Linda Christanty
Tubuh mungil bocah usia tiga tahun menyembul di pintu. Tangan kanannya mendekap boneka Barney ungu. Mata sipit, tapi kulit kecoklatan. Dia kelihatan kesal, hampir menangis.
“Itu anak saya, Norman. Norman, come here ...,” kata Andreas Harsono, lalu melambai pada putranya.
Itulah pertama kali saya melihat Norman Harsono.
Bocah itu tetap tak beranjak dari ambang pintu. Dia merengek, ingin ayahnya datang.
Ketika Andreas menghampiri, Norman langsung menggenggam tangan sang ayah. Mereka berdua kemudian menghilang di balik pintu. Sesekali percakapan ayah dan anak terdengar. Bujukan ayah ditimpali rengek kanak-kanak. Semula jelas, lama-lama sayup. Tak berapa lama gema langkah mereka terdengar menuruni tangga di ruang sebelah.
Di penghujung tahun 2000 itu, Andreas baru datang dari Amerika setelah memperoleh Nieman Fellowship untuk mengikuti pendidikan jurnalisme di Universitas Harvard. Dia satu dari lima wartawan Jakarta dalam 30 tahun yang mendapat beasiswa tersebut.
Di Jakarta, Andreas mengajak saya memperkenalkan genre jurnalisme sastrawi lewat majalah Pantau. Dia ingin mengajarkan etika dan prinsip jurnalisme yang benar. Selain rekan sekantor, kami juga berteman baik. Andreas sering membicarakan Norman.
Bertahun-tahun setelah itu, saya menyaksikan Norman tumbuh dan berkembang. Kehidupan Andreas maupun kehidupan saya mengalami banyak perubahan. Pertemuan, perpisahan, kesedihan, gembira, sakit hati, terluka, haru, benci, gelak tawa. Hubungan kami pun tidak selalu manis. Berdebat keras, bertengkar hebat, dan saling jengkel bukan sekali dua. Maklumlah, sama-sama keras kepala. Namun, kami juga bisa bersama-sama menertawakan diri-sendiri.
Kadang tengah malam, kadang menjelang subuh, telepon dari Andreas berdering. Itu menandakan situasi darurat tengah berlangsung di pihaknya. Untuk urusan jurnalisme. Untuk urusan pribadi. Dalam jurnalisme kami sejalan. Dalam hal pribadi, hampir bertolak belakang. Andreas sangat merindukan keluarga, ingin punya pasangan tetap, sangat menyukai anak-anak. Saya sebaliknya, sama sekali belum pernah berpikir punya anak.
Suatu malam, sekitar pukul delapan, di hari Minggu, telepon dari Andreas berdering lagi. Waktu itu saya tengah merenung-renung sendiri di kantor saya yang sunyi.
“Linda, aku sangat sedih hari ini,” katanya, tersendat.
“Lho? kenapa, Mas?”
“Norman.”
“Norman sakit?”
“Nggak. Tapi dia sudah mulai berbohong. Rasanya sedih sekali dibohongi anak sendiri.” Suaranya serak.
“Bohong tentang apa? Kenapa dia sampai bohong?”
“Soal menonton film. Katanya dia belum sekalipun nonton film itu, padahal sudah tiga kali. Pekerjaan rumahnya belum selesai, jadi aku larang nonton. Dia kemudian bilang begitu. Dia sudah minta maaf. Tapi aku tetap sedih.”
“Mas, saya juga pernah berbohong pada orangtua. Kita semua pernah berbohong pada orangtua. Nggak baik memang. Tapi kemudian kita tidak lantas jadi orang jahat. Yang penting Mas bilang pada dia agar tidak melakukannya lagi,” kata saya.
“Iya, tadi kami juga nangis bersama. Lucu, ya?” Dia terisak.
Saya jadi terharu.
Semalam saya menonton sebuah film tentang hubungan ayah dan anak. Beda usia, beda cara pandang. Sang anak mewarisi semangat zamannya. Dia ingin hidup lebih bebas serta melangkah dengan cita-cita sendiri. Sang ayah ingin anaknya mematuhi semua kata-katanya. Latar waktu film ini adalah saat Mao Tse Tung berkuasa di China sampai China di hari ini.
Ayah dalam film ini digambarkan sebagai anggota partai komunis yang setia, jujur, dan teguh pada apa yang diyakininya benar. Dulu dia bercita-cita jadi pelukis, tapi gagal gara-gara dia dikhianati sahabatnya sendiri. Dia ingin putranya jadi pelukis, karena dia melihat bakat besar itu ternyata menurun pada sang anak. Hubungan ayah dan anak pun terus-menerus diwarnai ketegangan dan pertengkaran.
Suatu hari, ketika sang anak dewasa dan jadi pelukis terkenal, sang ayah tiba-tiba menghilang. Dia meninggalkan pesan untuk anaknya. Dia mengatakan dia merasa gagal jadi ayah. Dia mengatakan bahwa dia sangat mencintai putranya. Dia pergi, karena dia selama ini tak punya waktu justru untuk memikirkan dirinya sendiri. Dia tak menyangka apa yang dianggapnya benar telah melukai orang lain.
Sang ayah tak pernah kembali.
Suatu hari, sepulang dari rumah bersalin setelah kelahiran anak pertamanya, si pelukis melewati rumah ayahnya. Dia melihat setangkai bunga matahari, besar, kuning cerah, mekar dalam pot. Dia terkesima. Dia menyangka ayahnya sudah pulang, tapi ternyata tidak. Dia merindukannya. Kenangan pada sang ayah tetap hidup, sebagaimana bunga-bunga matahari kini tumbuh dan mekar di kebun. Sunflower, film karya Zhang Yang ini sangat menyentuh.
Saya jadi teringat cinta Andreas pada Norman. Saya jadi teringat cinta ayah saya pada saya.
6 comments:
Tulisan yang manis Kak Lin! Sangat mewakili gambaran karakter Bang Andreas (saya orang Batak nih, panggil abang aja yah). Apa kabar Bang Andreas? Norman berbohong bukan berarti Abang gagal jadi ayah lo! Mungkin pengaruh lingkungan teman-teman sekolah. Cinta Abang pada Norman pasti akan mengantarkan Norman menjadi seseorang yang Abang harapkan. Bravo menjadi seorang ayah yang penuh cinta.
Salam dari Siantar
Dame Kostina Ambarita
Tulisan yang sangat-sangat menyentuh. Saya kagum pada penulis dan juga tokoh yang diceritakan dalam tulisan ini. A good writer, good father, and a good Son.
Saya juga mau ngucapin met tahun baru untuk Mas Andre yang sebentar lagi akan menempuh hidup baru. Semoga bisa melengkapi kebahagian Mas Andre dan putra kesayangannya dan tentu juga calon Ny Andreas, heee...
ga ada komentar, soale aku nangis....benar2 takkan ada cinta yang lain...
kisah yang indah dan mengharukan
salam hangat dari canada
Zhu
feb 04, 2007
Mas Andreas, Mbak Linda,
Tulisan ini mengingatkanku tentang banyak hal yang belum aku kerjakan bersama-sama dengan Faiz, yang kini beranjak remaja.
Terima kasih untuk peringatan yang indah ini.
Salam
--
Tomi Satryatomo
Good afternoon Mr. Harsono
It's a very nice story. It reminds me of my three beautiful children. Your love to your son Norman makes me more tolove mine. Thanks for the inspiring story.
Post a Comment