Aseanty Widaningsih Pahlevi
Ketika itu empat gelas teh botol Sosro di meja plastik hijau, menemani satu piring siomay, satu porsi sate dan satu bakso di kantin Bu Jujuk, di bilangan SMP Negeri 3 Pontianak.
Di depan saya, cewek berkerudung, mungil berkulit putih, menyeruput teh botol. Sebelah tangan memegang tape recorder dekat kuping. Nurul Hayat sesekali mencatat apa yang didengarnya, di notes coklat.
Cewek satunya, juga berjilbab, bunga-bunga, tinggi, berkulit sawo matang. Suara cekikikan dari cewek ini muncul ketika mengerjai saya. “Ini ulah kamu ya, Ri,” kata saya, pura-pura mencekik lehernya.
“Ari” nama panggilan Sapariah. Dia senior saya, sama-sama sering liputan bareng karena sama kerja di desk kriminal. Dia untuk harian Equator, saya untuk Kapuas Pos. Saat itu, saya baru setahun mengenalnya. Kesannya, orang yang hangat. Tak ada tatapan aneh atau menyelidik dari seorang senior. Ari malah terkesan pecicilan.
Suatu saat, saya sibuk dengan daftar pertanyaan yang disusun dari rumah, Ari malah tertidur. Tapi dengan kamuflase, tangannya seakan tetap menggoreskan pulpen. “Wah, Mba yang aneh,” pikir saya.
Sifat iseng dan cueknya itu, bikin saya lengket ama dia. Saat masuk ke liputan politik dan pemerintahan, saya agak takut-takut bergaul ama senior-senior yang udah duluan ngepos di lingkungan kantor Gubernur dan DPRD Kalimantan Barat. Pandangan menyelidik dan sikap menjaga jarak, saya rasakan saat pertama liputan. Bahkan, dari Nurul Hayat (he he he … peace …)
“Pi coba diem, Mba Un ndak kedengaran ni. Awas nanti salah nulis ya,” hardik Mba Uun. Dia wartawan Antara, juga senior saya di Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura. Ari dan saya berhenti gurau, ingat makanan lagi.
Mba Uun sesekali juga menyeruput kuah baksonya. Dari warna dan baunya, saya dapat menerka rasanya. Pedas dan asem. Tiap kali meracik atribut ke dalam kuah baksonya, Mba Uun mempunyai mimik yang sama. Mata terpaku pada kuah bakso, dan mulut komat-kamit menahan air liur, “Segar ni, Pi.”
Kami bertiga memang paling sering kongkow di kantin Bu Jujuk. Ritualnya, makan siang dan menulis laporan yang telah diliput sepagian. Disanalah saya belajar banyak menentukan lead, diskusi masalah Kalimantan Barat, atau mengambil sikap dalam menentukan liputan. Ari dan Mba Uun banyak memberikan pengaruh pada karir saya, sehingga saya meraih Pulitzer seperti sekarang ini. *Plak! Bangun, Dodol*
Hm, tadi saya bilang teh botolnya empat ya? Padahal orangnya tiga. Satu botol lagi adalah buat saya … he he he. Saya kuat minum teh botol, berbotol-botol. Saya sempat ingin meneliti kandungan teh botol, yang sepertinya mengandung candu. Selepas meneguk airnya, “Uih…sedep banget.” *Tuhan, mudah-mudahan ada yang baca dan menjadikan daku model iklan teh botol*
Dalam perjalanannya, kelompok kecil ini jadi cukup terkenal. Makin banyak perempuan jadi wartawan. Maka makin banyak pula wartawati Pontianak, yang dipasang medianya di desk pemerintahan dan politik, ikut gabung ke kantin Bu Jujuk.
Saya sendiri pindah ke harian Pontianak Post. Temen satu kantor, Sri Apriyanti, ikut bergabung setelah “lulus” cum laude dari desk kriminal dan biro Pemangkat. Bersama Yanti, obrolan semakin seru. “Peri Gosip” ini selalu mengetahui skandal para pejabat. Atau perihal istri-istrinya. Kicauan Yanti, makin menambah ramai klan ini. Para pengunjung kantin makin akrab dengan keberadaan kami. Bahkan, tak sekali dua, pelayan ikut bertanya berita terkini, atau mencuri dengar diskusi.
Suasana makin gegap gempita, dengan kehadiran Mbah Dukun alias Ansela Sarating dari radio Volare. Sela memang punya kemampuan cenayang. Beberapa orang diramal dengan sukses oleh Sela.
Saya bakal deket ama cowok perantauan, yang tidak tipe saya banget, yang bakal membawa kehidupan saya menjadi sangat complicated. Walau sempat ngga rela dan ngedumel abis-abisan saat diramal ngga bakal jadian ama gebetan. Dan…tiga bulan setelah itu, ternyata ramalan itu bener.
Apa yang diramalnya tentang Ari? Dia diramal bakal deket dan serius ama seorang cowok yang mematahkan prinsip-prinsipnya dari bacaan majalah Cosmopolitan, “10 Langkah Mencari Cinta Sejati.” Halah! Sekarang … ternyata ramalan itu ada benernya. *Gotcha*
Coba juga ramalan Mba Uun. Dia sudah hampir kebingungan mencari cinta, berupaya keras mencari belahan jiwa, umur sudah lewat 30. Padahal ramalan Sela, “Mba Uun ngga usah nyari susah-susah, suatu saat akan datang sendiri, tanpa diduga.” Dan … *drums roll* … datanglah Mister Muhlis.
Kesamaan dari perempuan-perempuan ini, selain minumannya, adalah sama-sama mencari cinta. Sela menyebutnya, Jojoba: Jomblo-jomblo Bahagia –bukan Jojoba Essence dari Sunsilk.
Ini termasuk Christin Boekit, wartawati TVRI, Eva Rade Sitio reporter radio Sonora dan Evi Tanderi, temen kerja di Pontianak Post. Belakangan juga hadir Safitri Rayuni, wartawati lemah lembut dari Equator. Evi dan Sela belakangan memutuskan jadi pegawati negeri. Fitri mundur dari Equator karena tidak tahan dengan kelakuan pemimpin redaksinya Djunaini K.S. –nepotisme, melarang liputan protes perkebunan kelapa sawit, serta temperamental (memecat lima redaktur). Kini Fitri jadi koresponden harian Bisnis Indonesia.
Selebihnya, beberapa generasi kini udah lahir. Reporter-reporter baru juga udah bermunculan. Gak terasa, saya mungkin generasi yang “cukup tua” sekarang. Ritual makan-makan tetap ada. Bahkan, sekarang meja-meja itu bertambah. Bedanya, kini saya dipanggil Mba atau Kakak, karena termasuk paling tua dan paling “berat” … he he he beratnya di badan! Mba Uun sudah menikah. Evi sudah punya anak. Sela sibuk mencari beasiswa luar negeri. Sapariah udah dua tahun merantau di Jakarta. Semoga, jojoba naik tingkat jadi sujojoba, sudah tak jomblo, masih bahagia.
No comments:
Post a Comment