Coen Husain Pontoh
Satu hari ketika lagi minum teh di kedai Utan Kayu, saya didekati seorang lelaki. Ia mengajak bicara, gayanya santai dan santun. "Bung, apa mau menulis yang baik?"
"Tentu saja."
"Ok, kalau sudah tiba waktunya Bung akan saya beritahu," ujarnya.
Pertemuan itu menggerakkan saya mencari tahu, siapa gerangan lelaki itu. Saya tak juga mengetahui siapa itu Andreas Harsono. Sebagai aktivis kampung dari Manado, nama ini tak pernah saya dengar. Mula pertama sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam cabang Manado, nama aktivis yang beredar di telinga saya adalah Ferry Mursyidan Baldan, Syaiful Bahri Ruray, atau Bursah Zarnubi. Ketika mulai kenal gerakan masyarakat sipil, nama aktivis yang saya kenal adalah Asmara Nababan, Hilmar Farid, Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, atau Andi Arief.
Waktu berlalu. Hingga satu hari akhir tahun 2000, lelaki ini minta saya jadi kontributor majalah Pantau. Saya pun bergirang ria. Menulis nafas hidup saya. Kebersamaan di Pantau membuat saya mengenal secara dekat, bahkan sangat dekat dengannya. Saya lebih suka memanggilnya dengan “Bung AH.” Teman saya, Agus Sopian, memanggilnya “Mas Andre.” Linda Christanty memanggilnya “Mas Andreas.”
Tugas pertama saya menulis sosok Suryopratomo, pemimpin redaksi Kompas, yang baru menggantikan Jakob Utama. Saya pun wawancara. Dalam percakapan-percakapan santai dengan Bung AH, maupun dalam rapat Pantau, saya diajarkan bagaimana wawancara yang baik.
"Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan terbuka. Ia memberi kesempatan pada nara sumber untuk menjawab sebanyak-banyaknya. Sebisa mungkin jangan menggunakan pertanyaan tertutup, yang hanya melahirkan jawaban, 'ya' atau 'tidak.’" Ini salah satu pelajaran penting saya.
Ketika saat menulis tiba, saya mengerahkan segala kemampuan terbaik saya. Saya menyerahkan laporan itu pada Bung AH. Saya kira ia senang.
"Bung, itu kutipan tentang Antonio Gramsci, sebaiknya dihilangkan, Kutipan itu tidak relevan dengan batang tubuh tulisan. Kalau perlu, jangan terlalu banyak kutipan, menulislah berdasarkan hasil kerja Anda sendiri."
Saya agak terhenyak. Saya pikir dengan mengutip pemikir kelahiran Italia, yang terkenal dengan teori Hegemoni itu, akan membuat laporan saya makin berkilat. Laporan itu dikembalikan dengan penuh corat-coret. Praktis, saya harus mengubah total laporan saya, kembali melakukan wawancara, menggali data baru.
Itulah pengalaman pertama menjadi kontributor Pantau. Makin hari, saya makin tenggelam dalam kenikmatan sebagai wartawan. Saya tak pernah memikirkan urusan lain, selain mencari ide tentang rencana penulisan laporan selanjutnya. Saya terkejut ketika menerima honor ratusan ribu rupiah.
Kemudian saya ditugaskan membuat laporan tentang harian Kompas dan lantas majalah Tempo. Ketika menulis tentang Tempo, Bung AH mengajak saya berbicara secara pribadi. "Begini Bung, Anda telah menulis tentang Kompas, dan banyak mendapatkan sorotan.
Mereka tahu Pantau dekat dengan Tempo. Tempo dan Kompas selalu bersaing. Yang kedua, Anda dekat dengan GM (Goenawan Mohamad), apakah Anda bisa independen ketika menulis soal Tempo? Ingat lho, integritas Anda dipertaruhkan."
"Bung, saya menulis tentang Kompas apa adanya. Saya tak punya pretensi apa-apa. Soal kedekatan dengan GM, kita lihat aja nanti. Saya memang dekat dengannya tapi, Bung jauh lebih dekat lagi."
GM orang yang memiliki suara dominan dalam internal Tempo maupun Pantau. Bung AH menganggap GM mentornya.
Saya pun mulai mempersiapkan diri. Saya mencoba menelusuri dokumen-dokumen yang berkaitan dengan majalah ini. Setelah cukup, saya pun mulai mewawancara. Pertama kali adalah GM di lantai dua Teater Utan Kayu.
Wawancara berjalan santai. GM orang terbuka, ia juga tak pernah mengatakan bahwa ada bagian dari wawancaranya yang tak boleh dikutip. Selanjutnya, saya mewawancari pihak lain, termasuk Fikri Jufri. Sayang, ketika itu Fikri Jufri menolak permintaan wawancara saya. "Cari saja yang lain," ujarnya.
Ketika proses penggalian data cukup, saya mulai menulis. Dalam proses penulisan ini, energi saya rasanya jadi berlipat-lipat. Ruang redaksi Pantau, yang jadi rumah kedua saya, berpindah jadi rumah pertama. Setiap hari, saya tidur di ruangan itu, membaca dan menulis. Malam jadi siang, siang jadi malam. Kadang-kadang, saya ditemani Eriyanto, sesama kontributor Pantau, yang biasa mentraktir saya makan nasi uduk di bantaran kali Utan Kayu pukul tiga dini hari.
Dua minggu berlalu, saat laporan mencapai 75 persen, laporan berbelas-belas halaman itu hilang dari komputer saya. Saya coba tenang, cari sana cari sini. Akhirnya saya betul-betul panik. Saya seperti orang gila. Kok bisa itu laporan menghilang?
Eri Sutrisno, salah satu rekan, bilang, “Jangan-jangan ada yang sabotase.” Saya memutuskan pulang ke tempat kost. Mandi, tidur siang, makan siang di kedai. Dua hari saya tak menyentuh apapun, selain makan, tidur, dan mandi.
Pada hari ketiga, saya memutuskan menulis ulang. Entah kenapa, kali ini saya menulis dengan sangat lancar, tak peduli pada waktu. Saya ingat, saya tak tidur dan tak mandi dua hari lamanya, untuk mengejar batas waktu penulisan itu.
"Bung, sudah pulang sana dan mandi dulu. Bung sudah bau," kata Bung AH.
Saya tetap melanjutkan menulis. Sudah kadung, sebentar lagi rampung tulisannya. Dan ketika tulisan itu selesai, saya baru sadar kalau panjangnya mendekati 40 halaman. Begitu laporan itu dimuat, reaksinya besar sekali. Bung AH menerima sekitar 70 komentar. Ada yang memuji, ada yang memaki. “Isi kebun binatang ditumpahkan semua,” kata Bung AH. Maklum saja, media di Jakarta tak pernah diliput dengan standar baku.
Saya terkejut setengah mati ketika menerima honor enam juta rupiah. Hampir 10 tahun tinggal di Jakarta, itulah kali pertama saya memegang uang sebanyak itu. Saya memutuskan membeli televisi dan sepeda motor bebek apkiran. Itu dua barang yang ingin miliki: televisi untuk nonton sepakbola dan sepeda motor untuk irit transportasi.
Banyak orang tak suka pada Bung AH. Dia dibilang: kaku, arogan, Cina brengsek dan sebagainya. Tapi, Bung AH yang saya kenal, jauh dari kesan itu. Ia memang kaku, terutama pada prinsip-prinsip jurnalisme yang dianggapnya baik. Misalnya, ia tak bisa menerima penggunaan sumber anonim, pengabaian terhadap pagar api, kerja rangkap wartawan. Tapi, selebihnya, ia redaktur yang sabar, peduli keadaan hidup kontributor. Ia tak hanya bicara soal menulis yang baik, soal perkembangan kerja tapi, juga soal-soal pribadi para kontributor yang tak punya uang, yang belum makan seharian, yang baru putus sama pacarnya, atau yang sedang naksir seseorang.
Itu menjadikan suasana kerja Pantau menggembirakan. Sebagai kontributor, saya bekerja dengan senang hati, dengan perasaan riang. Saya tak merasa berjarak dengan para editor. Mereka juga tak memosisikan dirinya sebagai atasan. Dalam rapat-rapat redaksi yang saya ikuti, setelah mengecek soal tenggat waktu dan rencana penulisan, selebihnya adalah dialog penuh canda tawa.
Ketika menyunting naskah, misalnya, para editor ini sering bertanya apakah saya setuju dengan hasil suntingan itu. Metode kerja ini sangat efektif, karena para kontributor memiliki gaya menulis beda-beda. Dan itulah salah satu kelebihan Pantau. Setiap edisi punya beragam warna. Pembaca punya penulis favoritnya masing-masing. Ada yang menunggu-nunggu, kapan tulisan Linda Christanty macam Hikayat Si Kebo, kembali muncul. Ada yang merindukan analisis medianya Eriyanto.
Ada persahabatan yang bersemangat, yang bersaing dengan riang gembira. Tak peduli apakah itu kontributor yang sudah makan asam garam kehidupan, misalnya Budiman S. Hartoyo, atau Muhlis Suhaeri, yang belum kelar kuliah. Saya suka ketawa sendiri, jika ingat “Pak Budiman” kesel kalau ditagih soal bon oleh bagian keuangan. “Tiket tol itu khan gampang sekali rusak dan aku khan udah nggak inget lagi.”
Ada juga gesekan kecil tapi, lebih merupakan bumbu kerja. Misalnya, kalau Linda Christanty sudah "kumat," maka ia akan bernyanyi-nyanyi atau berbicara sendiri. Atau Agus Sopian, begitu tiba dari Bandung, langsung tergeletak di lantai, merampok kasur kecil milik bersama Eriyanto dan saya. Ngorok pula.
Disitulah peran utama Bung AH. Dia membuat majalah terbit setiap bulan dengan suasana riang. Tanpa redaktur seperti dia, saya kira tak mungkin ada majalah dengan konsep hubungan kerja yang sangat longgar, yang tidak mengenal konsep atasan-bawahan, yang bisa hidup lebih dari dua tahun dengan kualitas tinggi. Seberapa besar pun uang yang digelontorkan.
Ketika saya mendengar kabar bahwa Institut Studi Arus Informasi menutup majalah itu, saya kehilangan semangat. Ketiadaan uang menjadi pemicu utamanya. Pantau adalah proyek rugi, dan kerugian itu bisa menghancurkan segala yang telah dibangun. Saya bisa memahami alasan itu. Itulah hukum dasar kapitalisme, logic of profit sebagai dasar kehidupan. Tapi, saya katakan pada Bung AH, itu cara berpikir yang sangat sempit, yang tidak strategis, jalan para pedagang, bukan jalan seorang pejuang.
Penutupan itu membuat saya patah arang. Pantau adalah tempat pertama saya di luar gerakan politik. Pertemuan pertama yang membuat saya jatuh cinta. Saya kehilangan suasana kerja intim dan gembira. Pantau seperti jadi racun dalam kehidupan saya. Ketika kemudian saya kerja di tempat lain, saya selalu membandingkannya dengan suasana kerja di Pantau. Sangat berbeda dan itu sangat mengganggu saya. Saya jadi romantis dan naif. Ketika ada rencana mendirikan kembali majalah Pantau, semangat saya pun telah terkikis habis.
Coen Husain Pontoh asal Bolaang Mongondow, tinggal di New York, masa Soeharto dipenjara 2.5 tahun sebagai tahanan politik, menulis buku Malapetaka Demokrasi Pasar (2005), Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global (2005), Menentang Mitos Tentara Rakyat (2004), Akhir Globalisasi (2003) dan Utang Yang Memiskinkan (2002).
No comments:
Post a Comment