Oleh Ardita Caesari
Don
Keributan itu terjadi tahun 1988, memaksa Tri Sabdono ganti merek. Terbitlah “Bre Redana”. Akunya, “Bre” digunakan orang Batak untuk menjelaskan garis ibu. Sisanya tak berarti. Andreas Harsono, mentor kami memanggilnya “Don”. Dia mengatakan juga sulit menulis panjang, padahal itu tuntutan wajib kelas menulis narasi yang menghadirkannya siang itu, di rumah makan berlabel “Warisan Kuliner Indonesia”, label yang sedikit diprotes Andreas, yang memang kritis pada banyak hal. Hari itu kelas kami berniat menambang wawasan dari reporter gaek yang siang itu mengenakan kaos merah gambar sketsa “Hong Kong Phooey” bertuliskan “I’m Huge in Hong Kong”.
Sreg
Sebagian besar dari peserta kelas khawatir tidak bisa menulis panjang dengan macam-macam alasan. Don sendiri tidak peduli panjang-pendeknya tulisan. Baginya, ketika kita punya kebutuhan untuk mengungkapkan sesuatu, maka hal itu harus diungkapkan dengan pas dan kita harus sreg dengan bentuk yang ingin kita ungkapkan. Bingung? Kira-kira intinya begini, kalau ingin menulis, harus langsung menulis dan harus merasa pas dan nyaman dengan panjang, pendek, tipe dan gaya tulisan. “Sreg itu penting buat penulis.” Selain itu, “Penulis harus menemukan dirinya sendiri. Harus punya gaya.” Imbuhnya.
Panjang-pendek
Soal panjang-pendek tulisan, Harsono dan Don punya kisah. Harsono bilang, Janet Steele (dosen narasi dari George Washington University) mengkritiknya karena gaya tulisan Harsono khas wartawan Indonesia. Tak punya nafas panjang untuk menjadi buku. Harsono juga menambahkan, di Indonesia wartawan kurang punya kesempatan berlatih menulis panjang karena industri media Indonesia berpendapat tidak ada yang mau baca tulisan panjang. Harian Kompas dulu punya liputan bersambung untuk memecah tulisan panjang, namun sekarang sudah tidak ada. Apalagi sejak layoutnya ditata makin kompak. Menurut Don, di negara Barat ada istilah ”sabbatical leave”, semacam cuti panjang bergaji untuk wartawan dan cuti itu bisa digunakan untuk keperluan macam-macam, yang penting bisa lari dari rutinitas harian untuk kemudian untuk menulis buku (yang juga) panjang.
Obsesi Don pada segala hal yang berbau urban dan post modernisme nampaknya menjelaskan kerajinannya mengulas kosmetik bermerek hingga masalah ruang di perkotaan. Tapi saya lupa tanya kenapa ia menggilai masalah itu.
Struktur di balik Struktur
Dari peluncuran sebuah produk pewangi badan bermerek, Don mengamati struktur kekuatan di balik struktur bangunan mal mewah Jakarta. Konon, tahun 1825 Guerlain, tukang parfum Paris sukses membuat esens aroma miwak wangi. Alhasil, pewangi badang kaum elit itu bisa dipasarkan ke seluruh dunia dan disemprotkan oleh kaum di luar elit. Konon, toko besar eksklusif di sebuah mal di Jakarta menggariskan hanya merek eksklusif kelas dunia yang bisa nangkring. Lokal dilarang. Ini soal image, Bung. Secara galak, meski punya duit untuk sewa lahan atau bikin merek baru atau punya merek lokal, tetap tidak bisa memasukkan barang karena mereknya belum mendunia. Lalu, benda-benda merek wahid itu dibeli putus alias beli barang dan barang lalu jadi hak pembeli. Jika tak laku, barang lantas dijual dengan diskon. Sedikit banyak, praktek ini menyisakan untung buat pembeli yang menjual. Untuk merek lokal, barang dibeli dengan sistem konsinyasi alias jual titip. Artinya, apabila produk tak laku, maka produk harus hengkang dari si toko dingin. Bicara soal Asia Tenggara, di Bangkok produk lokal dapat tempat di mal besar, dengan biaya sewa lahan lebih murah pula..
Yang menarik, seorang rekan sekelas menambahkan, mal mewah membagi kelas pembeli tiap lantai. Biasanya, lantai satu untuk pembeli kelas A atau kelas menengah ke atas, lantai dua untuk kelas AB atau menengah saja dan lantai tiga, dia bilang kelas BC atau ”brondong”, istilah anak muda gaul.
Lihai
Garis bawah dari cerita Don adalah, penulis harus lihai menangkap isu. Dia suka mengulang kata ”alert” ketimbang lihai. Banyak baca adalah keharusan berikutnya. Lelaki rambut panjang warna ”salt and pepper” alias abu-abu itu mengangkat buku saku dengan sampul warna hitam. Tadi dia sempat berkunjung ke toko buku kecil di sayap kanan restoran dan membeli beberapa buku: ”Hard Times” (Charles Dickens), ”The Graduate” (Charles Webb) dan entah apa lagi. Don mulai cerita lagi. Tentang kota. Katanya, buku ”Hard Times” berkisah tentang kota London. Bicara soal kota, orang banyak mengira kota dibangun sebagai pusat ekonomi. Padahal, sejarah menunjukkan kota dibangun karena alasan spiritual, sebagai tempat pemujaan. Ketika revolusi industri, baru kota dibangun sebagai pusat industri.
Bintaro
Sebagai penghuni perumahan Bintaro selama 13 tahun, Don punya pengalaman menarik. Pada malam terakhirnya sebelum pindah ke Ciawi, pembantu rumahnya bertanya, ”Pamit ke siapa ya, Pak?” Demi etika, karena telah tinggal lama di Bintaro dan akan pindah esoknya, lebih afdol kalau mohon izin atau pamit kepada tetangga sekitar. Pertanyaan itu membuat Don seperti disambar badai. Dia baru sadar, tak ada satu pun tetangga yang ia kenal. Jadi, dia tidak bisa pamit. Satu-satunya manusia yang tinggal di sekitar rumahnya dan ia tahu betul namanya adalah Pak Sukro, sang satpam lingkungan. Setelah Don pamit, Pak Sukro lantas mengunjungi rumahnya. Mulia sekali. Ternyata menyodorkan map seraya berkata, ”Pak, iuran satpamnya dibayar dulu ya ....” Tragedi sosial..
Profesi
Seorang rekan lain bertanya, bila profesi menulis yang ia lakoni sekarang diterjuni sebagai pilihan atau karena tak ada pilihan. Jawaban laki-laki yang tawanya memunculkan sederet gigi putih sehat ini mundur puluhan tahun ke masa sekolah dasar. Dulu, sekolahnya di Salatiga sering mengajak murid-murid pesiar ke Rawa Pening. As a catch, setiap murid wajib bikin laporan. Cerita Don tentang kunjungan ke Rawa Pening ia kawinkan dengan Baudrillard tentang kesadaran. Jadi begini, Jean Baudrillard bersabda, kesadaran manusia ditentukan oleh narasi. Saat itu, populasi ular masih tinggi di Rawa Pening. Guru Don meminta agar anak didiknya tidak mengganggu ular karena konon ular-ular itu ada hubungannya dengan legenda Baru Klinting. Kemudian, Bre baru sadar bahwa himbauan itu dikeluarkan agar ekologi Rawa Pening tak diusik. Contoh Baru Klinting dan pelestarian ekologi inilah perwujudan nyata dari sabda Beaudrillard tadi, bahwa kesadaran orang tentang pelestarian ekologi rawa dipengaruhi oleh legenda si Baru Klinting.
Zich
Ada turning point dalam kerja tulis-menulis Don. Sekitar tahun 1983-1984, jurnalis National Geographic bernama Arthur Zich bertandang ke Jakarta untuk menulis tentang Indonesia. Oleh kantornya, harian Kompas, Don diminta menyetir mobil kantor, mangantar Zich ke mana dia mau. Upahnya, dia dapat kuliah malam soal menulis yang baik dan benar. Waktu itu, Don bingung melihat Zich bertemu dan berbicara dengan begitu banyak orang dari berbagai latar belakang kehidupan. Bagaimana nanti Zich akan menulis secara menarik dari hasil wawancaranya?
Zich yakin, masalah Indonesia adalah jumlah penduduk yang terlalu banyak. Sebagai bahan tulisannya, dia ingin mengikuti proses kelahiran seorang bayi. Karena tak mau cari cara mudah nongkrongin rumah sakit, keduanya keluar-masuk kampung, cari ibu yang akan melahirkan bayi. Tibalah kedua wartawan itu di Dataran Tinggi Dieng. Entah bagaimana, mereka tiba di sebuah gua. Zich ingin bertemu dengan kuncen gua tersebut. Dia lalu mewawancarainya. Usut punya usut, ternyata gua tersebut tempat kramat dan konon, RI-1 jaman itu sering bertapa di situ. Si kuncen pun menunjuk helipad di sekitar lokasi gua.
”Politik Indonesia tidak didasarkan pada konsensus, tapi pada wahyu.” Demikian kalimat pamungkas Zich. Kami yang duduk melingkar di dekatnya sedikit tersentak. Don kemudian menambahkan, bahwa wawancara adalah proses konfrontasi kesadaran. Ketika kita wawancara orang, kita juga dituntut berpikir dan hendaknya membuka kesadaran kita tentang suatu hal yang sedang dibahas.
Yang lucu
Masih tentang Zich. Sesudah perjalanan menyusuri Jawa, Zich kembali ke Jakarta dan mewawancarai RI-1. Pokok bahasan utama tentunya keberhasilan pembangunan Indonesia masa itu. Kelar diskusi soal kesuksesan, Zich bertanya tentang kritik yang beredar bahwa pembangunan hanya dikuasi keluarga sang pemimpin. Konon sang pemimpin senyum dan berkata bahwa mereka yang melihat pembangunan dengan cara itu hanya lihat dengan sebelah mata. Dasar wartawan, Zich menimpali, bahwa sebagai tentara, dengan melihat sebelah mata, maka sasaran yang dibidik pasti kena. Konon lawan bicara Zich berkata bahwa dengan menutup kedua matanya pun ia masih bisa mengenai bidikannya. Detik itu juga Zich angkat kaki.
Ketika seorang rekan bertanya tentang ukuran ketrampilan menulis, Bre Redana menjawab ringan, bahwa ia dulu selalu minta ibunya untuk memeriksa tulisannya, karena ibunya adalah orang yang sederhana. ”Kalau ibu saya bisa mengerti, artinya tulisan saya bisa dimengerti.“
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.