari sekedar pekerjaan standarnya.
Naskah ini ada di mailbox Jakarta Post sejak awal Januari. Dua minggu terakhir ini, ketika Ati memberitahu saya bahwa Jakarta Post akan memuatnya, maka saya pun bekerja keras mengurangi panjangnya, dari sekitar 8,000 jadi 6,000 kata agar masuk 2 halaman edisi Minggu 4 Maret 2007. Saya juga menghilangkan catatan kaki. Lalu saya masih mencarikan foto, peta lapangan maupun membantu proof reading.
Tapi sudahlah. Saya akan cari tempat lain untuk naskah ini. Kalau perlu saya muat di blog saya saja. Ini sudah zaman dimana blog makin berperan penting. Saya menghibur diri dengan berpikir beberapa naskah saya yang ditolak media Jakarta, pada gilirannya, dimuat media internasional dan saya menang penghargaan disana. Mudah-mudahan "Murder at Mile 63" ini akan mengikuti kakak-kakaknya.
Belakangan, Ati mengirim email, “I feel awful for not having spotted missing sources earlier, and the others noticed it when we had printed the plotter.”
“There were other issues apart from missing sources and layout, but I've yet to hear of them directly. I apologize for all the trouble.”
Saya tak setuju pendapat Ati soal "missing sources." Dalam naskah itu ada jurubicara militer menjelaskan posisi mereka. Naskah ini juga mengutip bantahan satu kapten Kopassus, Margus Arifin, yang berada pada titik pusat perdebatan keterlibatan tentara dalam pembunuhan Mile 63. Namun Ati adalah teman saya sejak saya bekerja di Jakarta Post pada 1993-1994. Saya kira Ati sudah berusaha lebih dari sekedar pekerjaan standarnya.
Naskah ini ada di mailbox Jakarta Post sejak awal Januari. Dua minggu terakhir ini, ketika Ati memberitahu saya bahwa Jakarta Post akan memuatnya, maka saya pun bekerja keras mengurangi panjangnya, dari sekitar 8,000 jadi 6,000 kata agar masuk 2 halaman edisi Minggu 4 Maret 2007. Saya juga menghilangkan catatan kaki. Lalu saya masih mencarikan foto, peta lapangan maupun membantu proof reading.
Tapi sudahlah. Saya akan cari tempat lain untuk naskah ini. Kalau perlu saya muat di blog saya saja. Ini sudah zaman dimana blog makin berperan penting. Saya menghibur diri dengan berpikir beberapa naskah saya yang ditolak media Jakarta, pada gilirannya, dimuat media internasional dan saya menang penghargaan disana. Mudah-mudahan "Murder at Mile 63" ini akan mengikuti kakak-kakaknya.
Thursday, March 01, 2007
Gatra dan Jakarta Post
Minggu ini mungkin termasuk minggu unik dalam karir saya sebagai wartawan. Ada dua karya saya, semuanya narasi panjang, dimuat dua media di Jakarta. Majalah mingguan Gatra memuat "Hoakiao dari Jember" sedang harian The Jakarta Post akan memuat "Murder at Mile 63." Gatra terbit hari Kamis dan beredar di pasar, terutama luar Jakarta, sejak hari Jumat. Laporan saya untuk The Jakarta Post terbit hari Minggu.
Laporan "Murder at Mile 63" ditulis bersama S. Eben Kirksey, satu mahasiswa Ph.D dari UC Santa Cruz, California. Eben melakukan riset dan interview selama 17 bulan di Timika dan Jayapura. Naskah ini intinya mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan dalam proses penangkapan, pengadilan dan penghukuman Antonius Wamang dan kawan-kawan. Mereka dituduh membunuh tiga orang guru sekolah Freeport di dekat Timika. Kini Wamang dan lima rekannya dipenjara di lembaga pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Saya senang bekerja dengan Eben. Dia seorang anak muda yang penuh antusiasisme.
Naskah Gatra panjangnya 12 halaman dilengkapi dengan beberapa foto. Heddy Lugito, redaktur pelaksana Gatra, membawa naskah ini ke rapat redaksi agar ia bisa terbit utuh. Heddy menaikkan tawaran dari 10 jadi 12 halaman. Saya ikut memilih foto dan membuatkan caption minggu lalu. Narasi ini bercerita tentang identitas dan perjuangan seorang Tionghoa Jawa dari Jember. Ceritanya selang-seling antara pengalaman pribadi Ong Tjie Liang dan kehidupan politik dan rasialisme di Pulau Jawa. Settingnya mengalir sejak zaman pembukaan kebun-kebun karet, cocoa dan tembakau di daerah Besuki dan Jember pada abad XIX hingga upaya perdamaian Aceh pasca-tsunami 2004. Saya melakukan riset ini sejak Juni 2005 dengan bantuan Ford Foundation. Mereka mendanai pembuatan buku saya From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Riset Jember ini mulanya dibuat untuk buku namun belakangan dikurangi. Saya juga pergi mengunjungi perkebunan Kalibaru serta kota Malang dan Surabaya. Materi yang berlebih itulah yang saya pakai untuk "Hoakiao dari Jember."
Naskah Jakarta Post sepanjang dua halaman penuh broadsheet. Jakarta Post hanya pernah sekali saja memuat naskah penuh dua halaman. Naskah itu ditulis Adam Ellick soal tsunami di Aceh. Ini baru kedua kalinya Jakarta Post memuat naskah dua halaman penuh. Redaktur pelaksana Ati Nurbaiti membawa naskah ini ke sidang redaksi Jakarta Post. Rapat akhirnya menyediakan tempat dua halaman. Hari Rabu kemarin, saya melakukan proof read naskah itu bersama redaktur edisi Minggu Jim Read. Saya senang kerja dengan Jim. Ini orang Inggris yang bicaranya pelan. Orangnya sopan. Dia sempat tanya siapa yang bakal marah dengan terbitnya naskah ini?
Saya mengutip pendapat satu profesor Indonesianis dari Amerika Serikat. Dia bilang Federal Bureau of Investigation (FBI) kemungkinan akan mendapat malu besar dengan terbitnya naskah "Murder at Mile 63" itu. FBI selalu membanggakan diri mereka sebagai independen dari rezim siapa pun yang memerintah Amerika. Naskah itu membuktikan bagaimana FBI tak bersikap independen terhadap pemerintahan George W. Bush.
Sejak mulai sering menulis panjang, saya jarang bisa menerbitkan naskah dalam waktu berdekatan. Paling maksimal, sekitar tiga bulan jaraknya. Itupun kebanyakan di media luar Indonesia. Media Jakarta mayoritas hanya menerbitkan naskah-naskah pendek. Mereka jarang mau menganggap masyarakat juga butuh naskah panjang. Minggu ini, dua naskah saya terbit hampir bersamaan, Kamis dan Minggu, di dua media Jakarta. Ini minggu yang sungguh unik dalam karir kewartawanan saya.
Laporan "Murder at Mile 63" ditulis bersama S. Eben Kirksey, satu mahasiswa Ph.D dari UC Santa Cruz, California. Eben melakukan riset dan interview selama 17 bulan di Timika dan Jayapura. Naskah ini intinya mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan dalam proses penangkapan, pengadilan dan penghukuman Antonius Wamang dan kawan-kawan. Mereka dituduh membunuh tiga orang guru sekolah Freeport di dekat Timika. Kini Wamang dan lima rekannya dipenjara di lembaga pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Saya senang bekerja dengan Eben. Dia seorang anak muda yang penuh antusiasisme.
Naskah Gatra panjangnya 12 halaman dilengkapi dengan beberapa foto. Heddy Lugito, redaktur pelaksana Gatra, membawa naskah ini ke rapat redaksi agar ia bisa terbit utuh. Heddy menaikkan tawaran dari 10 jadi 12 halaman. Saya ikut memilih foto dan membuatkan caption minggu lalu. Narasi ini bercerita tentang identitas dan perjuangan seorang Tionghoa Jawa dari Jember. Ceritanya selang-seling antara pengalaman pribadi Ong Tjie Liang dan kehidupan politik dan rasialisme di Pulau Jawa. Settingnya mengalir sejak zaman pembukaan kebun-kebun karet, cocoa dan tembakau di daerah Besuki dan Jember pada abad XIX hingga upaya perdamaian Aceh pasca-tsunami 2004. Saya melakukan riset ini sejak Juni 2005 dengan bantuan Ford Foundation. Mereka mendanai pembuatan buku saya From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Riset Jember ini mulanya dibuat untuk buku namun belakangan dikurangi. Saya juga pergi mengunjungi perkebunan Kalibaru serta kota Malang dan Surabaya. Materi yang berlebih itulah yang saya pakai untuk "Hoakiao dari Jember."
Naskah Jakarta Post sepanjang dua halaman penuh broadsheet. Jakarta Post hanya pernah sekali saja memuat naskah penuh dua halaman. Naskah itu ditulis Adam Ellick soal tsunami di Aceh. Ini baru kedua kalinya Jakarta Post memuat naskah dua halaman penuh. Redaktur pelaksana Ati Nurbaiti membawa naskah ini ke sidang redaksi Jakarta Post. Rapat akhirnya menyediakan tempat dua halaman. Hari Rabu kemarin, saya melakukan proof read naskah itu bersama redaktur edisi Minggu Jim Read. Saya senang kerja dengan Jim. Ini orang Inggris yang bicaranya pelan. Orangnya sopan. Dia sempat tanya siapa yang bakal marah dengan terbitnya naskah ini?
Saya mengutip pendapat satu profesor Indonesianis dari Amerika Serikat. Dia bilang Federal Bureau of Investigation (FBI) kemungkinan akan mendapat malu besar dengan terbitnya naskah "Murder at Mile 63" itu. FBI selalu membanggakan diri mereka sebagai independen dari rezim siapa pun yang memerintah Amerika. Naskah itu membuktikan bagaimana FBI tak bersikap independen terhadap pemerintahan George W. Bush.
Sejak mulai sering menulis panjang, saya jarang bisa menerbitkan naskah dalam waktu berdekatan. Paling maksimal, sekitar tiga bulan jaraknya. Itupun kebanyakan di media luar Indonesia. Media Jakarta mayoritas hanya menerbitkan naskah-naskah pendek. Mereka jarang mau menganggap masyarakat juga butuh naskah panjang. Minggu ini, dua naskah saya terbit hampir bersamaan, Kamis dan Minggu, di dua media Jakarta. Ini minggu yang sungguh unik dalam karir kewartawanan saya.